Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
36
Penayangan
2
Bab

Menceritakan kisah hidup Hana. Entah ia bertemu dengan jodohnya atau tidak

Bab 1 Apa itu rumah

"Rumah hanya untuk berteduh bukan untuk mengeluh"

"Ayo pulang Rin, Ayahnya sudah datang" Ucapku melihat seorang laki-laki datang dengan sepeda. Perawakannya tinggi, berkulit putih, mata sipit, kumis tipis, rahang kokoh dan alis tebal menambah kesan tegasnya. Tatapan tajamnya meneliti dari atas sampai bawah membuatku gugup, tanganku berkeringat karna takut tak beralasan. Saat menghampiri kami ia menyapa Karin dengan ramah, tapi wajahnya berubah kecut saat menyapaku, matanya menyiratkan kebencian mendalam seakan aliran darahku dibuat membeku. Aku dengan tak tenang menggoyang-goyangkan tangan Karin seperti anak meminta pulang kepada Ibunya. Sang empunya hanya tertawa seakan itu hal lucu baginya.

Sebenarnya aku enggan masuk karna takut, tapi karin selalu memilki 1000 cara agar aku menurut padanya, jika tidak aku disuruh pulang sendiri dan tidak mau berteman lagi. Sungguh kejam bukan. Suasana di ruang tamu itu sangat asik, kekehan tawa keduanya sangat keras seperti sedang lomba tertawa, dimana suara tawa paling keras ialah pemenangnya. Aku yang tidak paham apa-apa hanya tersenyum, jadi seperti ini rasanya kesepian di kala ramai.

Obrolan mereka sangat random, dari mulai bertukar cerita, menceritakan hal kecil saja tertawa padahal tidak lucu sama sekali, dan sekali-kali memojokanku. Sungguh aneh.

Aku tak memedulikannya, dalam hati mengeluh. Jika bukan karena teman, aku tak mau bertemu dengan laki-laki ini. So' cool, songong, so' galak, mukanya seperti bapa-bapa, wajarkan kalo aku bilang dia ayahnya. Ternyata itu alasan dia tidak ramah saat menyapaku, maklum Faktor U jadi baperan.

Arya pratama. Nama yang tampan tapi tak setampan wajah dan kelakuannya. Sangat disayangkan. Mengingat kelakuannya membuat ide-ide jahil bermunculan. Ingin rasanya aku mempermalukan dan tertawa keras di depannya.

Lamunanku buyar saat Tama melempar sukro tepat mengenai kepala.

"Pantesan dipanggil gak nyahut. Mikirin apa seyum-senyum sendiri?" Tanya Karin

"Emang tadi manggil?" tanyaku kikuk

"Badan dimana, otak dimana" Celetuknya

Nah kan emang nyebelin.

"Biasanya yang sering berantem jodoh" ujar Karin

"Najis"

Aku menganggukan kepala tanda setuju. Lagi-lagi tatapan tajam itu yang didapati membuat suasana semakin canggung. "Ayo pulang Rin takut dimarahi Ibu" Setiap kali pulang telat itu jurus andalanku agar cepat pulang. Karin sudah mengerti jika aku bilang begitu artinya harus segera pulang jika tidak ingin kena semprotan Kangjeng mami alias Ibu.

Disaat sedang buru-buru Bus yang ditunggu malah tak kunjung datang. Hampir satu jam kita bertiga berdiri dan menjadi pusat perhatian orang lewat. Bagaimana tidak Tama dengan seenak jidat ngotot ingin berdiri di tengah membuat orang berfikir macam-macam. Dia bilang kedepannya agar bisa adil jika punya istri dua. Aku bergidik ngeri, amit-amit jika sampai itu terjadi.

Ada seorang laki-laki menghampiri Karin, ternyata dia kakaknya, Bang Uki. Kedatangannya membuat perasaan gelisah, takut jika Karin diajak pulang duluan dan menyisakan aku dan Tama, belum lagi tidak tahu jalan pulang. Benar dugaanku setelah berbincang agak lama akhirnya Karin pamit pulang, dia hanya cengengesan sambil minta maaf dan menitipkan aku pada Tama dikira barang apa. kesalku

Arloji tua menjadi perhatian utamanya saat ini. Detik demi detik terus berjalan sampai jarum pendeknya berhenti di angka 6. Kumandang adzan magrib terdengar bersahutan, tapi kendaraan umum tak ada yang lewat satupun. Tepaksa Hana harus jalan kaki agar cepat sampai di rumah. Sudah bilang berkali-kali ia bisa pulang sendiri tapi Tama tetap besikeras mengantarnya pulang dengan alasan demi Karin, tapi ia bersyukur atas sifat keras kepalanya Tama jadi ia tidak akan tersesat. Sesampainya dirumah, Angga kakak pertama Hana sudah berada di depan pintu, menyilangkan tangan di depan dada, menyapa kami sangat ramah dan mempersilahkan Tama masuk. Setelah kepulangan Tama Kak Angga memanggil semua orang rumah agar berkumpul di ruang tamu. Mereka menginterogasi dan memojokanku. Semua orang tidak setuju jika aku menjalin hubungan dengannya karna keluarga ini menetang keras hubungan percintaan dengan orang china. Selain beda agama juga beda adat. Padahal mereka salah paham. Aku baru kenal Tama tadi siang, dia juga bukan orang china, agamanya pun sama dengan kita. Yang membuatku muak di keluarga ini adalah selalu main tangan jika aku melakukan kesalahan tanpa mau tahu kebenarannya, seperti sekarang contohnya. Kak Angga memukul belakang kepalaku sampai tersungkur ke lantai. Ibu diam tak membela atau menyalahkan, Kak Tian juga demikian. Perlakuan mereka membuatku berfikir apa aku anak kandung Ayah Ibu atau bukan. Bagiku rumah hanya sebagai tempat berteduh bukan untuk megeluh. Mereka hanya ingin di dengar tanpa mau mendengar. Berkali-kali fikiran bunuh diri atau kabur selalu tebesit, tapi saat itu datang tiba-tiba selalu teringat pesan Ayah. "Seberat-beratnya ujian kamu di dunia tak sebanding dengan siksa yang akan dihadapi nanti, jadi sabar sampai dipanggil kembali".

Kejadian ini membuatku terjaga sepanjang malam. Mendapat perlakuan seperti ini bukan pertama kali, tapi sakitnya masih sama. Mata tidak bisa diajak kompromi, air mata yang di tahan sejak tadi dibiarkan meleleh. Hana sudah mendapatkan perlakuan ini sejak kecil, hanya ayah yang sayang padanya. Ia fikir setelah ayahnya pergi keadaan akan membaik, akan semakin dekat dengan ibunya. Ternyata salah, keluarga hanya sebuah ikatan, berada dalam kartu yang sama, rumah yang sama, tidak lebih. Sekarang ia dipaksa untuk segera menikah karna sudah cukup umur malu jadi bahan omongan tetangga dan keluarga besar. Tapi setiap kali laki-laki datang ke rumah mereka selalu mundur duluan karna pertanyaan keluarga di luar nalar. Isi pertanyaannya bukan ingin mengenal laki-laki tersebut lebih tepatnya mengintrogasi. Hana bukan tidak ingin menikah tapi belum bertemu jodohnya saja, di dalam hatinya ia ingin segera pergi dari rumah ini.

Malam telah datang artinya waktu ovetrhinking telah tiba. Ditambah semilir angin dan gemericik air hujan menjadi pelengkapnya. Kilasan-kilasan masa lalu datang berhamburan, seakan luka yg belum sirna kembali menganga. Hana tahu membanding-bandingkan dirinya tak ada gunanya, tapi dengan begitu ia bisa kembali bangkit meskipun terkesan mencari penyakit. Mengungkit masa lalu, mengingat kejadian yang seharusnya di lupakan. Terkadang ia iri pada Devi Karina sahabatnya. Ralat, hanya ia yang menganggap sahabat. Keluarga mereka harmonis, tidak ada kekerasann bundanya pun menjaga Karin bak putri. Kakanya sangat over protektif, hidup bebas tidak ada yang mengekang dan tidak kekurangan apapun. Berbeda dengan dirinya yang diperlukan tidak manusiawi. Dalam hati kecilnya bertanya-tanya, apa arti rumah? Apa arti keluarga? Apa arti pernikahan? Apa arti hidup? Hidup untuk apa? Kenapa harus bertahan untuk hidup? Apa yang harus diperjuangkan? Hana hanyut dalam pertanyaan sendiri sampai terlelap.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku