Maaf. Aku sungguh menyesalinya. Semua yang aku lakukan kepadamu benar-benar membuatku mengutuk diriku sendiri. Beri aku sedikit waktu untuk menebus semua kesalahanku. Berikan aku kemampuan untuk mengembalikan waktu. Aku tahu ini sebuah kalimat klasik dari seorang pengecut yang tidak berani melangkah maju. Tapi, keterpurukan atas kehilanganmu berhasil membuatku menjadi seorang pengecut seutuhnya. Andai kala itu aku bisa berdamai dengan diriku sendiri dan melapangkan dada. Mungkin saja saat ini rasa penyesalan tak sesakit ini. Atau mungkin kamu sengaja membiarkanku terpuruk dan merasakan sakit yang selalu kutorehkan padamu? Berapa lama rasa sakit ini akan pulih? Berapa lama aku harus menebus kesalahanku? Atau tidak bisakah waktu kembali pada saat aku mulai membencimu? Aku adalah kakak terburuk bagimu. Mungkin Tuhan begitu menyayangimu sampai menjauhkanmu dari sebuah kesialan. Yaitu aku.
Siang ini, cuaca di kota Yogyakarta mendadak mendung. Padahal pagi ini matahari tampak cerah bersinar dan langit tampak bersih dari awan putih. Namun, cuaca seketika berubah. Angin bertiup ribut menggoyangkan dedahanan sampai menggugurkan daun-daun yang tampak kecoklatan. Ini masih musim panas. Sangat jarang terjadi hujan di bulan Juni.
Jalanan yang tampak ramai itu mulai sepi karena cuaca yang mendadak berubah. Mereka berpindah ke rumah makan beratap atau bahkan segera pulang ke rumah. Beberapa pekerja memilih diam di kantor dan menggunakan layanan pesan antar untuk makan siang mereka.
Langit yang harusnya terang benderang seketika gelap. Seperti jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Begitu gelap dan dingin. Mungkin karena akan hujan, jadi udara terasa makin dingin.
Suasana juga entah kenapa terasa sendu. Membuat siapapun merenung sesaat saat berdiam diri. Termasuk seorang pemuda berusia 20 tahun yang tengah duduk di cafe. Dia seorang mahasiswa jurusan IT di Universitas Gajah Mada.
Setiap selesai kuliah dia akan pergi nongkrong bersama temannya. Tapi, hari ini dia sendirian menikmati kopi expresso di dalam cafe. Laptopnya masih menyala menampilakan laporan yang belum selesai ia kerjakan. Itu adalah laporan akhir. Targetnya dia akan lulus tahun ini. Cukup tiga tahun ia kuliah, jangan bertambah menjadi empat tahun.
Otak cerdasnya yang membuatnya mampu menyelesaikan studinya di tahun ketiga. Meninggalkan teman-temannya yang dulu sama-sama masuk dengannya. Sejak kecil dia selalu mendapat juara satu dalam banyak bidang. Seni, atletik, sains, bahasa, bahkan agama.
Dia bahkan berkuliah di UGM berkat beasiswa yang ia dapatkan. Hanya ada beberapa orang yang diundang oleh kampus untuk menjadi mahasiswa mereka, dan dari sedikitnya orang pilihan UGM dia termasuk di dalamnya. Dia sebenarnya asli orang Semarang, tapi karena UGM termasuk kampus impiannya dia rela tinggal jauh dari keluarganya.
Bahkan satu tahun belakang dia tidak pulang karena keinginannya sendiri. Kebanyakan orang akan segera kembali ke tempat tinggalnya saat liburan akhir semester. Tapi, tidak bagi pemuda bernama lengkap Ageng Pratama. Dia lebih suka tinggal di daerah istimewa ini. Baginya kehidupannya yang sekarang begitu baik.
Selain karena dia suka suasana di Jogja dia juga menghindari adiknya. Adiknya yang usianya hanya terpaut empat tahun itu. Baginya adiknya adalah sebuah hama besar yang mengganggunya.
Tama tidak pernah suka pada adiknya yang memiliki keterbatasan mental itu. Dia berisik dan mempermalukannya berkali-kali. Kalau bisa memilih dia hanya ingin tinggal bersama adik kembarnya saja. Dia terlahir kembar dengan Fajar Dwi Prasetyo.
Mendadak ponselnya berdering. Baru saja dipikirkan, sekarang adik kembarnya meneleponnya. Dia segera menerima panggilan telepon tersebut.
["Tama, ke Singapura sekarang! Operasi Elang gagal, Elang udah nggak ada ..."]
Matanya hilang fokus sampai dia menjatuhkan ponselnya ke lantai marmer cafe. Beberapa pengunjung cafe menatapnya heran. Tama segera memungut ponselnya dan memasukkannya tergesa ke saku celananya.
Tangannya bergerak terburu-buru membereskan barang-barangnya di atas meja bahkan menutup laptop tersebut tanpa mematikannya terlebih dulu. Pikirannya kalut, masih beruntung ada sedikit akal sehat untuk mengemas semuanya dengan baik.
Dia berjalan cepat keluar cafe dan menerobos hujan yang entah sejak kapan turun membasahi bumi. Aroma petrikor memenuhi indra penciumannya. Membuatnya merasa begitu benci aroma yang tengah memenuhi rongga paru-parunya.
Dia pergi ke bandara segera dengan menaiki taksi. Dalam taksi dia segera menyalakan ponselnya yang mati akibat jatuh. Membeli tiket ke Kota Singa. Bagusnya ada keberangkatan hari ini. Tapi apakah langit mengizinkannya pergi ke negara tersebut?
Dia mendongak menatap langit dari jendela taksi. Menatapnya sembari merafalkan doa agar langit segera cerah dan pesawat diizinkan lepas landas tanpa pemunduran waktu. Harusnya dua jam lagi pesawat berangkat.
Pikirannya begitu kalut sampai hampir meninggalkan tas berisi laptopnya di dalam taksi. Bagusnya dia tidak lupa membayar ongkos taksi. Dia berlari mengurus administrasi yang diperlukan bahkan menanyakan apakah pesawat tersebut bisa berangkat sesuai jadwal atau tidak. Padahal jelas-jelas hujan turun begitu deras di luar sana.
Dia terduduk di ruang tunggu bersama banyak orang yang juga menunggu kepastian keberangkatan pesawat mereka. Bahkan jadwal yang seharusnya tiga puluh menit lalu di undur. Tama menundukkan kepalanya bersungguh-sungguh berdoa agar Tuhan membiarkannya menemui sang adik untuk terakhir kalinya.
Adik yang bahkan tidak pernah ia anggap ada sekarang dia merasa kehilangan. Pikirannya berkelana pada kilasan masa lalunya. Tentang hubungannya dengan si bungsu yang tak pernah baik. Bahkan dia pernah berpikir untuk menyingkirkannya dari kehidupannya.
Air matanya menetes bersamaan kilasan akan dirinya yang begitu kejam memperlakukan remaja lemah tersebut. Dia menangis sesenggukan membuat beberapa orang menatapnya heran sekaligus khawatir. Bahkan dia dengan bodohnya duduk memangku tas laptopnya tanpa membawa barang-barang yang akan ia perlukan. Menggunakan jaket denim hitam dengan celana jeans hitam. Rambutnya acak-acakan dan lepek akibat hujan. Tangannya saling meremas satu sama lain.
Dia mengusap wajahnya berusaha baik-baik saja. Tapi, sekuat apapun ia mencoba ingatan itu membuat air matanya merembes keluar. Membasahi pipinya tanpa henti dan menetes ke tas laptop di pangkuannya.
Ponselnya berdering. Dia mengusap wajahnya berusaha melihat siapa yang meneleponnya. Kali ini ibunya yang menghubunginya. Dia menarik napas, mencoba setenang mungkin agar bisa menerima panggilan dari sang ibu.
["Kamu nggak mau nemuin adik kamu, Ta? Untuk terakhir kalinya."]
Tenggorokannya sakit menahan isakan saat suara parau wanita yang selalu ia durhakai. Kepalanya sakit hanya karena kilasan masa lalu terus berputar mengobrak-abrik perasaannya. Dengan suara serak dia mulai berbicara.
"Tunggu bu, aku akan ke sana."
Begitu mengatakan itu dia segera mengakhiri panggilan. Tidak sanggup menahan isakan apalagi suara parau dari ibunya. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Ini mimpi kan?
Kenapa terasa begitu menyakitkan. Dadanya begitu sesak menerima kenyataan ini. Satu orang yang tidak pernah ia harapkan pergi untuk selama-lamanya. Seharusnya dia senang, tapi hatinya mengkhianati pikirannya.
Hatinya mengirimkan pesan menyakitkan yang membuat dadanya perih. Tama mengusap wajahnya kasar lantas menatap jam dinding yang terpajang tak jauh dari tempatnya duduk. Memperlihatkan waktu yang baru terlewat 10 menit dari dia duduk di kursi ini.
Kenapa waktu berjalan begitu lambat sekarang? Disaat seperti ini kenapa semua yang ia inginkan tak bisa ia miliki? Otak geniusnya seketika memiliki iq dua angka. Menyalahkan langit yang tak kunjung cerah atau waktu yang tak kunjung berlalu.
Seperti orang gila dia menangis sesenggukan sembari sesekali mengumpati apa saja yang mengganggunya. Waktu, langit, pesawat, bahkan orang yang duduk di sebelahnya juga ia umpati. Aroma petrikor yang membekas membuatnya muak.
Dia benci hujan. Benci aroma petrikor yang membuat adiknya pergi. Dia benci semua yang ia lalui hari ini. Termasuk kopi expresso yang sebelumnya ia idolakan. Dia benci taksi yang berjalan lambat. Ia benci laptopnya yang terasa merepotkan dirinya. Ia benci kursi cafe yang mebuatnya terhambat saat berdiri. Ia benci ponselnya yang mati hanya karena jatuh. Ia benci semuanya.
Termasuk napasnya.
Buku lain oleh FebriDRF
Selebihnya