Kisah seorang gadis bertubuh gemuk yang selalu menerima hinaan dari Ibu sambung dan adik tirinya. Boni tumbuh menjadi perempuan yang memiliki kesabaran seluas langit, dia sanggup menerima hinaan-hinaan Ibu dan Adik sambungnya tanpa membalas sedikitpun. Sampai akhirnya, dia bisa membuktikan kalau kesabarannya membuahkan kemenangan dan cinta tanpa batas dari orang-orang yang menyayanginya dengan tulus.
"Sudah, Feb!! Hentikan!!"
Bonita dan Ibunya mencoba melerai pertengkaran antara Febri dengan Siska. Masih pagi, tapi keributan sudah dimulai di rumah ini.
"Lepaskan, Kak!! Perempuan ini lama-lama mulutnya semakin pedas! Harus ditampol dulu mungkin biar pedasnya berkurang!" Sahut Febri kesal.
"Nggak, Feb!! Jangan!! Kakak nggak pa pa, koq! Udah ya, Dek!!"
"Emang kenyataannya dia kayak babon! Kenapa lu yang sewot!" sahut Siska dari seberang sana, tubuh Ibu sudah tertarik kesana kemari untuk melerai, tapi kekuatan Siska mengalahkan kekuatannya. Alhasil, Ibu terjatuh ke lantai.
"Ibu!!"
Febri dan Bonita melotot menatap Ibu yang jatuh terduduk di lantai, keduanya bergerak maju hendak membantu Ibu berdiri, tapi Siska berpikir kalau keduanya hendak menyerang dirinya. Siska membungkuk untuk segera melepaskan sendal swallow yang dia kenakan, lalu mengibaskan sendal tersebut sembarangan. Febri yang berjalan di depan, langsung jongkok dan mendekati tubuh Ibu, alhasil kibasan sendal swallow Siska tepat menampar keras pipi Bonita yang berjalan dibelakang Febri.
"Awwww!!! Sakit!! Huhuuuuuhuuuu!!! Sakit!!"
Bonita langsung jongkok dan bergelung di lantai sambil memegangi pipinya yang terasa sangat pedih, Ibu dan Febri langsung menoleh dan menatap Bonita yang bergelung menahan sakit. Kedua mata Febri langsung basah melihat Kakaknya yang lemah terlihat tak berdaya, dia langsung menoleh kembali pada Siska dan melotot tajam ke arah kakaknya yang satu itu.
"Siska Aprilia!!!" teriak Febri sekuat tenaga, tapi Siska sudah lari terbirit-birit meninggalkan rumah, menyelamatkan diri dari amukan Febri.
*
Ayah memandangi kedua anaknya dengan tatapan tajam. Kejadian pagi tadi sudah sampai di telinganya, beliau benar-benar murka. Apalagi setelah melihat pipi Bonita yang membengkak dan merah akibat terkena sebatan sendal swallow milik Siska, menambah tinggi ukuran tensi darahnya saat ini.
"Ayah sudah memutuskan!"
Suara berat Ayah memecah keheningan yang sudah berlangsung hampir satu jam. Semua diam mendengarkan, tak ada yang berani bersuara.
"Minggu depan, Febri ikut Paman Doni ke Batam, bekerja di sana!"
Febri mengangkat kepala dengan cepat, menatap Ayahnya dengan tajam, tak terima dengan keputusan Ayah, tapi Ayah diam tak peduli.
"Kamu dan Siska tidak bisa tinggal dalam satu atap, tak ada yang bisa mengalah, setiap hari selalu ribut! Ayah malu pada tetangga! Anak sudah besar-besar tapi masih juga suka ribut dan bertengkar!"
"Dan juga karena kamu laki-laki, Feb... Kamu harus bekerja! Kamu harus mengumpulkan pengalaman, harus tahu bagaimana rasanya jauh dari orang tua, harus mandiri, karena kamu yang akan memimpin keluarga kecilmu nanti!" Lanjut Ayah, khusus untuk Febri.
"Yesss!" Pekik Siska tertahan, senyuman mengejek mengembang di sudut bibirnya.
"Dan kamu, Siska!"
Siska lantas terdiam, lalu menoleh dan menatap wajah Ayah, dia kaget mendengar namanya disebutkan.
"Mulai besok, kamu harus tinggal bersama Tante Arin selama tiga bulan!"
"Yesss!!! Hahahaha...."
Febri tertawa terbahak-bahak, merasa sangat bahagia dengan hukuman yang diterima Siska.
Tante Arin adalah adik bungsu Ayah, di usianya yang sudah kepala lima, Tante Arin belum juga menikah. Entah apa sebabnya, tapi beliau sangat membenci makhluk Tuhan berjenis kelamin laki-laki, kecuali laki-laki yang jelas adalah keluarganya sendiri.
Tante Arin bekerja sebagai Kepala Lembaga Permasyarakatan. Pribadinya yang tegas dan keras membuat siapapun takut kepadanya, tak terkecuali Ayah sendiri.
"Ayah!! Siska nggak mau!!" ucap Siska manja.
"Tidak!! Kamu harus mau! Kalau Febri saja bersedia tinggal jauh dari kami, entah untuk berapa lama, kenapa kamu menolak tinggal dengan Tante Arin, padahal hanya tiga bulan saja!" Sahut Ayah kesal. Siska merengut memajukan bibirnya.
"Lalu, Kak Boni?" Tanya Siska kesal, dia sepertinya sangat ingin mendengar hukuman apa yang akan Ayah berikan kepada Boni.
"Kenapa Kak Boni? Dia nggak salah! Dia korban, apa lu nggak lihat pipinya bengkak gara-gara kebodohan lu yang maksimal!" Sambar Febri tak suka.
"Lu yang bego, dasar bencong!"
"Lu!
"Lu!"
"Diammmm!!!"
Ayah memijit keningnya sambil mengatur nafas setelah berteriak meminta kedua anaknya untuk diam, Boni menatap beliau dengan perasaan iba. Ibu mengusap-usap pelan punggung Ayah, beliau pun merasa iba pada Ayah.
"Bonita akan tetap berada di rumah ini," ucap Ayah pelan, tak setegas dan selantang tadi. Siska langsung mendengus kesal dan membuang muka.
"Selain karena dia tidak bersalah, dia juga sudah terluka akibat keributan yang kalian berdua ciptakan. Lagi pula siapa yang akan menemani dan membantu Ibu melakukan pekerjaan rumah," sambung Ayah lagi.
"Kami ini sudah tua, seharusnya tak lagi sibuk melerai pertengkaran anak dan mendengar keributan. Kalau begini terus, lama-lama Ayah dan Ibu bisa mati berdiri."
Boni dan Febri menunduk dalam, penyesalan jelas terlihat di wajah keduanya. Berbeda dengan Siska, dia tak peduli sedikitpun dengan ucapan Ayahnya.
"Mulai besok pagi, Bonita akan bekerja di kedai foto copy Paman Ali."
Ayah mengangkat kepala, lalu menatap Boni iba.
"Bagaimana, Ta? Kamu mau, kan?" Tanya Ayah lembut.
Bonita mengangkat kepalanya perlahan, lalu membalas tatapan Ayah.
"Iya, Ayah... Boni mau," jawab Bonita mantap.
*
Sudah sebulan berlalu, selama itu juga Boni sudah menghabiskan waktunya di kedai foto copy Paman Ali. Paman Ali adalah sahabat Ayah dari kecil, dia sangat mengenal silsilah keluarga Boni. Sudah lama dia menawarkan pekerjaan untuk Boni, agar anak itu terlepas dari siksaan psikis yang dia terima dari Siska juga sesekali dari Ibu sambungnya. Tapi saat itu Boni masih sekolah, Ayah tak mau konsentrasi Boni terpecah hanya karena harus bekerja setelah pulang sekolah.
Tak butuh waktu lama untuk membuat Boni bisa beradaptasi dengan semua kegiatan di kedai. Dalam waktu sebulan saja dia sudah menguasai semua pekerjaannya di kedai. Bahkan tak jarang Paman Ali meninggalkan kedai dan menyerahkan semua pekerjaan di kedai kepada Boni dan Hendri, keponakan Paman Ali yang sudah ikut membantunya bekerja di kedai dua tahun terakhir.
"Foto copy, Ndri!!"
Boni yang sedang menjilid pesanan pelanggan melonjak kaget mendengar suara berat seseorang yang baru datang.
"Awwww!!!"
"Kenapa, Bon!"
Bonita memperhatikan darah yang mengalir dari sudut jari telunjuknya, ujung pisau cutter yang tajam menyinggung ujung telunjuknya karena kaget saat mendengar suara orang yang baru datang tadi.
"Ini... Pakai ini," ucap Hendri sambil menyerahkan pembalut luka pada Boni, setelah itu dia kembali ke depan untuk melayani pelanggan yang baru datang.
"Ya, Bang... Maaf... Apa tadi?" Tanya Hendri pada laki-laki yang baru datang tadi.
"Lu lihat dulu luka temen lu, Ndri. Siapa tahu robek, syukur-syukur sih nggak," jawab laki-laki itu, matanya tak lepas memperhatikan Boni yang sedang menghisap ujung telunjuknya untuk menghentikan darah. Hendri berbalik kembali ke tempat Boni berdiri.
"Gimana? Robek?" tanya Hendri sambil menatap ujung telunjuk Boni.
"Nggak, Bang... Hanya luka sedikit," jawab Boni pelan.
"Ya udah... Segera balut dengan obat luka itu," tunjuk Hendri pada obat luka yang tadi dia berikan, Boni mengangguk. Setelah itu, Hendri kembali menemui laki-laki yang dia panggil "Abang" tadi.
"Sudah, Bang... Abang mau apa tadi?" tanya Hendri pada laki-laki yang masih berdiri menunggu di depan etalase kedai.
"Foto copy kan KTP ini, Ndri... Seribu," jawabnya memberi perintah. Hendri lekas mengambil KTP yang ada di atas etalase dan berbalik ke arah mesin foto copy. Sedangkan laki-laki yang tadi meminta KTP nya diperbanyak, kembali menatap Boni yang sedang membalut luka.
"Hey... Hey... Bohay!! Awas!!"
Bab 1 Keributan di Pagi Hari
26/01/2022
Buku lain oleh dhena_28
Selebihnya