Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
24
Penayangan
12
Bab

Yang Sandarra inginkan adalah hidup bahagia dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Menikah, lalu hidup di Istana selayaknya cerita dalam negeri dongeng. Satu persatu kebahagiaan Sandarra terenggut. Kecelakaan yang membuatnya lupa ingatan, orangtuanya yang bercerai, lalu perjodohan yang membuatnya hampir gila. Ia memilih pergi dari rumah dan hidup mandiri. Sandarra bertemu dengan Natha di kantor tempat ia bekerja. Keduanya memiliki ketertarikan,lalu memutuskan untuk tinggal bersama. Sandarra diminta untuk pulang ke rumah setelah pergi setahun lamanya. Papa Sandarra memperlihatkan foto calon suaminya. Sandarra bahagia, karena itu adalah Natha. Ia setuju dengan perjodohan itu. Namun, ketika mereka dipertemukan pria itu bukanlah Natha,melainkan Satya, kembaran Natha. Ia menolak Satya, karena mencintai Natha. Satya selalu punya seribu cara agar Sandarra mau menikah dengannya. Ia meminta Sandarra menikah dengannya dan juga Natha.

Bab 1 Part 1

Sandarra,sekali saja...

Ingat aku!

Sandarra, kaulah detak jantungku.

Apa yang kaulakukan...

Ketika kauterbangun,

kekasihmu tidak mengenalimu lagi.

Apa aku sedang bermimpi?

Ternyata tidak! Ini nyata!

Hai, El...lima belas tahun berlalu

Dan kau belum mengingatku.

Suara embusan napas berat, terdengar begitu jelas di ruangan dingin dan sunyi itu. Di hadapannya ada tumpukan file yang sudah diperiksa oleh atasannya. Sandarra, gadis itu mulai memegangi pelipisnya karena pusing sekaligus lelah. Jam makan siang bahkan masih dua jam lagi.

"Tolong direvisi, San. Ini tambahannya." Gerald menyerahkan sebuah gambar.

"A-apa yang direvisi, Pak?" Sandarra tergagap. Gambar itu sudah ia serahkan pagi tadi setelah semalaman ia kerjakan.

Gerald meletakkan gambar di hadapan Sandarra, menunjuk beberapa yang sudah dicorat-coret oleh tinta merah."Ini...di sini sudah saya tulis semuanya dengan jelas. Dan harus selesai tanpa revisi lagi dalam dua hari,ya!"

"Pak...ini." Sandara memasang muka memelas. Tumpukan pekerjaan itu sungguh tidak manusiawi.

"San, kamu cuma disuruh perbaiki. File mentahnya ada di server. Kamu tinggal buka folder atas nama kamu. Kerjakan sesuai perintah! Lebih capek tuh Pak Yuga sama Pak Amir yang ngerjain semuanya dari nol." Gerald menjelaskan dengan sabar, tentunya dengan nada yang cepat.

"Ya udah, iya, Pak. Jadi, yang mana dulu harus saya selesaikan?"tanya Sandarra dengan suara lesu.

"Semuanya, Sandarra! Kamu tahu deadlinenya, kan? Jadi kamu tahu mana yang harus dikerjakan duluan." Omelan Gerald kini membuat Sandarra semakin down.

"Ba-baik, Pak." Wanita itu menelan ludahnya.

"Kalau nggak mau,ya, balik ke divisi lama aja, San. Di sini memang harus kerja keras, banyak tekanan, oleh sebab itu gajinya besar. Sepadan,lah." Gerald melayangkan tatapan tajam dan membunuh pada Sandarra. Ia memang orang yang paling tidak setuju,ketika Sandarra dinyatakan lulus dan dipindahkan ke divisi Produksi. Gerald merasa Sandarra tidak layak,ilmunya juga masih cetek.

"Iya, Pak." Sandara tidak membalas dengan keluhan lagi. Ia sendiri yang sudah berjuang mati-matian supaya bisa pindah ke divisi dengan gaji delapan digit rupiah. Ia sadar betul, ia masih belum dianggap di sini. Tapi, ia akan membuktikan, meskipun harus melewati perjuangan yang keras.

Gadis itu menarik lembaran kertas yang terakhir kali diserahkan oleh Gerald. Ia membuka file yang dibagikan melalui server, membuka, dan mulai mengerjakannya. Bekerja di sini, memang begitu banyak tekanan. Jika tidak kuat, maka, bisa saja kita menangis, bosan, atau bahkan sampai membuat kita berniat resign. Namun, semua itu butuh proses, Sandarra percaya semua akan indah pada waktunya.

"Arrrghh!" Sandarra memukul meja pelan. Ia menoleh ke sana ke mari,untungnya tidak ada orang.

"Kenapa mejanya dipukul?"

Suara itu mengejutkan Sandarra. Ia malu sekaligus takut kalau tingkah lakunya ini dilaporkan ke bagian Personalia."Tidak ada apa-apa, Pak. Ada nyamuk. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Wanita itu tidak mengenal sosok di hadapannya. Selama setengah bulan ia ada di divisi ini, ia tidak pernah melihat orang itu.

"Tidak ada. Saya hanya ingin bertemu dengan Pak Direktur saja hari ini,"jawabnya santai.

"Bapak...ini..." Sandarra menggantung ucapannya. Tatapannya menghunjam, seolah-olah mencurigai bahwa pria itu adalah orang asing yang sembarangan masuk ke sini.

Natha terkekeh."Saya Natha."

Sandarra mengerutkan kening. Seingatnya, tidak ada yang bernama Natha di sini. "Natha? Anak baru juga?"

Natha mengangguk."Iya. Anak baru... baru muncul."

Sandarra melirik Natha curiga."Baru muncul dari kolam?"

Natha menoleh ke belakang, secara perlahan ia membalikkan badan."Kolam? Memangnya saya ikan."

"Maaf, habisnya saya memang nggak tahu ada yang namanya Natha, termasuk di struktur organisasi divisi ini, Pak. Jadi, saya pikir...Bapak ini anak baru sama seperti saya."

Natha menyeringai, kemudian ia melirik ke papan struktur organisasi."Kayaknya...kamu perlu pakai kaca mata, atau...kamu harus melihatnya pakai kursi karena nama saya ada di bagian atas. Mahawira Natha Gardapati."

Tubuh Sandarra seketika membeku. Ia hanya tahu Mahawira, tanpa mengetahui nama tengahnya."Maaf, Pak. Saya hanya tahu...nama Bapak Mahawira. Bukannya...Bapak ini sedang tugas di lapangan?"

"Sudah selesai. Sekarang sedang menjalani masa istirahat setelah menyelesaikan proyek menahun itu." Natha adalah seorang Project Manager. Karena timnya selalu ada di lapangan, kantor divisi mereka disatukan dengan divisi produksi.

"Iya, Pak. Saya minta maaf." Sandarra membungkukkan badannya sedikit sebagai permintaan maaf.

"Manis sekali." Natha tersenyum penuh arti. "Siapa nama kamu?"

"Sandarra Elsa."

Natha mengangguk, kemudian mengedipkan sebelah matanya."Selamat datang di Divisi penuh kerja keras, Sandarra. Semoga harimu menyenangkan." Setelah itu ia pergi.

Sandarra terduduk lemas. Sekarang ia justru merasa ragu, keputusannya pindah divisi adalah awal dari mimpi buruknya. Ia kembali berkutat dengan tumpukan pekerjaan, sendirian. Sesekali staf lain berkeliaran, mengganggu konsentrasinya. Mereka tidak mengganggu, hanya konsentrasinya yang begitu payah.

Pukul dua belas siang, para staf mulai membubarkan diri untuk mencari makan siang mereka masing-masing. Sandarra tidak bisa melakukan itu, bisa-bisa ia tidak menyelesaikan satu pun sampai sore ini. Gadis seksi itu memilih untuk memesan makanan saja.

Natha mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, sudah mulai sunyi. Pandangannya tertuju pada Sandarra yang masih berkutat di depan komputer. Ia tersenyum, kemudian menghampiri.

"Sandarra!"

Gadis itu terkejut. Ia menoleh."Sa-saya, Pak?"

"Iya, kamu. Kenapa nggak keluar makan siang?"

Sandarra mengusap tengkuknya."Ah, itu, Pak...makanannya lagi dipesan."

Natha mengangguk."Delivery?"

"Iya, Pak. Banyak kerjaan." Sandarra menunjukkan tumpukan gambar.

Natha menghampiri meja Sandarra, melihat-lihat coretan di sana."Sedikit, sehari aja, sih selesai."

"Sedikit?" Sandarra melotot.

"Iya. Tinggal ganti-ganti aja kok." Natha bicara dengan santainya.

"Iya, Pak. Mungkin bagi yang sudah terbiasa, sedikit. Saya masih harus banyak belajar."

"Iya. Semangat aja, Sandarra. Di divisi ini, memang baru kali ini menerima perempuan. Karena, pekerjaannya memang berat." Natha berkata dengan serius. Tapi, yang dikatakan itu benar.

"Bener, Pak?" Sandarra justru terkejut dengan kenyataan ini. Ia merasa bahwa dirinya adalah manusia paling lemah di divisi.

"Iya. Ini udah jam berapa?" Natha melihat jam tangannya."Harusnya makanan kamu udah datang,kan?"

Sandarra mengangguk."Iya, Pak." Wanita itu memeriksa ponselnya. Ia tidak memeriksa ponselnya lagi sejak memesan. Ternyata driver sudah membatalkan pesanan."Oh, ternyata cancel karena tutup. Terus...aku nggak kasih respon lagi."

"Gitu. Ya udah, ayo makan!"ajak Natha.

"Jangan, Pak. Saya mau kerja dulu." Sandarra menolak.

Natha menatap Sandarra tajam."Kamu nggak akan bisa kerja, kalau perut kamu kosong. Memangnya nggak lapar?"

"Lapar, Pak."

"Panggil Natha saja, please."

"Memangnya, usia Bapak berapa?"

Natha tersenyum penuh arti."Tidak begitu berarti, Sandarra, ayo." Natha memberi kode agar Sandarra ikur dengannya.

Sandarra menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan."Oke."

Sandarra mengikuti Natha. Jika diperhatikan,ternyata Natha memiliki tubuh yang tinggi. Gaya berpakaiannya tampak santai, namun, terlihat begitu elegan. Jelas terlihat bahwa ia adalah pria mapan. Natha berdiri di lobi sembari membuka aplikasi di ponselnya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Adiatamasa

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku