Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
BUKAN SUAMI RAHASIA

BUKAN SUAMI RAHASIA

Dwi Sartika Juni

5.0
Komentar
2.3K
Penayangan
60
Bab

Sudah dua tahun Ava dan Jay menjalani pernikahan karena perjodohan. Selagi Jay terus main gila di luar, Ava pun melakukan hal yang sama dengan mengencani seorang pria kaya dari keluarga terpandang. Meski sangat ingin, Ava dan Jay tidak bisa bercerai. Sehingga Jay akhirnya mengizinkan Ava menjalani pernikahan bersama pria lain yang dirahasiakan. Bisakah rahasia itu terus terjaga? Sampai kapan?

Bab 1 Chapter 1

"Kau memang sudah gila," geram Jay, suamiku.

"Aku masih waras." Santai, tenang tanggapanku.

"Waras katamu?" Jay melotot padaku, mendorong beberapa lembar surat perjanjian di atas meja ke depanku. Menggeram lagi, lalu berdecak.

"Kalau begitu kau tahu apa artinya ini, bukan?"

"Tentu saja aku tahu. Aku sadar saat menuliskannya. Dan artinya kau harus menyetujui keinginanku untuk memiliki dua orang suami." Melipat kedua tangan di depan dada, aku tersenyum sekilas. "Tanda tangan saja. Ini akan baik untuk kita berdua. Jika ingin, kau juga bisa melakukannya."

Seketika, Jay menggebrak meja dengan raut merah padam. "Jangan samakan aku denganmu, Ava!"

"Ya, kau benar. Aku dan kau tidak sama. Kau memilih untuk berselingkuh dengan beberapa wanita sekaligus, sedangkan aku ingin menikahi hanya satu orang pria lagi saja," jelasku, tersenyum sinis.

"Apa ini bentuk balas dendammu padaku?"

"Oh, tidak, tidak." Kugeleng-gelengkan kepala dengan tawa kecil. "Kita sama-sama tahu seperti apa pernikahan konyol ini berjalan selama lebih dari dua tahun, Jay. Jadi mari lakukan segala yang ingin kita lakukan, tanpa saling mencampuri urusan masing-masing. Seperti biasanya."

"Kau benar-benar gila, Ravabia Vigor!" desis Jay, mengepalkan satu tangannya di atas meja.

Aku tidak peduli. Sungguh tidak peduli. "Selama kedua tua bangka itu masih hidup, kita akan terus terjebak dalam pernikahan gila ini. Jadi sungguh Jay, aku sudah tidak tahan lagi." Kuraih bolpoin di samping tangan Jay yang mengepal, meletakkannya tepat di atas kertas berisikan berbagai perjanjian untuk aku dan Jay, yang bersangkutan dengan pernikahan keduaku dan perselingkuhan Jay selama hampir dua tahun terakhir. "Cepat tanda tangan!"

"Akan kupikir-"

"Tidak ada waktu lagi. Aku akan menikah dalam minggu ini. Jadi segera tanda tangan," selaku cepat. Aku memang senang terburu-buru.

Jay hanya memegang bolpoin di tangannya, tanpa menggerakkan benda itu untuk mengukir tanda tangannya di sana. Dia mematung dan aku siap meledak kapan saja.

"Apa yang kau tunggu? Cepat tanda tangan sebelum aku melaporkan perselingkuhanmu pada Kakek Hamlet Martin!" ancamku sambil berbisik, membungkuk di samping telinga Jay, menempatkan bibirku di sana.

"Berengsek kau, Ava!"

"Kau jelas tahu, kau lebih berengsek dariku, Jay."

***

Neil Cedric Harrison, dialah pemicu hasrat hatiku yang membeku, untuk mencintainya dengan tulus melalui sebuah pernikahan.

Jujur saja, meski aku bukan wanita yang menjunjung tinggi perilaku baik penuh tata krama, tapi aku membenci perzinahan. Persis seperti yang dilakukan Jay sejak dua bulan kami menikah.

"Bia!"

Aku menoleh untuk kemudian tersenyum lebar pada sosok pria yang memanggil dari arah belakangku, dan hanya dia yang memanggilku dengan nama itu.

"Hei, sudah lama?" tanyaku ramah. Aku menyambut tangannya yang sudah terulur ke hadapanku. Kami saling berbagi kehangatan, lewat genggaman jari jemari yang saling bertaut.

"Tidak." Dia tersenyum, mengecup pipi kananku tanpa ragu, apalagi malu-malu.

"Sungguh?" Kutatap dia yang tampak menahan dan melawan hawa dingin. Aku tahu, dia sering merasa baik-baik saja meski tidak tampak seperti itu di mataku.

Dia tersenyum, kembali mengecup, tapi kali ini tepat di bibirku, sekilas. "Sungguh, percayalah. Aku hanya tidak kuat berada di luar rumah sedikit lebih lama di cuaca dingin seperti ini."

Kuletakkan kedua telapak tanganku di pipinya. Menggosok-gosok perlahan wajah tirus itu agar dia merasa sedikit hangat. "Neil, maafkan aku ya? Ini menjadi sedikit lebih lama. Aku harus benar-benar berhasil mengancam Jay agar dia tidak menganggapku hanya sekedar menggertak."

"Tidak apa-apa, aku sangat mengerti. Mungkin sulit bagi Jay untuk mengizinkan kita menikah."

"Tidak perlu cemas, Neil. Jay sudah menandatangani surat perjanjiannya. Seperti kataku sebelumnya, cukup menggunakan Kakek Hamlet untuk membuatnya takut."

Neil memegang kedua pundakku, begitu tiba-tiba, dia menatapku lurus-lurus, "Jangan terlalu memaksakan dirimu. Berulang kali kukatakan, aku bersedia menunggu."

"Tidak, jangan lagi memintaku untuk tetap membiarkanmu menunggu." Kutatap wajahnya, meski Jay lebih tampan, tapi bagiku, Neil segalanya. "Memangnya kau bersedia untuk terus menjadi kekasih rahasiaku?"

"Tentu saja aku bersedia. Itu tidak masalah," sahut Neil cepat, mengusap kepalaku.

"Kau gila!" Aku tertawa, bahagia, tentu saja.

"Ini karenamu, Bia. Aku bukan sedang merayumu, tapi sungguh, aku tak mengapa dengan keadaan sesulit dan serumit apapun, asal kau bersamaku, berada dipihakku."

"Begitukah? Terima kasih, Neil. Tapi akan kupastikan, kita menikah dalam minggu ini, akhir pekan." Dengan tegas, aku mengacungkan jari telunjukku di depan wajahnya.

"Kau sudah tidak sabar untuk berada terus didekatku, bukan?" Neil menggodaku, mengedipkan sebelah mata.

"Yap, kau benar!"

Mungkin terlihat menggemaskan, Neil meraih wajahku, menghujaniku dengan ciuman ketika dia sudah berhasil membawaku ke mobilnya.

"Sayang, katakan padaku, jika selama ini ada hal yang membuatmu tidak bahagia, aku akan coba melakukan apapun, memperbaikinya untuk membuatmu merasa lebih baik," kata Neil setelah melepas ciuman kami.

Aku hanya mengangguk, memeluk Neil erat-erat, lalu menjambak rambut lebatnya, untuk memperoleh kesenangan dari leher kokoh dengan jakun yang mempesona milik pria penuh aura berwibawa ini.

Aku tergila-gila padanya!

"Oh, kau menginginkan lebih?"

"Ini salah satu alasanku kenapa aku ingin segera menikahimu," keluhku muram.

"Bersabarlah, aku akan membuatmu bahagia nanti. Kau tidak akan menggunakan pengaman saat melakukannya denganku, kan?" Kedua bola mata Neil menggambarkan kegelisahan, dia cemas.

"Tidak. Tentu saja tidak."

Wajah Neil luar biasa bahagia. Ya, sesederhana itu kebahagiaan untuknya. Itulah kenapa aku tidak bisa mengatakan bahwa aku belum ingin ada kehadiran seorang Anak di antara kami. Akan kutunda untuk mengatakan hal itu padanya.

***

"Baru pulang?"

Aku terkejut ketika selesai menyalakan lampu dan melihat Jay berbaring di sofa ruang tamu dengan seorang wanita. Ah, berengsek memang! Kenapa harus membawa masuk para jalangnya ke rumah? Walau ini bukan yang pertama kalinya.

Dengan malas, aku menghampiri mereka. Kulirik sekilas wanita cantik berambut merah dengan riasan wajah tipis yang harus kuakui, dia jalang kelas tinggi.

Beruntung, mereka berpakaian lengkap, meski sudah sangat berantakan. Jika tidak, mungkin aku akan melapor pada Polisi.

"Keluar dari rumahku," kataku pelan, mengambil tas kulit cokelat gelap di atas meja, menyodorkan ke hadapan si jalang.

"Ava!" Jay membentakku. Dia bangkit, tapi tetap dalam posisi duduk.

"Kenapa? Ini juga rumahku, Jay. Aku berhak mengusirnya."

Jay menghela napas, mengisyaratkan wanita itu agar pergi, tapi sebelumnya, mereka berciuman sekilas atas keinginan Jay. Aku sudah biasa melihat itu. Tidak marah, tidak juga kecewa.

"Ini terakhir kali kau mengusik kesenanganku, Ava. Aku sudah menuruti apapun keinginanmu, kenapa masih-"

"Jangan lakukan itu di rumah ini, Jay. Belikan sebuah rumah untuk para jalangmu, lakukan di sana sampai kau puas." Kulepas sepatu kets hitam putihku, melemparnya ke sudut pintu. "Ibuku atau Ibumu bisa datang tiba-tiba, seperti dua minggu lalu. Aku berhati-hati untuk itu."

Terdengar suara mendengus Jay dari balik punggungku yang membelakanginya. "Kukira kau cemburu."

Aku menoleh, tertawa geli. "Tidak akan pernah, Jay."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Dwi Sartika Juni

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku