Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Menikahlah Denganku

Menikahlah Denganku

Sekarjagat

4.0
Komentar
5.1K
Penayangan
10
Bab

Sejak kecil, Merryana Santoso yang seorang anak tunggal terlalu bergantung pada Benedict Ivander. Laki-laki sok jagoan yang selalu ingin melindungi Mer. Meskipun sok jagoan dan kadang menyebalkan, tapi Ben adalah orang yang tidak pernah meninggalkan Mer dalam keadaan apa pun. Ben selalu ada. Hingga saat Ravelino Bagaskara tidak datang di hari pernikahannya dengan Mer, Ben dengan jiwa heroiknya tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pengganti mempelai pria. Mampukah mereka berdua mempertahankan biduk rumah tangga, di saat orang-orang dari masa lalu kembali hadir dan mengusik pernikahan mereka.

Bab 1 Bebas Dan Sedikit Liar

"Here we go again," gumam Ben saat menemukan Merryana duduk telungkup di meja bartender.

Gadis itu pasti sudah mabuk. Atau mungkin sudah pingsan karna Ben terlambat datang. Beruntung tidak ada lelaki hidung belang yang menggodanya.

Apa boleh buat, Ben terlambat karna ia harus mengahadiri pertemuan penting dengan rekan kerja di law firm tempatnya bernaung.

Alhasil, Ben datang dua jam setelah menerima pesan singkat dari Mer yang bernada memerintah. Selalu saja begitu.

Ben sudah seperti sopir bagi gadis yang menganggap dirinya princess itu.

"Mer ...." Ben mengusap pundak Merryana, dan gadis itu hanya menggeliat malas. "It's enough, ayo kita pulang." Ben sedikit menarik lengan Mer, namun gadis itu menepisnya.

Wajah cantik yang sedang tipsy itu mendongak, dan menatap Ben dengan mata sedikit menyipit. Lalu, jari telunjuknya terangkat tepat di depan wajah tampan Ben.

"Who-are-you?" racau Mer dengan mata sayu, yang dibalas helaan napas berat oleh Ben.

"Mer, please ... Besok aku ada meeting sama klien jam delapan tepat. Kalau kamu nggak bisa diatur, aku tinggalin kamu di sini," ancamnya.

Mer hanya tersenyum miring, lalu menjatuhkan jari-jemarinya yang lentik pada dada bidang milik Ben yang tertutup kemeja slim fit. "It's you, Benedict Ivander. I know you ... Tapi aku nggak mau pulang. Aku belum mabuk, see?" Mer meringis, menunjukkan deretan giginya yang putih.

Ben memutar bola matanya dengan jengah. Sepertinya dia harus melakukan hal ekstrem pada Merryana, sebelum gadis ini membuatnya emosi.

Dengan gerakan cepat, Ben meraih tubuh langsing Mer dan menggendongnya di pundak.

Bukannya menolak, Mer justru tertawa terbahak-bahak. Alkohol benar-benar membuatnya sedikit gila.

Sebenarnya, Mer bukan pecandu alkohol. Dia benci minuman keras. Tapi, dua minggu terakhir ini, tak ada tempat lain untuk membuang semua rasa penatnya selain di bar.

Semenjak Ghavin-seorang artis sinetron yang sedang naik daun, memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Mer. semenjak itulah Mer menjadi sedikit tidak waras, dan lagi-lagi Ben yang kerepotan mengurusnya.

Selalu seperti itu, setiap kali Mer putus cinta. Ben harus siap-siap menghadapi tingkah Mer, yang lebih merepotkan dari pada mengurus bayi!

"I told you, Ghavin itu cowok brengsek," ujar Ben sehari setelah hubungan Mer dan Ghavin putus.

"Semua cowok brengsek di mata kamu, Ben."

Ben menghela napas, lalu menatap Mer lekat. "Lain kali pakai otak kalau pilih cowok. Jangan cuma pakai nafsu dan asal comot aja."

"Ghavin itu bukan cowok asal comot, Ben. He's a nice guy. Tampan, populer, kaya raya dan ...."

"Dan maniak seks!" potong Ben geram.

"Apa bedanya sama kamu!" balas Mer tak kalah sengit.

"Tapi setidaknya aku nggak pernah nyakitin hati perempuan."

"Siapa bilang?"

Ben terdiam.

"Apa kamu lupa? Udah berapa cewek yang nangis-nangis ke aku setelah mereka kamu PHP-in?"

"Aku nggak pernah PHP cewek." Ben membela diri. "Mereka aja yang baper. Sama kayak kamu, gampang baper sama cowok."

"Shut up! I hate you, Ben!" teriak Mer mulai emosi. "Aku doain, suatu hari nanti kamu bakalan jatuh cinta sama perempuan sampai rasanya mau mati. Baru setelah itu kamu bisa tau, gimana rasanya jadi aku!"

Merryana tak pernah mau mengalah, apalagi kalau lawan bicaranya adalah Ben. Lelaki itu harus berada satu level di bawahnya.

Sesampainya di rumah Mer, pelan dan hati-hati, Ben meletakkan tubuh Mer yang sudah terlelap di atas ranjang.

Susah payah Ben membawa Mer dari lantai satu ke lantai dua. Tentu saja Ben kelelahan, mengingat rumah perempuan itu sudah seperti istana negara.

Mer sudah tertidur beberapa saat setelah masuk ke dalam mobil milik Ben, yang membawanya dari bar ke rumah orang tuanya.

Asisten rumah tangga yang tadi membukakan pintu langsung pergi entah ke mana. Karna Ben sudah terbiasa dengan keluarga Mer sejak kecil, jadi semua orang di rumah besar itu sudah mengenalnya dengan baik.

Ben masih duduk diam di tepi ranjang, menatap wajah cantik Mer yang sudah lelap. Perlahan jemari Ben terulur, menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian wajah Merryana, sahabatnya sejak kecil.

"Gadis bodoh," lirih Ben, sebelum ia mendaratkan kecupan singkat di kening Mer.

Seseorang yang ingin Ben lindungi dengan seluruh jiwa dan raganya. Sejak dulu, hingga nanti, saat Mer sudah menemukan lelaki yang bisa menjaganya dengan baik.

**

"Pulang jam berapa semalam, Mer?" tanya Mami Shanty.

Mer menaikkan tatapannya, sembari mengingat-ingat. "Ehm ...."

"Hampir jam dua malam, Nyonya," sahut asisten rumah tangga yang semalam membukakan pintu.

"Astaga, Mer! Anak perawan pulang jam segitu. Kalau papimu tau, mami bisa kena marah, loh," bisik Shanty seraya menoleh kiri kanan. Beruntung suaminya belum keluar kamar untuk sarapan.

"Chill, Mam. Papi nggak akan tau kalau mami nggak ngoceh."

"Sembarangan kamu kalau ngomong," dengus mami. "Pasti kamu minum-minum lagi, kan?"

Mer hanya tersenyum, mengabaikan pertanyaan maminya.

"Bik Sumi!" teriak Mer memanggil salah satu asisten rumah tangganya, yang sudah kembali ke dapur. "Bik Sumi!"

"Iya, Non!" sahut Bik Sumi yang tergopoh berlarian menuju ruang makan.

"Tolong bukain tutup selainya."

"Buka sendiri kan bisa, Mer. Tinggal di puter," ujar Shanty sedikit kesal dengan kebiasaan putrinya yang terlalu manja.

"Nggak bisa, Mam. Tangan dan kuku Mer bisa lecet. Kemarin habis meni-pedi di salon. Rugi dong kalau sampai rusak," sahut Mer enteng.

Shanty hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya.

"Oh ya, Bik. Semalam, Bik Sumi yang gantiin blouse aku sama piama, ya?"

Bik Sumi diam sesaat, kemudian menggeleng pelan. "Semalam, setelah membuka pintu, saya langsung balik ke kamar lagi, Non. Nguantuk soalnya."

Mer terkesiap.

"Trus, yang gantiin baju kamu siapa, Mer?" tanya Mami ikut penasaran.

Mer melipat bibir. "Halah, paling juga Ben yang gantiin."

"Ben?!" pekik Mami terkejut.

"Biasa aja kali, Mam. Nggak usah lebay gitu."

"Lebay kamu bilang?!" geram Shanty. "Kamu pacaran sama Ben?"

"Nope."

"Kok dia bisa seenaknya buka-buka baju kamu gitu?"

"Mam, Ben itu beda. Dia udah sering lihat Mer cuma pakai daleman doang, dan dia biasa-biasa aja tuh. Nggak nafsu sama sekali. Mungkin karna waktu kecil kita sering renang dan mandi bareng."

"Ya beda dong, Mer. Sekarang kalian sudah dewasa. Meskipun kalian sudah berteman sejak kecil, tapi Ben itu juga seorang lelaki. Bukannya mami nggak percaya sama Ben, ya. Tapi kalau dia macam-macam sama kamu, gimana?"

Mer tertawa kecil, seraya mengibaskan tangannya. "Nggak mungkin, Mam. Ben itu nggak doyan sama cewek manja kayak aku. Tipe dia itu cewek mandiri, dewasa, wanita karier dan keibuan. Memangnya mami melihat semua itu ada pada diri Mer? Enggak, kan? So, take it easy."

Shanty menggelengkan kepalanya lagi. "Mami nggak ngerti sama jalan pikiran kalian berdua."

"Denger ya, Mam. Aku juga nggak suka sama tipe cowok seperti Ben. Terlalu banyak aturan, dan bawelnya tuh ngalahin ibu-ibu komplek. Mirip banget kayak papi. Pokoknya nggak seru."

"Hati-hati kalau ngomong," suara Hasan Santoso yang tiba-tiba muncul membuat Merryana terhenyak kaget.

Buru-buru ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menyesali ucapannya.

"Papi justru suka sama Ben. Jaman sekarang, susah menemukan laki-laki tegas dan berpendirian teguh seperti dia," puji pria tua berperut rata itu. Meskipun usianya sudah senja, Hasan Santoso tak pernah absen berolah raga, dan selalu disiplin dengan apa yang dia konsumsi.

Persis seperti Ben.

Hidupnya terlalu teratur, dan hal itu sangat membosankan bagi Merryana, yang menyukai kehidupan bebas dan sedikit liar.

**

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Sekarjagat

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku