icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
SHEILA, GAIRAH LIAR BERSELIMUT DENDAM

SHEILA, GAIRAH LIAR BERSELIMUT DENDAM

Cathalea

4.9
Komentar
115.7K
Penayangan
182
Bab

"Penjara ... atau habiskan satu malam denganku." "Maaf, keperawanan saya tidak bisa Anda dapatkan begitu saja, Pak!" "Kalau begitu bersiaplah berhadapan dengan proses hukum. Asal kamu tahu, aku tidak akan segan menuntutmu dengan hukuman berat." "Keperawanan saya sangat berharga. Saya tidak ada niat melakukan hubungan itu sebelum menikah. Kalau Anda menginginkan keperawanan saya ... nikahi saya terlebih dahulu!" "Aku tidak perlu menikah jika hanya untuk meniduri perempuan. Apa istimewanya milikmu itu sampai aku harus menikahimu?" Di depan lelaki itu, ia membuka pakaian dalamnya lalu memperlihatkan miliknya yang istimewa. Lelaki itu terpana, dengan gugup bertanya, "Apakah kau yakin sudah berusia dua puluh lima tahun? Mengapa milikmu bisa mulus seperti bayi begini?" *** Sheila Damaris tidak menyangka keputusannya untuk membiayai pengobatan sang ibu akan mengubah jalan hidupnya sedemikian drastis. Dari wanita elegan yang terkenal di kalangan pria, ia harus hidup sebagai istri kontrak sang direktur yang angkuh dan kejam. Awalnya ia menikmati peran baru sebagai istri Revian—sang direktur di tempatnya berkerja—, tetapi begitu lelaki itu tahu identitas kekasih Sheila sebelum menikahinya, sikapnya langsung berubah total. Hari demi hari Sheila lalui dalam penderitaan karena Revian hanya menjadikannya sebagai budak pemuas nafsu semata. Siapakah identitas kekasih Sheila sebelumnya? Apa yang akan Sheila lakukan untuk membalas semua kekejaman Revian?

Bab 1 Pilihan Pelik

Sheila berjalan dengan langkah tergesa menuju halte, meninggalkan gedung PT. EP yang menjulang megah tempatnya mencari nafkah selama ini. Dengan tak sabar ia menyetop taksi, lalu meminta sopir taksi itu untuk bergegas.

"Ke rumah sakit Haluan, Pak. Kalau bisa ngebut saja ya," pinta Sheila dengan wajah cemas.

Wanita cantik dengan bola mata biru gelap itu terus melirik arloji di pergelangan tangannya. Telepon dari orang yang ia tugaskan untuk menemani ibunya adalah alasan dia cemas sekali siang itu.

"Mbak Sheila, ibu pingsan di kamar mandi, dari hidungnya keluar darah!"

Itulah kata-kata yang ia dengar beberapa saat lalu, yang dalam sekejap mata membuat Sheila langsung berlari meninggalkan meja kerjanya.

Sheila tidak akan sepanik itu jika saja keluarganya masih utuh. Sayangnya, sang ayah meninggal tidak lama setelah perusahaannya dinyatakan bangkrut. Selepas kepergian ayahnya itu, hidup Sheila semakin kacau. Jangankan mendapat warisan yang berlimpah, semua aset keluarganya justru disita untuk membayar hutang. Itu sebabnya, Sheila harus berkerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan membiayai pengobatan sang ibu yang sakit-sakitan.

"Tolong lebih cepat lagi, Pak," pinta Sheila sambil menepuk-nepuk sandaran jok sopir itu dari belakang. Ia benar-benar tak sabar untuk segera melihat kondisi ibunya.

"Ini sudah sangat cepat, Mbak. Kalau lebih cepat lagi kita bisa celaka," jawab sopir taksi bertubuh besar itu.

"Oh, maaf. Saya sedang sangat buru-buru soalnya, ibu saya baru saja dibawa ke IGD rumah sakit itu," ujar Sheila dengan wajah yang hampir menangis.

Namun, ia tidak mau air mata itu jatuh dengan mudah. Sheila mengangkat kepalanya, mencegah air mata itu meluncur ke pipinya. Akan tetapi, tentu saja cara itu tidak akan membantu sama sekali. Air mata itu tetap meleleh di pipinya yang mulus.

Akhirnya, taksi itu sampai dengan selamat di rumah sakit yang ia tuju. Setelah membayar ongkos, Sheila berlari secepat mungkin menuju IGD, tempat sang bunda tercinta berada saat ini. Kaki Sheila lemas seolah tak bertulang saat mendapati ibunya terbaring tak berdaya dengan berbagai macam alat menempel di tubuhnya.

"Ibu Anda harus segera dioperasi, dia kritis."

Kata-kata dokter itu bagaikan palu besar menghantam dada Sheila. Sangat sakit dan menyesakkan dadanya. Tubuh Sheila bergetar hebat, ia bingung dan juga takut dalam satu waktu. Ia takut kehilangan ibunya, tetapi ia bingung dengan biaya pengobatan yang pastinya tidak sedikit itu.

'Operasi? Biayanya pasti besar sekali. Apa yang harus aku lakukan? Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayarnya?'

Sheila berdiri resah di hadapan dokter itu. Tanpa sadar ia menggigiti kukunya sendiri sambil menatap pilu pada ibunya yang tak sadarkan diri.

'Tabunganku hanya cukup untuk biaya hidup hingga gajian bulan depan. Ke mana aku harus mencari uang dalam waktu singkat ini? Haruskah aku ...? Ah, tidak-tidak. Tidak boleh, itu melanggar hukum, Sheila!'

Sheila terus bergelut dengan pikirannya sendiri.

"Tolong cepat, Mbak. Ini dokumennya, tolong ditandatangani. Lalu selesaikan administrasinya di kasir, ya."

Beberapa lembar kertas berpindah ke tangan Sheila. Ia benar-benar harus berpikir cepat kali ini karena satu detik saja terbuang bisa berakibat fatal pada ibunya. Tanpa berpikir panjang lagi Sheila menandatangani semua berkas itu lalu menyerahkannya pada petugas yang itu kembali.

"Biaya operasinya empat puluh delapan juta. Sesuai dengan peraturan rumah sakit ini, Anda harus membayar minimal setengah dari biaya tersebut agar pasien bisa di operasi secepatnya. Sisanya bisa Anda lunasi maksimal satu minggu setelah operasi selesai," kata kasir itu.

Sheila mengangguk dengan pikiran bercabang. Akal sehatnya benar-benar sudah hilang. Meski dengan tangan yang masih bergetar hebat, ia membuka dompet lalu mengeluarkan selembar cek yang baru saja ia terima tadi pagi.

'Ya, Tuhan. Tolong ampuni aku kali ini saja,' desis Sheila dengan suara yang sangat lirih.

Wanita berparas cantik itu memejamkan mata dengan perasaan bersalah. Namun, terbayang wajah ibunya yang sekarat, semua perasaan bersalah itu langsung raib tak bersisa. Bagi Sheila, nyawa ibunya lebih berharga. Ia tidak peduli lagi dengan risiko yang akan ia hadapi karena menggunakan cek itu tanpa izin pemiliknya.

"I-ini, Mbak. Sa-saya bisa bayar dengan cek, 'kan?" tanya Sheila gugup.

Kasir itu mengangguk, ia menerima lembaran cek yang Sheila sodorkan. Dalam hitungan detik, Sheila sudah menerima bukti pembayaran lunas, beserta uang kembalian senilai dua juta rupiah. Yah, cek senilai lima puluh juta yang seharusnya ia setorkan ke rekening perusahaan itu telah berpindah tangan sekarang.

Ia tidak tahu apakah rasa syukurnya hadir untuk alasan yang tepat, tetapi tidak bisa dipungkiri hal ini bisa ia lakukan karena kolom penerima pada cek tersebut tidak diisi oleh rekan bisnis yang mengeluarkan cek itu. Bagi mereka tanda terima pembayaran yang Sheila berikan sudah cukup sebagai bukti bahwa cek itu sudah sah sebagai alat pembayaran dari mereka.

Sheila melangkah meninggalkan meja kasir menuju ruang operasi. Ia tahu, saat ini sebelah kakinya sudah berada di penjara, tetapi ia tidak peduli karena saat ini yang terpenting adalah bisa menyelamatkan ibunya, satu-satunya keluarga yang masih ia miliki.

Beberapa jam sudah berlalu, Sheila masih duduk menunggu di depan kamar operasi yang lampunya masih menyala. Jantungnya berdetak beberapa kali lipat saat melihat jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul lima belas lewat lima menit. Ia tahu arti angka di penunjuk waktu itu, karena di jam segitu biasanya ia sudah membuat laporan penerimaan pembayaran harian.

Tugas itu tentu saja sudah ia limpahkan pada rekan kerjanya sebelum pergi tadi, tetapi yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat adalah fakta bahwa dirinya telah menggelapkan satu lembar cek yang seharusnya masuk dalam rekapitulasi penerimaan pembayaran hari ini.

Pukul lima sore lewat lima belas menit, enam jam sudah operasi itu berlangsung. Sheila mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Meski waktu operasi yang disebutkan dokter masih empat jam lagi, tetapi Sheila tetap tidak bisa tenang sebelum mendapat kabar bahwa operasi itu berhasil dilakukan.

Ia terus menatap ke pintu ruang operasi itu berharap dokter yang membedah tubuh ibunya keluar dari sana dengan wajah lega. Namun, lain yang ditunggunya lain pula yang ia dapatkan.

Dering ponsel yang memperlihatkan panggilan masuk dari ruang direktur membuat jantung Sheila terasa akan melompat ke luar.

["Selamat sore, Bu Sheila. Saya Chiara, sekretaris direktur. Pak Revian meminta Anda menghadapnya sekarang juga."]

"I-iya, Bu Chiara. Tetapi ... saya sedang di rumah sakit sekarang. Bisakah saya menemui beliau besok pagi?" pinta Sheila dengan suara terbata.

["Maaf, Bu Sheila. Pak Revian bilang harus sekarang, dia tidak akan menerima kedatangan Ibu besok pagi.]

Keringat dingin terasa mengalir deras di tubuhnya. Sheila tahu apa yang akan ia hadapi di ruangan direktur itu nanti. Tidak ada cara lain, ia harus menghadapi orang nomor satu di perusahaan itu jika masih ingin hidup dengan sedikit kewarasan yang tersisa.

Tiga puluh menit kemudian Sheila sudah berada di ruangan direktur berparas tampan itu. Muda, tubuh proporsional, cerdas, dan mapan. Tidak ada wanita yang menolak pesona eksekutif muda seperti Revian Adolf, sang konglomerat muda yang terkenal itu.

Jika saja hatinya tidak terikat pada seorang pria yang berada di masa lalu, mungkin dirinya sudah jatuh cinta pada ketampanan sosok di depannya saat ini. Sayangnya, sampai detik ini di hatinya masih bertahta nama pria itu. Pria yang ia sayangi sekaligus harus ia lupakan karena kemelut di kehidupan pribadinya.

"Sheila ... sudah berapa lama kamu berkerja di perusahaan ini?" tanya Revian dengan tatapan tajam, membuat lamunan panjang Sheila buyar seketika.

Kedua sikunya bertumpu di atas meja, sementara jari-jarinya yang panjang sibuk memainkan pena yang bagian atasnya bertuliskan namanya dengan tinta emas.

"Sudah dua tahun, Pak," jawab Sheila dengan suara yang dibuat setenang mungkin.

Pada hal aslinya ia sangat gugup sekali, tetapi Sheila berusaha untuk tetap terkendali di hadapan pemilik perusahaan itu.

"Apa posisimu di perusahaan ini?" tanya Revian lagi.

"Kasir utama, Pak."

"Dua tahun menduduki jabatan kasir utama PT. Eksim Perkasa. Wow ... cukup hebat," puji Revian dengan sebelah sudut bibir terangkat.

Lelaki itu tersenyum sambil memujinya, tetapi, di telinga Sheila pujian itu terdengar seperti seringai serigala yang sedang berhadapan dengan mangsanya. Ia benar-benar terpojok dan tidak berkutik, tubuhnya mendadak terasa kerdil di hadapan Revian yang berkuasa.

"Semua ... karena support dari Anda ..., Pak Revian," jawab Sheila yang semakin gugup.

Deru napasnya tak lagi teratur. Ia bisa merasakan sekujur tubuhnya basah oleh keringat.

"Selama kurun waktu tersebut ... berapa banyak uang perusahaan yang sudah kamu gelapkan?" tuding Revian tajam.

Sheila tersentak. Harga dirinya terluka mendengar pertanyaan yang mengarah pada tuduhan itu. Ia tidak bisa menerima perlakuan tidak adil itu begitu saja, karena selama ini ia mendedikasikan dirinya sepenuh hati pada perusahaan itu.

"Maaf, Pak. Saya keberatan dengan pertanyaan Anda yang jelas-jelas disertai tuduhan itu. Selama berkerja di sini saya tidak melakukan hal serendah itu, Pak. Saya adalah karyawan yang jujur dan penuh tanggung jawab," jawab Sheila dengan intonasi sedikit meninggi.

"Good! Memang itu yang saya butuhkan dari para karyawan yang berkerja di perusahaan ini," sahut Revian cepat.

"Lalu ... apa yang baru saja kamu lakukan dengan cek ini?" lanjut Revian seraya melemparkan fotocopy lembaran cek, di mana yang aslinya beberapa saat lalu sudah Sheila gunakan untuk membayar pengobatan ibunya.

Tubuh Sheila membeku. Kakinya bagai terpatri ke lantai, membuatnya tak lagi mampu bergerak meski hanya untuk sekedar menggelengkan kepala.

"Sa-saya terpaksa ... menggunakan cek itu ... untuk membiayai operasi ibu saya," jawab Sheila dengan kalimat yang terputus-putus.

"Kamu tahu, 'kan? Perusahaan ini bukan yayasan amal, Sheila. Apa pun alasannya, kamu telah menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi, dan itu jelas-jelas melanggar hukum!" kecam Revian.

Kepala Sheila tertunduk, ia mengaku salah kali ini. Setelah dua tahun berkerja, inilah pertama kalinya ia melakukan hal tercela begitu.

"To-tolong beri saya kesempatan untuk membayarnya, Pak," pinta Sheila dengan suara yang lemah.

"Satu hari, paling lambat besok sore kamu harus membawakan uang senilai cek ini ke hadapan saya," tegas Revian.

Sheila semakin tidak berdaya karena ia tahu itu adalah hal yang sangat mustahil untuk ia penuhi.

"Saya mohon, Pak. Izinkan saya mencicilnya dari gaji," pinta Sheila lagi, masih tidak menyerah untuk mendapatkan solusi terbaik untuk kesalahannya.

"Nope! Kamu telah menggelapkan uang perusahaan, berarti kamu mengkhianati kepercayaanku. Tidak ada tempat bagi pengkhianat di perusahaan ini," tolak Revian tegas.

Sheila tidak tahu lagi harus berkata apa untuk melunakkan hati Revian. Ia benar-benar tidak memiliki jalan keluar dari masalah itu.

"Sekarang begini saja," cetus Revian setelah beberapa saat terdiam, membiarkan Sheila larut dengan pikirannya sendiri.

"Aku ajukan dua opsi untukmu," ujar Revian dengan tatapan licik.

Kepala Sheila langsung terangkat demi mendengar solusi yang Revian tawarkan. Ia menatap penuh harap kepada lelaki yang kini mengumbar senyum kemenangan di hadapannya.

"Kamu boleh memilih salah satu. Penjara ... atau ... habiskan satu malam denganku."

Sheila tersentak, ia sampai mundur satu langkah saking kagetnya mendengar pilihan yang diberikan Revian.

"Maaf, Pak Revian. Tetapi keperawanan saya tidak akan pernah saya serahkan begitu saja tanpa ada ikatan pernikahan!" tolak Sheila dengan suara bergetar.

"Kalau begitu bersiaplah berhadapan dengan proses hukum. Asal kamu tahu, aku tidak akan segan menuntutmu dengan hukuman berat," jawab Revian dengan nada mengancam.

Namun, Sheila juga tidak mau menyerah begitu mudah. Jika memang harus mengorbankan hal paling berharga di dalam hidupnya itu, ia tidak mau berkorban tanpa mendapatkan apa pun selain bebas dari tuntutan hukum.

"Keperawanan saya sangat berharga, Pak. Inilah satu-satunya yang membuat diri saya merasa bernilai saat ini, yang membuktikan bahwa saya bukan wanita murahan. Bahkan dengan kekasih sekalipun, saya tidak pernah memiliki niat untuk melakukan hubungan itu sebelum menikah. Jadi ... kalau Anda menginginkan keperawanan saya ini ... nikahi saya terlebih dahulu!" ucap Sheila dengan tegas.

Revian berdecak dengan nada mencemooh.

"Aku tidak perlu menikah jika hanya untuk meniduri perempuan. Banyak perempuan di luar sana yang rela aku tiduri dengan cuma-cuma, mengapa harus repot? Lagi pula apa istimewanya milikmu itu sampai aku harus menikahimu?"

Di depan lelaki itu, ia membuka pakaian dalamnya lalu memperlihatkan miliknya yang memang istimewa.

Lelaki itu terpana, lalu dengan gugup bertanya, "Apakah kau yakin sudah berusia dua puluh lima tahun? Mengapa milikmu bisa mulus seperti bayi begini?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Cathalea

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku