Satu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka itu dinamakan dendam.
Namanya Dareena Helsanafa. Nama paling indah yang pernah diberikan padanya. Begitu pula dengan makna yang terkandung. Gadis bijaksana tercinta yang mengabdi pada Tuhan. Mengalir dalam darahnya jiwa bangsawan yang cerdas, kuat, dan tangguh. Kulit putih bersih, wajah dengan dagu lancip, iris abu-abu serta tahi lalat di sudut kanan bibirnya membuat tiap manusia jatuh hati terhadap sosok ceria dan selalu tersenyum pada dunia.
Sangat disayangkan, mereka telah mengambil segalanya. Ceria, senyum hangat, lemah lembut, tak ada yang tersisa. Semuanya telah digantikan dengan garis wajah keras, aura dingin, senyum kaku, juga hati baja. Tak ada yang senang ditinggalkan sosok wanita yang tanpa pertimbangan melahirkannya, apalagi jika sosok tersebut direnggut oleh kelompok manusia yang amat dibenci.
Bukan tanpa alasan ia membenci, pun bukan tanpa alibi ia mendendam. Segalanya pernah menjadi sumber luka yang menyayat batin. Lebih dari itu, segala yang terjadi telah memporak-porandakan keadaan tanah airnya. Segalanya berubah, menjadi suasana mencekam, hanya beriring jerit ketakutan dan air wajah kecemasan.
Ya. Semuanya bermula ketika kelompok mereka datang. Merebut sebagian besar wilayah dengan alasan ingin menyebarluaskan ajaran agama yang menjadi tempat kembali nurani. Gospel memanglah menjadi tujuan utama, namun haruskah dengan segala kekacauan? Menurut Dareena, mereka hanya melakukan ekspansi ranah berkedok gospel. Ah, dunia memang penuh sandiwara.
Mengingat hal itu, rahang Dareena mengeras, giginya bergemerutuk, tangannya mengepal. Ia akan membalaskan dendam sang ibu.
🗡🗡
"Pukul lebih kuat!" perintah Lazaro, sang guru lebih keras, memacu tenaga dalam yang dikerahkan Dareena. Sang guru tua renta jika dilihat dari punggungnya yang sudah melengkung itu memerhatikan dalam Dareena. Gadis itu persis ayahnya jika sedang berlatih, dengan garis wajah menyerupai Ivina.
Dareena menghentikan aksinya membelah batu besar yang hanya diizinkan dengan tongkat kayu nan berat, bebentuk silindris dan tumpul pula.
"Ini sama sekali tidak masuk akal. Bahkan pedang besi saja akan patah jika digunakan untuk menghantam batu sebesar ini," protes Dareena di tengah napasnya yang terengah.
Sesepuh yang dipanggil guru oleh Dareena tertawa kecil, menegaskan keriput di sekitar bibir dan matanya. Tertatih namun pasti, lelaki tua itu mendekat.
"Javiero, kakakmu, serta Alfredo, ayahmu, juga mengatakan hal sama berulang kali sebelum mereka berhasil memecah batu itu dan mendapat pedang pertama mereka, Tuan Putri," ucap sang guru. Dareena memutar bola mata, bosan dengan ucapan serupa yang terlontar tiap kali dirinya mengeluh tidak dapat melakukan perintah konyol tersebut.
Gadis dengan rambut panjang kecoklatan itu memutuskan duduk sebentar. Hari hampir siang, namun targetnya belum terpenuhi. Sudah sejak sebulan yang lalu ia diberikan tugas konyol menurutnya; membelah batu dengan diameter 90 centimeter hanya menggunakan pedang kayu tumpul nan berat. Pagi dan sore Dareena berlatih, tetap tak ada kemajuan. Pedang kayunya berakhir di tumpukan jerami halaman belakang, sengaja dilemparkan untuk melampiaskan kekesalannya.
"Dareena duduk di halaman belakang. Selalu indah memerhatikan gugus gemintang dalam gulita. Obor di sekelilingnya menjadi saksi betapa sering sang putri mengenang Ivina lewat langit kelam, juga memanjatkan pinta pada simbol salib yang menggantung di leher untuk sekali saja bisa mengembalikan sang ibunda. Api yang meliuk ditiup angin pun paham kalau doa itu sia-sia.
Gadis dalam balutan gaun kembang itu memerhatikan telapak tangan. Bagian itu tak sehalus milik wanita penjual parfum, tapi sedikit lebih baik daripada gadis penumbuk gandum. Beberapa kapalan kecil terselip di sana. Sayangnya, pedang titanium yang ditargetkan bahkan belum didapatkan.
Matanya beralih pada tongkat yang dalam latihan sering disebut pedang tumpul olehnya yang kini sudah terbagi dua, walau sebenarnya masih bisa digunakan untuk berlatih, karena bagian yang patah hanyalah sejengkal, sedangkan ukuran semulanya 100 cm.
"Reena?"
Dareena mengalihkan pandangan ke arah suara bariton di belakangnya. Sang kakak, Javiero berjalan mendekat, lalu memutuskan duduk di samping Dareena.
"Sedang apa, hm?"
"Kau sendiri sedang apa?" Alih-alih menjawab, Dareena malah bertanya balik, membuat Javiero terkekeh. Memang begitulah kebiasaan bungsunya.
"Memantau keadaan. Akhir-akhir ini, harga pajak melonjak naik tanpa sebab. Imigran gelap juga mulai banyak berdatangan. Sepertinya akan terjadi inflasi lagi," lapor Javiero.
Dareena hanya menanggapi dengan helaan napas pendek. Ia sudah mengetahui kondisi itu. Sejak perang beberapa tahun lalu, terjadi kenaikan harga mata uang sebab beberapa hal, harga pajak juga semakin naik. Membuat beberapa rakyat dengan taraf ekonomi rendah berdatangan meminta jaminan pada raja. Yah, perang memang membawa dampak besar. Tak ada yang siap dengan perubahan signifikan itu.
Pandangan Javiero jatuh pada benda di tangan Dareena. Matanya membulat.
"Benda ini bisa patah?" tanyanya takjub, tak menyangka benda dari kayu terbaik bisa patah.
"Begitulah," jawab Dareena simpul.
"Kau hebat sekali. Apa Lazaro memberikanmu pedang baru setelah kaupatahkan ini?"
"Dia akan memberiku pedang jika batu besar itu terbelah, bukan ketika benda ini patah," balas Dareena dingin, membuat Javiero tergelak.
"Si Tua itu masih saja keras kepala. Apa dia tidak bisa sedikit berbaik hati pada wanita sepertimu?" Dareena menanggapi dengan dengkusan. Candaan Javiero sama sekali tak lucu menurutnya. Humornya dipercaya begitu rendah.
Mereka berdua sama-sama terdiam menyadari tak ada respons lanjutan dari candaan Javiero. Angin musim gugur menyapa sedikit kencang, memainkan anak rambut dua saudara itu.
"Perang akan terjadi dua bulan lagi. Ini perang yang besar." Ucapan Javiero sontak membuat wajah cantik Dareena beralih padanya.
Dareena mulai fokus memikirkan caranya agar dapat mengikuti perang. Emosinya membara saat ini, membayangkan pembalasan dendamnya dekat sudah. Netra abu-abu gelapnya mangilap, gigi atas dan bawahnya saling mengatup. Javiero bukan tak menyadari hal itu, ia mengerti betul bahwa sang bungsu menaruh target begitu tinggi untuk bergabung bersama pasukan.
pedang begitu sulit, apa? Sampai harus melakukan hal aneh?" Pertanyaan sama yang entah sudah berapa kali terucap saat frustrasi kini keluar lagi dari mulutnya. Dareena mendengkus, melempar pedang yang lebih cocok dikatakan tongkat ke hadapannya.
Buku lain oleh maira
Selebihnya