Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
"Apa kamu sudah dewasa?"
Di bawah pengaruh obat, Melita Parasian menjawab dengan akal sehat terakhir yang dimilikinya, "Tentu saja! Aku sudah berusia delapan belas tahun hari ini!"
"Lalu kamu memutuskan untuk menjual tubuhmu begitu kamu dewasa, ya? Apa kamu sebegitu kekurangan uang? Atau kamu hanya tidak sabar untuk bisa tidur dengan pria?"
Pria itu menyentuh dagu Melita dengan jari-jarinya yang panjang dan mengangkatnya seolah memeriksa kondisi sebuah barang yang baru diperoleh.
Jari-jarinya yang kasar membelai wajah Melita dengan lembut sampai dia tiba-tiba mencubit dagunya dengan keras dan memaksanya untuk menatap matanya. Pipinya sedikit memerah karena efek obat, yang menjadi undangan tanpa suara untuk sang pria. Wangi tubuhnya yang samar memasuki hidung pria itu, membuat bagian bawah tubuhnya mengeras dan berdenyut di antara kedua kakinya.
Namun, predator tingkat tinggi dikenal lebih sabar daripada bertindak terburu-buru. Itu sebabnya, jari-jari pria itu justru bergerak menembus gaun selipnya untuk menemui kewanitaannya yang sudah basah.
Melita berseru karena ada sesuatu yang memasuki tubuhnya dengan tiba-tiba. Sebelum dia bisa bergerak mundur, bibir pria itu sudah turun ke bibirnya, membuatnya tanpa sadar menjepit kedua pahanya.
"Santai saja." Pria itu melepaskannya sejenak.
"Cepat ...," desak Melita yang sudah tidak bisa berpikir dengan jernih. Air liur pria itu masih berkilau di sudut mulutnya.
Sang pria membungkuk dan menyeringai.
"Kamu hanya seorang gadis muda ...."
Dia berhenti sejenak sambil menatap Melita untuk sementara waktu. Tiba-tiba, dia melonggarkan cengkeramannya dan melangkah mundur dengan dingin.
"Kamu tidak memiliki apa yang kuinginkan dari seorang wanita. Keluar dari sini." Perkataan itu membuat pria itu terlihat kejam dan menjaga jarak.
Sekujur tubuh Melita gemetar. Akan tetapi, dia sudah datang ke tempat ini dan rela mempertaruhkan segalanya, jadi dia tidak akan menerima jawaban tidak. Sambil mencondongkan tubuh ke depan, dia menggodanya lagi.
"Bagaimana kamu bisa tahu kalau kamu bahkan belum mencobanya?" Melita mulai melepas gaun terusan merahnya, lalu bra rendanya, memperlihatkan tubuh indahnya di bawah cahaya yang redup. Dia meraih segelas anggur merah di sampingnya dan menuangkan cairan itu ke tubuhnya. Rasa dingin membuatnya gemetar tak terkendali. Meskipun saat ini dia merasa sangat malu, tindakannya menunjukkan kesungguhannya.
"Aku basah kuyup sekarang. Aku tidak bisa pergi dalam keadaan seperti ini." Anggur merah itu mengalir dari leher ke tulang selangkanya, kemudian turun ke dadanya. Tubuh gadis muda itu terlihat sangat memikat saat ini dan membuat saraf kewarasan sang pria putus.
"Hmm ... dingin ...." Melita mendekatkan diri dengan erat padanya seperti seekor kucing jinak sambil sedikit memutar pinggangnya.
"Kamu yang meminta ini."
Pria itu tertegun selama beberapa detik, tetapi begitu akal sehatnya kembali, dia menarik Melita lagi.
Dia meraih gaun terusan berwarna merah yang masih menutupi paha Melita dan menariknya sampai kain tipisnya menutupi wajah wanita itu.
Dari awal, Melita sudah tidak bisa melihat wajah sang pria dengan jelas karena kamar itu hanya diterangi oleh lampu dinding. Sekarang, dia hanya bisa melihat garis samar sosok pria itu di atas tubuhnya.
Namun, sebaliknya, tubuh Melita benar-benar terlihat jelas bagi pria itu. Ketegangan di tubuhnya menunjukkan betapa gugupnya Melita ketika tangan besar sang pria perlahan meluncur ke tulang selangkanya, berhenti tepat di ujung dadanya yang berwarna merah muda.
Pada saat ini, karena efek obat dan gerakan tangan pria itu yang selang-seling, tubuh Melita pun mulai bergetar tak terkendali. Gairah yang muncul membuatnya menginginkan pria itu untuk masuk ke dalam tubuhnya sekarang juga.
Ketika pria itu menyaksikan betapa kuat reaksi Melita terhadap sentuhannya, tatapannya berubah dingin. Semua kelembutan yang hadir sebelumnya menghilang. Bagaimana dia bisa bersimpati dengan seorang wanita yang menggunakan obat sebelum menawarkan dirinya padanya?
Akhirnya, dia membentangkan kedua kaki Melita tanpa ragu dan segera menenggelamkan dirinya ke dalam wanita itu.
"Aduh ... sakit!"
Tangan lembut Melita menekan dada sang pria, berusaha mendorongnya menjauh, tetapi dia tidak memiliki cukup kekuatan untuk membuatnya bergerak.
Rasa sakit membuat tubuhnya menjadi sangat tegang, yang semakin menggairahkan pria itu.
Setiap kali sang pria mendorong dengan agresif ke dalam dirinya, dia mencapai tempat yang lebih dalam. Tubuh Melita pun mengikuti irama gerakan tubuhnya. Alisnya yang berkerut dengan erat tidak mampu membangkitkan belas kasihan pria itu.
Melita tidak tahu apakah dia akhirnya bisa beradaptasi dengan keganasannya atau apakah efek obat itu sudah sepenuhnya bekerja, tetapi begitu dia mengerang, wajahnya memerah seperti apel matang. Dia buru-buru menggigit lidahnya dengan keras, berusaha menahan erangan lain yang hendak keluar dari bibirnya.
Ekspresi wajahnya ini hanya semakin merangsang sang pria. Ketika gerakannya menjadi lebih cepat, dia mencium bibir halus Melita dengan kasar.
Suara bagian tubuhnya yang masuk dan keluar dari tubuh Melita serta benturan antar kulit membuat suhu seluruh kamar naik.