Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI

PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI

Alvina Apriyanti

5.0
Komentar
1
Penayangan
5
Bab

Wulan, seorang istri yang sudah menikah selama sepuluh tahun bersama suaminya yang bernama Hilman. Dalam pernikahannya, dirinya merasa tertekan. Apalagi suami yang diharapkannya mampu menjadi membimbing malah justru membuat Wulan merasa prustasi. Selain itu, Anisa yang sebagai Ibu mertua Wulan, selalu saja mengikutcampuri rumah tangganya membuat Wulan semakin memendam rasa ingin berpisah dengan suaminya.

Bab 1 Uang belanja

''Dek, ini uang gaji dari kantor. Tolong pergunakan uang ini dengan baik, jangan sampai boros.'' Mas Hilman menyerahkan amplop berwarna cokelat. Gegas aku membuka dan menghitung uang.

''Hanya segini, Mas?''

Mas Hilman mengangguk. ''Iya. Memang kenapa? Apa kurang cukup?''

''Cukup, Mas!'' Aku menunduk dan memikirkan bagaimana caranya agar uang pemberian Mas Hilman cukup untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangga selama satu bulan. Apalagi saat ini sudah ada empat orang anak dalam pernikahan kami.

''Sore ini ibu akan datang berkunjung ke rumah, secepatnya kamu belanja dan masak makanan yang enak untuk Ibu,''

''Baik, Mas.''

Aku mengangguk menuruti keinginan suamiku untuk pergi berbelanja dan memasak makanan yang enak untuk Ibu. Mas Hilman memberikan uang sebesar satu juta setiap bulannya. Setiap hari aku selalu pusing mengatur uang pemberiannya yang bahkan belum satu bulan uang sudah habis tak tersisa.

Aku membeli kebutuhan dapur seperti daging ayam, bawang, bumbu opor instan, ikan, beras, minyak, penyedap, tahu, tempe, kentang dan sudah habis empat ratus ribu. Sisa enam ratus ribu akan aku pergunakan untuk kebutuhan bekal keempat anakku yang masih menunjang pendidikan sekolah.

Setelah selesai berbelanja, aku langsung pulang dan menuju dapur. Kedua tangan ini sangat lihai mengerjakan tugas memasak. Perlahan, potongan daging ayam terbelah mencincang hingga menjadi banyak potongan. Kemudian, aku merebusnya di dalam panci yang sudah terisi air bersih. Selain itu, aku juga menggoreng tahu dan tempe. Makanan yang paling aku dan anak-anak sukai. Tidak dengan Mas Hilman.

''Kenapa harus ada tahu dan tempe sih, Dek? Ibu nggak suka makanan itu! Kenapa nggak goreng ikan saja?'' tanya Mas Hilman secara tiba-tiba sudah berada tepat di sampingku.

''Kita harus hemat, Mas. Ikan untuk besok. Lagipula aku akan membuat opor ayam untuk Ibu tidak hanya tahu dan tempe saja,'' ujarku menatap sekilas ke arah Mas Hilman.

''Yang kamu masak itu adalah uangku, Wulan. Ibuku akan datang ke rumah. Seharusnya sebagai menantu kamu harus menyiapkan makanan yang enak untuk Ibu mertuamu, bukan hanya opor ayam saja. Untuk tahu dan tempe lebih baik kamu makan saja bersama ke empat anakmu. Menyesal aku memberi nafkah kamu yang hanya bisa mengandalkan gaji suami,'' sentak Mas Hilman sinis.

Aku menatap wajah Mas Hilman tajam. Tidak ada lagi rasa cinta di hati ini, hanya ada kebencian yang membara tertanam di dada. Selama sepuluh tahun aku membina rumah tangga dengannya dan menerima berapapun uang pemberian dari suamiku. Memang, aku hanya mengandalkan gaji Mas Hilman, tetapi ketika ia mengatakan hal itu, kenapa hatiku begitu sakit sekali. Rasanya menyesal kenapa sebelum menikah aku menuruti keinginan Mas Hilman untuk resign dari tempat kerja dulu.

''Sudah sewajibnya kamu memberi nafkah, Mas. Anak kita sudah tiga. Seharusnya kamu paham dengan kondisi ekonomi rumah tangga ini. Walaupun aku Ibu rumah tangga, itu 'kan keinginanmu,'' ucapku lantang.

''Itu dulu ... saat penampilanmu sangat menarik. Aku tak ingin ada pria mana pun yang mendekatimu sesaat kamu kerja. Tapi sekarang, aku menyesal. Kamu gendut, tidak menarik lagi. Seakan-akan sekarang kamu menjadi beban buatku,'' sahut Mas Hilman.

Degh.

Plak!

Aku menampar wajah Mas Hilman keras hingga bersemu kemerahan. Aku tak menyangka Mas Hilman akan mengatakan hal itu. Ternyata selama ini, pirasaku benar, Mas Hilman sudah tidak mencintaiku jauh sebelum bentuk penampilanku tidak semenarik dulu.

''Jadi, sekarang kamu apa?'' tanyaku menantang.

''Aku ingin kita ce-''

''Astaga! Ada apa ini?'' Ibu tiba-tiba saja datang sesaat Mas Hilman akan mengatakan sesuatu.

''Wulan, Bu. Aku suruh dia memasak ikan nggak mau. Padahal Ibu sebentar lagi akan datang, malah menggoreng tahu dan tempe!'' timpal Mas Hilman mengadu. Ingin sekali menyumpal mulutnya dengan besi agar suamiku merasakan sakit yang mendalam.

''Keterlaluan! Sudah tahu Ibu tidak suka tahu tempe, kenapa nggak kamu turuti kemauan suamimu, Wulan?!''

Aku terdiam menelan saliva, Ibu terlihat sangat marah dengan tatapan kedua matanya yang tajam. Aku sangat heran dengan keluarga ini, tidak ada rasa bahagia selama pernikahan. Seharusnya Mas Hilman membelaku bukan sama-sama memprovokasi. Hanya masalah ikan dipermasalahkan. Untung saja aku masih sabar dengan penghasilan suamiku yang tidak seberapa.

Teringat ucapan Mas Hilman ketika ia hendak akan melamarku.

''Pokoknya jika kita menikah aku akan selalu membahagiakan kamu dan juga anak-anak kita nanti. Kamu tidak akan kekurangan dan aku akan memperlakukan kamu dengan baik,'' ucap Mas Hilman kala itu.

Mendengar ucapan itu, hatiku sangat berbunga-bunga. Aku mantapkan hati menerima lamarannya. Setelah menikah, aku baru menyadari, ternyata ucapannya kala itu hanya sebuah tipu muslihat buaya darat.

Sekarang aku hanya bisa menjalani dan menerima takdir yang sudah Tuhan gariskan. Aku berharap suatu hari nanti akan ada dimana aku dan ke-empat anakku bahagia walaupun tanpa Mas Hilman.

***

''Kamu mau ke mana, Wulan?'' tanya Mas Hilman yang barusaja masuk ke dalam kamar. Dia melirik tubuhku dari atas hingga ke bawah.

''Aku mau pergi sebentar, Mas. Tidak akan lama.'' Aku menjawab sembari sibuk merapikan pakaian. Setelah kejadian tadi siang di dapur, sore ini aku memutuskan untuk pulang berkunjung menemui kedua orang tuaku.

''Baguslah! Lebih baik nggak usah pulang saja sekalian!'' ujarnya sinis.

''Maksud kamu apa, Mas? Kamu mengusirku?'' Aku menatap Mas Hilman tajam. Dia tak akan bisa mengusirku. Sebab rumah yang kami tempati adalah hasil dari kerjaku selama sebelum menikah dengan Mas Hilman.

''Ya kalau kamu paham, Mas nggak perlu susah-susah mengusirmu, ya, kan?''

''Ini rumahku! Kamu tidak berhak mengusirku. Seharusnya kamu yang pergi dari rumah ini, bukan aku!'' Aku membentak. Bukannya ketakutan, Mas Hilman justru tertawa terbahak-bahak. Apa dia sudah tidak waras?

''Kamu salah, Wulan ... apa kamu lupa? Satu tahun lalu, kamu sudah menandatangi surat yang pernah aku berikan ke kamu. Rumah ini sudah beralih nama atas namaku sendiri Hilman Hendrawan. Jadi kamu tidak berhak menggugat ataupun mengusirku dari rumahku sendiri.''

Degh!

''Apa?''

.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Alvina Apriyanti

Selebihnya

Buku serupa

Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

kodav
5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku