Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gairah Liar Sang Penggoda

Gairah Liar Sang Penggoda

AR_Merry

5.0
Komentar
2.1K
Penayangan
1
Bab

Harap bijak memilih bacaan. Cerita ini mengandung banyak adegan dewasa. Sekuel dari buku GAIRAH LIAR SANG CEO ***   "Sentuh aku, Gavin."   Lirihan diikuti geliat sensual seorang gadis dengan dada polos itu melemahkan sistem kerja otak sang pria yang saat ini sedang berdiri kaku. Menatap tak percaya dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya.   "Gavin," lirihnya semakin putus asa.   Alih-alih mendapat sentuhan seperti yang diimpikan, satu hal fatal dilakukan pria itu. Yakni, melepas jas yang membalut tubuhnya dan memasangkan pada gadis yang dicintai sejak masih remaja.   "Kau ...!"   "Jangan begini, Sayang."   "Tapi, aku menginginkanmu?"   "Aku juga."   "Lalu, tunggu apa lagi?"   Gavin tersenyum. "Tunggu aku mendapatkan restu dari orang tuamu."   ***   "Apa? Melamar putriku? Jangan bermimpi!" tolak Rafael dengan tatapan dingin yang menghunjam Gavin.   "Pa?"   Rafael mengangkat tangannya agar sang istri tidak menyela. Lalu, ia masih beradu pandang dengan Gavin yang masih tak menyerah dan memiliki tekad kuat.   "Asal kau tahu, Thalia sudah dilamar oleh orang yang telah aku pilih sebagai menantu dan pernikahan mereka akan digelar dalam waktu dekat. Sebaiknya kau pergi dan jangan mendekati putri kesayanganku lagi. Karena sampai kapan pun, aku tak akan merestui hubungan kalian!" *** Apakah yang akan dilakukan Gavin selanjutnya? Melupakan dan berhenti berjuang atau nekat dengan membawa gadis itu lari sejauh mungkin?

Bab 1 Godaan Thalia

"Sentuh aku, Gavin."

Lirihan diikuti geliat sensual seorang gadis dengan dada polos itu melemahkan sistem kerja otak sang pria yang saat ini sedang berdiri kaku. Menatap tak percaya dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya.

"Gavin," lirihnya semakin putus asa.

Alih-alih mendapat sentuhan seperti yang diimpikan, satu hal fatal dilakukan pria itu. Yakni, melepas jas yang membalut tubuhnya dan memasangkan pada gadis yang dicintai sejak masih remaja.

"Kau ...!"

Telunjuk tangan kanan pria itu mendarat di bibir sang gadis. Sehingga, kata-kata umpatan dan amarah yang akan keluar seketika berhenti.

Menahan napas, pria dengan kemeja putih tanpa dasi itu menyusuri kecantikan sang kekasih.

Ya, gadis bertelanjang dada ini adalah kekasihnya. Gadis yang selama lebih dari 15 tahun mengisi seluruh relung hatinya yang beku.

"Thalia."

Tak ada sahutan, melainkan kedipan mata sebagai isyarat. Tanda bahwa tanpa suara, mereka akan mengerti jawaban yang diberikan.

"Jangan begini, Sayang."

Pemilik nama Gavindra Elando Bagaskara itu tersenyum. Mencoba bernegosiasi supaya sang kekasih mengurungkan niatnya yang ke sekian kali.

Sumpah demi apa pun, Gavin bisa tergoda jika Thalia terus melakukan ini. Apalagi ketika mereka berada di tempat yang sangat pribadi seperti kamar hotel ini.

"Kau tahu, aku tidak bisa melakukan selama kita belum menikah," ucap pria itu lembut. "Tentu kau masih ingat alasannya bukan?"

Thalia masih ingat dengan jelas. Bahkan, tidak perlu diingatkan sampai berkali-kali.

Mendekat, Gavin menarik jemarinya. Beralih meraih dagu sang kekasih untuk fokus menatap wajahnya seorang.

"Bersabarlah. Aku akan melamarmu secepatnya," ucap Gavin dengan sungguh-sungguh. Sorot matanya memancarkan binar-binar kebahagiaan. Pun dengan Thalia yang turut melakukannya.

Tak seperti biasanya mencium dahi, kali ini Gavin dengan kewarasan yang harus dipertanyakan mengecup bibir tipis Thalia. Hal yang selama ini hampir tidak pernah ia lakukan.

Maka dari itu, tak heran bila Thalia memanfaatkan keadaan dan membalas dengan pagutan lembut. Membiarkan Gavin yang menegang kaku sementara ia menjadi pemegang kendali.

"Emph ...." Gavin mencoba menghindar, tapi tarikan kuat di leher membuatnya tak memiliki daya. Apalagi ketika Thalia memperdalam pagutannya.

Gerakan bibir Thalia membuai Gavin hingga tanpa sadar membalasnya. Maka dari itu, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk membuat suasana sekitar menjadi panas.

Sisi primitif Thalia yang liar mendominasi. Saat Gavin ingin menyudahi, gadis itu malah memperdalam. Sehingga, tak ada celah untuk Gavin menolak ajakan tanpa suara yang melenakan itu.

Namun, keintiman mereka tak berlangsung lama karena nada dering dari ponsel Gavin berbunyi. Dengan tak rela, Thalia menarik diri setelah sang kekasih menghentikan semuanya dengan rengkuhan kuat.

Tampak kedua bola mata hitam pekat itu berkabut gairah. Cukup menjadi bukti bahwa ciuman bisa membuat sisi liar Thalia keluar.

"Dari Mama." Gavin memperlihatkan layar ponselnya kepada Thalia yang menatapnya tanpa kedip. Lalu, ia menggeser tombol hijau dan menempelkan benda itu ke telinga.

"Halo, Ma."

Terdengar suara berisik yang membuat Gavin menjauhkan ponselnya sesaat.

"Apa kau bersama Thalia, Vin?"

Gavin mengangguk. "Iya, Ma. Kami baru saja selesai menghadiri seminar di Hotel Gloria."

"Oh, kebetulan kalau begitu. Malam nanti ajak dia pulang ke rumah ya. Mama kangen."

Gavin terkekeh. Lalu, ia beralih menatap sang kekasih penuh tanya. "Mama kangen, Sayang. Malam ini bisa ke rumah 'kan?"

Thalia mengangguk.

"Baik, Ma. Gavin akan pulang bersama Thalia."

Terdengar sorak bahagia wanita 54 tahun itu. "Mama tunggu. Kalian hati-hati ya."

Panggilan terputus.

Gavin memasukkan ponselnya ke saku celana. Entah dorongan dari mana yang membuat ia mengulurkan jari-jarinya mengusap saliva, di sekitar bibir Thalia.

"Ayo, pakai kembali pakaianmu. Aku akan menunggumu di luar." Gavin tersenyum, lalu mengecup kembali bibir Thalia sebelum ia berbalik. Namun, satu tarikan lembut dari Thalia menghentikan gerakan kakinya.

Pria dengan kemeja berwarna putih itu menaikkan satu alisnya. "Kenapa lagi?"

"Tidak perlu keluar. Tetaplah di sini."

Tanpa menunggu jawaban Gavin, Thalia melepaskan jas yang melekat di tubuhnya. Seolah tidak ada siapa pun di sekitarnya, ia bangkit, memungut bra berwarna merah muda di atas ranjang dan memakainya.

Sementara itu, Gavin hanya mampu berpaling. Pemandangan saat ini bukan yang pertama, tapi tetap saja, ia tidak bisa menatap terlalu lama.

"Gavin, tolong bantu aku."

Suara Thalia menyentak Gavin dari lamunan. Saat ia berbalik, tampak punggung mulus itu seolah memiliki sihir yang membuatnya mengeraskan rahang.

"Vin," lirih Thalia yang menyadarkan Gavin dari keterpanaan.

Menggeleng kencang, Gavin meraih pengait bra itu dan memasangkan kembali. Tak seperti biasanya, kali ini ia mendekatkan wajah untuk memberikan kecupan tepat di bahu Thalia yang masih terbuka.

"Apakah kau berubah pikiran?" tanya Thalia lirih.

Pertanyaan itu menyentak Gavin yang dengan cepat menarik diri. Ia tampak salah tingkah karena lepas kendali.

Astaga!

Gavin menyugar kasar rambutnya dengan mata terpejam. Tanpa pria itu sadari, Thalia mendekat dan memeluknya dari belakang. Dalam sekejap, tubuh Gavin menegang karena saat ini, ia bisa merasakan kepadatan payudara Thalia di punggungnya.

"Katakan padaku jika kau ingin. Aku masih menunggu hadiah ulang tahunku ke 21 yang sampai saat ini belum kau penuhi," ucap Thalia dengan suara lembut yang mendayu manja.

Katakan ia sudah gila, tapi Thalia tak akan peduli. Sejak 15 tahun lalu, hanya Gavin yang ia inginkan menjadi satu-satunya pria untuk menjadi suaminya. Meskipun selama itu pula ada amarah sang ayah yang menentang hubungan mereka.

Gavin tak mampu berkata-kata saat diingatkan kembali pada permintaan Thalia, yang sulit untuk ia penuhi itu. Tak berniat mengulur waktu, ia meraih tangan Thalia yang memeluk erat pinggangnya.

Ia berbalik dan menatap wajah gadis yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi kekasihnya itu. Tak ada yang berubah. Tatapan penuh cinta di kedua bola mata hitam pekat itu tak luntur sedikit pun dan malah semakin pekat.

Pria itu tersenyum. Menangkup kedua pipi tirus Thalia dengan lembut dan mengusapnya pelan.

Entah setan apa yang merasuki Gavin saat ini. Dengan penuh kesadaran dan kesungguhan ia mengucapkan kalimat yang sudah Thalia tunggu sejak lama.

"Aku akan segera berbicara dengan orang tuaku dan segera menghadap orang tuamu."

Kalimat panjang itu membuat Thalia tercekat. Dalam sekejap butiran-butiran kristal itu menggenang dan menetes tanpa tahu malu.

"Gavin, kau ...."

"Aku akan melamarmu, Sayang," sahut Gavin dengan luas dan tegas.

Bagai ada dentuman hebat di dada Thalia. Tak ada rangkaian kata yang cukup mendeskripsikan perasaannya saat ini. Bahkan ia nyaris syok dengan jawaban sang kekasih yang penuh kesungguhan itu.

"Tunggu sampai akhir pekan," pinta Gavin kemudian. "Kau bisa menunggu sampai saat itu tiba, bukan?"

Oh, apakah ini lelucon? Jelas saja Thalia akan menunggu. Lebih dari 10 tahun saja ia sudah melewati dengan baik. Apalagi cuma sampai akhir pekan.

Maka, tanpa berpikir lama Thalia mengangguk patuh. "Ya, aku akan menunggu."

"Terima kasih. Ayo, pakai kembali pakaianmu. Kita harus pulang. Mama sudah menunggu."

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah utama Keluarga Bagaskara, Gavin tak melepaskan genggaman tangannya pada sang kekasih. Menyetir pun dengan satu tangan dan begitu hati-hati.

Tak hanya sampai di situ, ia juga sigap mengulurkan tangannya dan membawa gadis itu memeluk erat lengannya. Persis seperti pasangan pengantin baru yang baru pulang dari bulan madu.

"Kak Gavin pulang, Ma," teriak gadis yang baru menginjak Sekolah Menengah Pertama dengan antusias.

Mendengar teriakan putrinya, Denis seketika keluar dari dapur dan segera menyambut putra sekaligus calon menantu idamannya itu.

"Mama," sapa Thalia yang langsung melepaskan tangannya dari lengan Gavin dan memeluk wanita 54 tahun itu.

"Lama sekali kau tidak ke sini, Sayang," protes Denis masih memeluk Thalia erat.

"Maafin Thalia, Ma. Akhir-akhir ini Thalia sibuk di rumah sakit."

Denis mengurai pelukannya dan segera membawa Thalia masuk. Mengabaikan Gavin yang hanya menggelengkan kepala, melihat keakraban kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di dalam hatinya itu.

Usai makan malam dengan penuh kehangatan bersama keluarga sang kekasih, kini Thalia tangan duduk manis di samping kekasihnya, yang akan mengantarkan ia pulang. Sejak keluar dari rumah besar itu, senyuman masih tersungging di bibirnya.

Didera penasaran, Gavin yang sedang menyetir mobil ke jalan raya meraih tangan Thalia dan mengecupnya dalam. "Apa ada sesuatu yang aku lewatkan, Sayang?"

"Apa?"

Gavin melirik sesaat, lalu kembali fokus ke depan. "Sesuatu antara kau dan Mama." Teringat kembali bahwa kekasihnya itu sempat dibawa naik ke kamar sang ibu dalam waktu yang tidak sebentar.

Thalia menggeleng. "Tidak."

Tak puas dengan jawaban itu, mendadak Gavin menepikan mobilnya dengan tiba-tiba. Bukan untuk berbicara, tapi hanya diam seribu bahasa. Memikirkan kegelisahannya beberapa saat lalu.

"Kenapa? Kau tidak menginginkan kita melakukan sekarang bukan?" desis Thalia. "Di dalam mobil, di tempat ...."

"Bukan," sergah Gavin cepat. Ia memejamkan matanya lalu menegakkan punggungnya.

"Lalu?" Satu alis Thalia naik. Melemparkan tatapan menggoda yang sering ia perlihatkan pada sang kekasih.

"Menurutmu, bagaimana kalau aku berbicara dengan Uncle Rafael lebih dulu sebelum membawa Papa dan Mama datang?" tanya Gavin kemudian. Tatapan matanya beralih pada Thalia yang kini sedang mencoba menggodanya.

"Ehm, menurutku tidak masalah. Yang paling penting kau segera melamar secara resmi dan kita bisa menikah," jawab Thalia enteng. Bagaimanapun ia tidak ingin melihat lagi para dokter dan perawat yang selalu berusaha mencari perhatian Gavin berkeliaran bebas.

Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Gavin mengecup punggung tangan Thalia, dan kemudian melabuhkan kecupan singkat di bibir tipis itu.

Gavin tersenyum, lalu kembali mengemudikan mobilnya. Sampai di halaman rumah mewah yang memiliki keamanan tak main-main, ia segera menemukan mobilnya tepat di dekat teras rumah itu. Tepat di sebelah mobil yang tak asing baginya.

"Itu mobil siapa?" gumam Thalia yang masih bisa didengar oleh Gavin.

"Mobil dokter Gandi."

"Dokter Gandi? Mau apa dia ke sini?" Dahi Thalia mengerut dan kerutan itu semakin banyak tatkala ia melihat sang ayah menepuk bahu pria yang menjadi topik pembicaraannya.

"Sepertinya aku satu langkah lebih lambat darinya."

Thalia tak mengerti melemparkan tatapan penuh tanya.

.

.

.

Bersambung ....

*

HALO, BUKU INI ADALAH SEKUEL BARU BUKU GAIRAH LIAR SANG CEO YANG SUDAH TAMAT. KALAU KALIAN SUKA, TINGGALKAN KOMENTAR YANG BANYAK YA.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh AR_Merry

Selebihnya
Pesona Wanita Pilihan CEO

Pesona Wanita Pilihan CEO

Romantis

4.9

Harap bijak memilih bacaan! Mengandung adegan dewasa 21+ “Kau harus mempersiapkan diri menikahi putri dari Mr. Franklin, William,” ucap Michael tegas dan tak mau dibantah. Bahkan pria itu mengeluarkan tatapan tajam pada putranya yang menjadi CEO di Johnson Corporation sebagai penggantinya. “Aku tidak mau,” tolak William tanpa berpikir lama. “Dan kau pikir kau bisa menolak?” Michael menyeringai. “Aku sudah merancang pertemuan malam ini untuk mempertemukan kalian dan membicarakan pertunangan secepatnya. Jadi, kuharap kau tidak banyak bertingkah.” William yang baru saja menyelesaikan sarapannya seketika bangkit. Tanpa membalikkan badan, pria itu mengucapkan satu kalimat yang membuat sang ayah semakin marah besar. “Berani-beraninya kau membantah keputusan Daddy, William!” seru Michael yang mengepalkan tangannya di atas meja. “Apa kau tidak tahu kalau Daddy bisa mencabut semua yang kau miliki saat ini jika kau menolak keinginanku, hah?” Langkah William terhenti. Tanpa membalikkan badan ia lanjut berkata, “terserah apa yang akan Daddy lakukan. Dan perlu Daddy ingat, sampai kapan pun aku tak ingin jadi boneka seperti yang dialami Jeremy.” “Kau—” “Dan satu lagi ....” William memotong ucapan Michael dengan cepat. “... kalau Daddy menginginkan wanita itu menjadi bagian keluarga ini, Daddy bisa menikahinya.” Mampukah William mempertahankan keputusannya untuk keluar dari Keluarga Besar Johnson dan memilih pergi bersama kekasihnya?

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Gairah Liar Sang Penggoda
1

Bab 1 Godaan Thalia

01/10/2022