Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
55
Penayangan
10
Bab

Aidan laki-laki populer di SMA Cakrawala. Tak hanya visualnya yang tampan, sifat playboy juga sudah mendarah daging didirinya. Banyak kasus yang sering ia dapati disekolah karena ulahnya. Namun dibalik sifat bar-barnya, banyak luka yang ia telan sendirian. Sebelum akhirnya ia bertemu dengan Raya, cewek yang sangat membenci kehadiran Aidan sebagai ikon sekolah. Ketika semua cewek disekolah mengidolakannya, lain dengan Raya yang justru membenci laki-laki itu. Sampai ketika ketiga teman Raya membuat taruhan yang tanpa disadari akan merubah segalanya.

Bab 1 Taruhan!

"Halo Giska."

"Halo Naya."

"Hay Ser."

"Haloo cantik."Goda Aidan jail dengan mata yang ia mainkan kearah beberapa cewek yang melewatinya di sepanjang lorong sekolah. Melihat tingkah sahabatnya yang genit membuat Raffa hanya menggelengkan kepala. Lain dengan Bagas yang justru menimpali dengan lambaian tangan yang sok ngartis. Aidan, laki-laki bertubuh atletis dan wajah yang diatas rata-rata setidaknya menurut sebagian besar cewek-cewek di SMA Cakrawala. Tentu itu membuatnya mempunyai banyak penggemar di sekolah terutama untuk kaum hawa. Dan kelebihan itu lah yang membuatnya terkenal menjadi seorang playboy kelas kakap di sekolah. Dan for your information, selain tampan Laki-laki bermarga Adhitamana itu merupakan anak dari pengusaha manufaktur sukses di Indonesia dan telah menjadi donatur tetap di SMA Cakrawala.. Ketiga laki-laki itu menuju kantin, Aidan melipir ke stand es cincau Cik Yan. Selain untuk memesan es cincau, Aidan juga ingin menyapa Anna. Perempuan keturunan Tionghoa yang merupakan anak dari Cik Yan. "

Cik es cincau satu ya.." ucapnya kepada Cik Yan. Perempuan paruh baya itumengiyakan dan segera menyajikan pesanan. Namun belum sampai ia meracikan es cincau, Cik Yan dikagetkan dengan teriakan bariton dari mulut Aidan yang membuat beberapa siswa di kantin tertegun seketika melihat kearahnya. "NO NO NO NO!" Cik Yan terkejut dengan teriakan Aidan yang membingungkannya. "Yaampun Aidan hampir aja bikin Cik Yan jantungan!" ucap Cik Yan sambil mengelus dada. Aidan hanya terkekeh dengan reaksinya. "KENAPA! JADI BELI APA ENGGAK?!" balas Cik Yan lagi, kali ini ia membalas dengan suara baritonnya, ia dibuat kesal dengan kelakuan Aidan. Aidan terlonjak kaget melihat wanita paruh baya di depannya yang berteriak kearahnya. Sontak seisi kantin menertawakan Aidan. "Rasain loo!" sahut Bagas dengan tertawa renyah kearah sahabatnya itu. Namun beberapa detik ia terdiam saat Aidan melototinya. "Nggak enak kalo yang buatin Cik Yan mah." Ledek Aidan membuat Cik Yan melotot tajam. Aidan mendongakkan kepalanya seperti mencari sesuatu di belakang Cik Yan

"Anna mana Cik?" Aidan mengedipkan satu matanya kepada Cik Yan, membuat wanita paruh baya itu begidik ngeri melihatnya. "

Anna nggak ada." Cik Yan mendengus kasar ia jengah dengan kelakuan Aidan yang selalu menggoda anak perempuannya. "

Kalo Elsa?" sahut Aidan mengada-ada. Ya kali dikira keluarga Frozen. Cik Yan menaikkan alisnya tanda tak faham dengan yang dimaksud Aidan. Laki-laki itu sontak tertawa keras melihat reaksi bingung Cik Yan. Emang dasarnya Aidan jail nggak ketulungan, orang tua aja diusilin. Perempuan paruh baya itu memberikan segelas es cincau kepada Aidan. Aidan memberika uang seratus ribuan.

"Kembaliannya ambil aja Cik, hitung-hitung nyogok calon mertua, ya kann.." Usilnya lagi sebelum akhirnya ia menghampiri kedua sahabatnya yang sudah duduk di salah satu kursi di kantin. Cik Yan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah bocah satu ini yang tak henti-hentinya mengusilinya, hal yang hampir setiap hari Cik Yan rasakan namun hal itu justru tidak menjadikan beban buat Cik Yan. Ia justru senang dengan sikap Aidan yang seperti itu kepadanya, Bahakan Cik Yan sudak menganggap Aidan seperti anaknya sendiri. Disisi meja lain, Raya dengan ketiga temannya sedang membicarakan Aidan. Berkali-kali gadis itu mengumpat laki-laki bermata hazel dan rambut yang berwarna ash grey green hampir ditiap helai rambutnya. Melihatnya menggoda cewek-cewek di sekolah ini membuat Raya merasa jengah dengan sikap Aidan.

"Ketolong muka aja bangga, prestasi juga nggak ada, belagu banget jadi cowok." Dengus Raya sambil mengaduk-aduk es cincau di depannya. Sesekali ia melirik Aidan dan lagi-lagi mengumpatnya saat mendapati laki-laki itu yang sudah dikerumuni para cewek yang sukses terhipnotis olehnya.

"Gila sih emang, gue aja ngga pernah bosen lihatin mukanya yang super kiyutt cool ganteng-ganteng gimana gituh." Ucap Lala menatap Aidan tanpa berkedip dengan menopangkan dagu pada kedua tangannya.

"Ganteng iya, tajir melintir iyaa. Apa coba yang kurang. Sem-pur-na." Balas Kezia yang juga menatap cowok itu. "Kalian kenapa sih! biasa aja kali, sempurna dari mananya?" Raya menampol pipi kedua sahabatnya satu per satu. Ia tak habis pikir dengan Kezia dan Lala yang juga memuja Aidan.

"Inget kesempurnaan itu hanya milik Allah, iya nggak Nya?" Raya menoleh Vanya, meminta persetujuan. Perempuan berbadan gempal itu sibuk memakan bakso jumbo yang sudah habis dua porsi.

"Mbuetull..twapi shiapa sikh yhang nggak mhau sama chowok setcakep dwia.." Ucapnya dengan mulut yang masih penuh dengan bakso.

"Akhh..sama aja lo." Dengus Raya sebal. "Pelan-pelan aja kenapa sih kalo makan Nya." Lala menegur Vanya yang membuatnya ngeri melihat Vanya memakan bakso dengan brutal. "Hehe..sori-sori, habisnya enak parah nih bakso," Vanya terkekeh.

"Serius lo nggak suka sama tu cowok?" Ledek Lala kembali ke topik sebelumnya. "Atau jangan-jangan...Lo belok ya Ray?!" Raya melotot tajam membungkam mulut Lala, ia melirik ke kanan kirinya berharap tidak ada yang mendengar ucapan Lala barusan. Vanya dan Kezia hanya terkikik menahan tawanya yang hampir pecah. "Gila lo! gue masih waras kali."

"Tapi kalo buat cowok kayak dia, sori bukan level gue." Ketusnya. "Hati-hati kalo ngomong Ray, biasanya benci bisa jadi cinta tuh," sahut Vanya. Sepertinya ide nakal muncul di pikiran Lala, terlihat sikapnya yang menunjukkan senyuman nakal kepada Raya. Lala mendekati telinga Kezia lalu membisikkan sesuatu, seperti mengajaknya kompromi. Melihat kedua sahabatnya yang aneh membuat Raya dan Vanya mengedikkan bahu tak faham.

"Kenapa sih." Ketus Raya. "Ekhem.." Lala sengaja beredeham, lalu memperbaiki posisinya. Mengarahkan teman-temannya untuk merapatkan duduknya.

"Gimana kalo kita taruhan." Ucap Lala dengan suara lirih yang ditekankan.

"Apaan?" Tanya Vanya. "Firasat gue nggak enak," Ucap Raya lalu mengibaskan tangannya merasa suasana seketika membuat tubuhnya memanas. Lala tersenyum nakal kepada Raya. "Gue tantang lo buat bisa ambil hati Aidan, nan-"

"Nggak-nggak..ogah gue nggak sudi ikut permainan gila kalian." Potong Raya dengan cepat. Lala semakin tersenyum nakal.

"Oke, emang ada yang nggak setuju disini selain Raya?" tanya Lala kepada tiga sahabatnya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Raya mendengus kesal, kali ini tidak ada yang dipihaknya. Ketiga temannya terkikik geli melihat reaksi Raya.

"Sorry Ray, gue mau banget soalnya." Sahut Vanya tanpa rasa bersalah.

"Mau lihat gue sengsara?" Ketus Lala yang sudah mulai bad mood. Lala tersenyum dengan kemenangannya.

"Oke Ray lo kalah suara, jadi taruhan ini deal." Raya pasrah dengan teman-temannya, ia sudah kalah suara. Mau tak mau dirinya harus menerima taruhan ini. "Serah kalian deh. Taruhannya apa?" Tanyanya dengan pasrah. Lala kembali tersenyum dan memperbaiki posisi duduknya.

"Jadi lo harus bisa dapetin hatinya Aidan, buat dia jatuh cinta sama lo. Sampai dia nggak bisa berpaling ke cewek lain lagi," Raya mendengar dengan malas. Sebenarnya ia juga tak yakin bisa dengan taruhan itu. "GILA LO LA! GUE INI TEMEN LO LOH KALAU LO LUPA!" dengan spontan raya menggebrak meja membuat ketiga sahabatnya terkejut seketika.

"Lo udah Deal Ray." Sahut Vanya mengingatkan, Raya kembali menghembuskan nafasnya panjang menyesali segala keputusannya barusan.

"Terus kalo gue yang menang mau gimana?" Tanyanya dengan pasrah.

"Apa pun yang lo mau, bakal kita lakuin," Jawab lala dengan semangat.

"Yakin lo? Gue mau Sepuluh permintaan."

"Tiga permintaan," Tawar Lala.

"Nggak."

"Okay..lima permintaan," sahutnya mengalah.

"DEAL." Jawab Raya.

"Terus kalo gue yang kalah?" lanjutnya.

"Gampang, lo cuma traktir kita makan di kantin selama sebulan," Ucap Kezia.

"Cuma lo bilang!" Protes gadis itu lagi.

"Oh mau yang lain?" Kata Vanya mencoba memikirkan sesuatu. Raya segera menyahutnya.

"Nggak usah." Ucapnya cepat. Ia yakin ide selanjutnya akan lebih gila ketimbang traktir ketiga sahabatnya makan sebulan. Raya berpikir sejenak, dibanding dengan kemenangannya, kekalahannya tidak terlalu berat juga. Ia pun akhirnya mengangguk setuju.

"OKE siapa takut." Ucapnya ketus. Raya lantas berdiri dan meninggalkan ketiga sahabatnya di kantin. Ia melewati Aidan dkk, tentu saja mulut buaya itu beraksi. Sebelumnya, setiap Aidan menggodanya ia selalu diam dan mencuekkannya. Namun kali ini ai justru akan memancing laki-laki itu.

"Hay Raya cantik, main yuk," Goda Aidan dengan mulut buayanya. Raya menghentikan langkah dan berbalik kearah cowok itu duduk.

"Boleh. Kapan?" jawab Raya dengan senyum manisnya. Tentu saja senyum yang ia paksakan. Aidan sedikit terkejut dengan sikap Raya yang tiba-tiba berubah dari yang semula sedingin es batu kini menjadi hangat. Ketiga temannya yang melihat Raya meluncurkan aksinya tertawa cekikikan melihat sahabatnya ternya bergerak lebih cepat dari yang mereka pikirkan.

"Wiihh tumben si es batu mencair nih.." sahut Bagas yang juga cukup terkejut dengan sikap Raya. "Lusa, mau?" Ucap Aidan yang masih tak percaya namun tetap berusaha se-cool mungkin. Jelas saja ia menawarkan lusa, sebab nanti malam ia harus keluar dengan pacar kedua dari ke-lima pacarnya. Dasar buaya darat.

"Oke." Raya langsung meninggalkan Aidan dkk yang masih dibuat terdiam olehnya. Sepintas senyuman terlintas dibibirnya. Bukan senyuman buaya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku