ASI untuk Pak Guru

ASI untuk Pak Guru

vio femio

5.0
Komentar
274.3K
Penayangan
151
Bab

"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.

Bab 1 Hisap ASIku Pak

"Tolong panggilkan siswi bernama Jenara, suruh menghadap ke ruangan saya!" perintah pak Edward, selaku wali kelas XII IPA 1.

"Baik pak," jawab Dani, selaku ketua kelas XII IPA 1.

Sementara menunggu Jenara datang, Edward memeriksa ponselnya.

Ada banyak pesan dari mamanya untuk memintanya pulang.

Edward memijit pelipisnya kala membaca pesan mamanya tentang perjodohan dan makan malam yang tengah disiapkan.

"Sampai kapan kontes perjodohan ini berakhir?" gumam Edward dengan heran.

Tiba- tiba pintu diketuk membuat Edward menoleh.

"Masuk," pintu terbuka dan menampilkan Jenara.

"Bapak manggil saya?" Edward hanya mengangguk, mematikan ponselnya.

"Kamu kemarin sudah konsultasi dengan BK untuk memilih jurusan?" tanya Edward seraya mencari berkas Jenara.

"Sudah pak," jawab Jenara dengan cepat. Ia sedang menahan sesuatu yang sangat sakit saat ini. Rasa nyeri berdenyut ini membuatnya sangat tidak nyaman untuk diajak mengobrol saat ini.

"Lalu apa pilihanmu? Apa kata guru BK?" tanya Edward menanyakan tentang hasilnya.

Jenara meremas erat roknya sembari menunduk menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang berdenyut dan sakit.

Edward mengangkat kepalanya menatap Jenara yang malah menunduk, "Ada apa? Apa sesuatu terjadi?" tanya Edward dengan dingin.

Jenara langsung mengangkat kepalanya, menatap Edward dengan mengetatkan giginya, menggelengkan kepalanya dengan kuat.

"Kata bu Deli saya diminta untuk memilih Universitas Milan saja, sepertinya akan lebih baik karena sesuai dengan jurusan yang saya pilih, namun saya keberatan untuk biayanya pak, karena itu saya memilih Universitas pilihan kedua, kata bu Deli itu terserah saya, karena saya memilih jurusan yang saya kuasai, saya bisa memilih universitas manapun," jelas Jenara tentang hasil konsultasinya kemarin.

Edward mengangguk membuka biodata Jenara, melihat transkip nilai serta catatan dari guru BK.

"Lalu kamu akan tetap memilih universitas Milan atau pilihan kedua? Bukankah kamu sangat gencar untuk memilih Universitas Milan?" Jenara menelan salivanya kala benda kenyalnya begitu berkedut keras dan semakin nyeri.

"Saya tetap memilih universitas pilihan kedua pak, kemungkinan untuk mendapatkan beasiswa tidak terlalu sulit," jawab Jenara dengan spontan.

Edward manggut- manggut dengan paham, menutup berkas milik Jenara.

Ia menatap Jenara yang sejak tadi menunduk meremas roknya. Hingga tatapannya menangkap sesuatu pada seragam putih Jenara.

"Kenapa seragammu basah?" tanya Edward dengan lancang dan spontan.

Jenara mengangkat kepalanya seraya menggigit bibir bawahnya meringis kesakitan.

"Maaf pak, tapi bisa tolong hisa....., Saya sudah tidak kuat.... ini sangat sakit sekali," kata Jenara dengan spontan tanpa berpikir panjang.

Edward menelan salivanya dengan terkejut melihat tingkah Jenara yang menahan rasa sakit seraya meremas dadanya.

"Apa maksudmu? Jangan berkata tidak sopan, kamu sedang berada di sekolah, kamu tahu apa yang barusan kamu lakukan?" tanya Edward dengan marah.

Jenara yang sudah tidak kuat, sontak langsung menghampiri Edward.

"Maaf pak, saya lupa bawa pumping, biasanya saya tidak pernah begini, tapi hari ini saya benar- benar tidak bisa menahannya, bisa tolong bantu saya?" kata Jenara yang mana ia sudah berdiri di samping Edward saat ini.

Edward dibuat canggung dan bingung harus bagaimana, namun melihat sesuatu merembes dari balik seragam putih Jenara membuat Edward bingung harus bersikap.

Jenara sontak langsung melepas kancing seragamnya, membuat Edward memalingkan wajahnya.

"Maaf pak, bisa cepat lakukan, saya tidak kuat lagi, ini sangat sakit dan berdenyut, rasanya sungguh sakit saat tidak bisa keluar," kata Jenara dengan panik sembari meremas meja menahan rasa sakitnya.

Edward yang tidak ingin lebih lama lagi melihat Jenara kesakitan, sontak mengangkat tubuh Jenara ke atas mejanya, menatap dengan canggung Jenara.

"Akhhh terus pak hisap," lenguh Jenara panjang kala Edward mulai menghisap ASInya.

Edward melepas hisapannya menatap mata Jenara yang sendu, "Pelankan suaramu sebelum orang- orang membakar ruanganku."

Jenara mengangguk, menggigit bibir bawahnya.

Edward kembali menghisap ASI Jenara, sesekali ia meremasnya dengan kuat.

Jenara mendongakkan kepalanya ke atas, menikmati sensasi puas dan lega dengan hisapan Edward.

Tanpa Jenara sadari, ia meremas rambut Edward.

Edward yang sedikit terbuai, seolah lupa dengan posisinya saat ini. Hingga keduanya teralihkan dengan ketukan pintu.

"Cepat sembunyi," kata Edward seraya mencecap sekilas bibirnya.

Jenara mengancingkan kembali seragamnya, langsung bersembunyi di bawah meja Edward.

"Masuk," kata Edward sembari duduk kembali di kursinya, memasang wajah sesantai mungkin.

Jenara yang kini duduk di antara kaki Edward benar- benar dibuat salah fokus dengan apa yang berada di depannya.

Ia benar- benar di posisi yang salah saat ini.

'Aku sudah gila, aku benar- benar sudah gila, bagaimana bisa aku meminta guruku untuk menghisap ASIku,' batin Jenara dalam hati.

"Pak Edward ini biodata anak- anak kelas bapak yang kemarin konsultasi dengan saya," ujar bu Deli seraya menyerahkan berkasnya.

"Terima kasih bu," kata pak Edward seraya menerima berkasnya.

Bu Deli hanya mengangguk namun ia tak kunjung pergi dari sana.

"Ada yang lain bu?" tanya Edward kala bu Deli masih berdiri di sana.

"Saya ada tiket nonton malam ini, bagaimana jika kita berdua pergi bersama?" tawari bu Deli pada Edward.

Edward dengan senyum canggung menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf bu Deli, saya benar- benar sibuk untuk menyiapkan berkas anak- anak, dan nanti malam kebetulan sekali saya ada acara keluarga."

Bu Deli hanya bisa mengangguk dan pamit keluar begitu saja. Edward dengan napas lega memundurkan kursinya ke belakang.

"Keluarlah!" kata Edward pada Jenara.

Dengan canggung dan malu, Jenara keluar dari persembunyiannya.

Jenara menunduk di depan Edward dengan malu, meremas kuat roknya.

"Sejak kapan?" tanya Edward membuat Jenara mengangkat kepalanya.

Jenara yang paham kemana arah pembicaraan Edward sontak kembali menunduk dan menjawab, "Sejak kelas dua pak. Biasanya saya selalu menampungnya di pumping untuk disalurkan ke bank ASI. Karena hari ini lupa, jadi saya tidak bisa menahannya."

Edward memalingkan wajahnya seraya menelan salivanya.

"Jika kamu tidak bisa menahannya, apa yang akan kamu lakukan? Tidak mungkin kan kamu meminta teman laki- lakimu untuk melakukannya?" Jenara langsung mendelik kesal dan menggelengkan kepalanya.

"Mana mungkin saja melakukan itu, lebih baik saja mati kesakitan di toilet," kata Jenara dengan tegas membuat Edward menaikkan sebelah alisnya.

"Lalu tadi?" Jenara langsung menundukkan kepalanya kembali.

"Itu karena anda sudah mengetahuinya lebih dulu dan saya tidak bisa keluar dengan seragam basah begini," jawab Jenara dengan jujur membuat Edward langsung berdiri dari kursinya dan mendekat pada Jenara.

Jenara mengangkat kepalanya menatap Edward dengan takut.

"Bapak boleh hukum saja apapun itu, tapi saya mohon, jangan beritahukan hal ini pada siapapun pak, saya benar- benar bodoh dan ceroboh tadi, saya juga sudah tidak sopan pada bapak, saya pantas dihukum, saya memang murahan namun itu juga bukan keinginan saya pak," kata Jenara dengan pasrah.

"Saya tahu, itu karena kamu kelebihan hormon galaktorea," kata Edward yang paham tentang hal itu.

Jenara menelan salivanya, menunggu apa yang akan Edward lakukan padanya.

"Mulai sekarang, biarkan saya menghisap ASImu sebagai gantinya saya akan tutup mulut!" Jenara mengangkat kepalanya dengan terkejut.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh vio femio

Selebihnya

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku