Anita selalu ingin hidup bebas. Dia memilih tetap lajang diusianya yang sudah menginjak angka mapan. Berapa kali mendapat paksaan untuk menikah dari keluarganya, bahkan ejekan dari sepupunya yang sudah menikah lebih dulu, tidak membuat Anita berubah pikiran. Namun, tiba-tiba saja seorang anak berusia enam tahun memeluk dirinya dan memanggilnya dengan nama mama waktu itu, mengubah hidup Anita. Dia harus terikat kontrak dengan seorang duda kaya yang memaksanya menjadi ibu sambung anaknya. Bagaimana kisah Anita selanjutnya? Apa dirinya masih bebas setelah berstatus sebagai ibu sambung anak duda kaya? Atau justru dirinya tidak tahan dan memilih tetap hidup bebas seperti dulu?
Setelah sinar matahari menyilaukan mata Anita di pagi hari, anak itu langsung bangun dengan terburu-buru. Dia baru teringat akan hal penting hari ini.
"Sial, aku bangun telat. Jangan sampai terlambat!" Ucap Anita yang kesal.
Hanya butuh waktu setengah menit merias wajah, Anita sudah keluar dari kamar dengan merangkul tas kecilnya yang hanya berisi kertas kosong. Hari ini, Anita bersiap melakukan wawancara di sebuah perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan bagi lulusan akuntasi. Anita sendiri sudah menunggu untuk bekerja diperusahaan ternama itu meski dirinya hanya sebagai karyawan biasa saja.
"Hei, kau mau kemana?" Tiba-tiba suara nenek paruh bayah membuat langkah gadis perawan berusia 27 tahun itu terhenti. Dia menoleh dan melihat tatapan tajam dari nenek buyutnya.
"Aku mau wawancara kerja." Jawab Anita yang memaksa suara lembutnya keluar.
"Sejak kapan kau mau bekerja? Bukannya kau senang hidup bebas tanpa memikirkan apapun?" Ejek sang nenek yang berjalan menghampiri Anita.
"Bisakah nenek tidak banyak bicara? Aku sudah telat satu jam. Jangan sampai aku gagal kali ini!" Tekan Anita yang tersenyum manis ke arah neneknya, walau senyumnya terlihat menyeramkan.
"Kalau gagal, tinggal menikah saja. Apa kau tidak tahu, semua keluarga merendahkanmu karena tinggal dirimu yang tidak menikah diusia matang. Kau tidak malu mendengar semua orang mengejekmu?" Tanya sang nenek sambil duduk di sofa dengan berpura-pura membaca koran.
"Kenapa harus mendengar perkataan mereka? Kita hidup bukan untuk itu. Jadi, biarkan aku menentukan hidupku sendiri. Nenek mengerti?" Ucap Anita yang berlari keluar dari rumah setelah mengatakannya. Bukan tanpa alasan dia menghindar, sudah beribu kali telinganya mendengar semua ejekan keluarganya sendiri, namun tidak membuat dirinya berubah pikiran untuk menikah. Anita lebih fokus bersenang-senang diusia matangnya membuat sang nenek frustasi.
Sejak kecil, kedua orang tua Anita bercerai disaat umurnya menginjak sepuluh tahun. Kabarnya, ayahnya mendadak selingkuh dengan rekan kerjanya yang membuat ibunya marah besar. Tidak terima dengan perilaku suaminya, ibu Anita memilih menusuk suaminya sendiri di depan mata anaknya. Setelah membunuh ayah dari anaknya, sang ibu kemudian membunuh dirinya juga. Hal ini menyimpang trauma mendalam bagi Anita. Mimpi buruk selalu menghantui dirinya tiap malam. Karena itu, Anita tidak percaya dengan omongan laki-laki. Semua laki-laki sama saja dengan ayahnya, tukang selingkuh.
"Andai saja kejadian itu tidak ketahui Anita, mungkin hidupnya bisa berubah. Tidak seperti sekarang ini, cucuku masih menyimpang dendam mendalam terhadap semua pria." Ucap nenek Anita sambil menghela nafas kasar.
Tik.. Tik.. Tik..
Hujan turun begitu deras membasahi apapun yang ada di bawahnya. Semua orang berhenti dan berteduh di tempat yang bernaung. Berbeda dengan Anita yang menerobos hujan seolah tidak peduli dengan keberadaan hujan lebat ini. Hal ini membuat seluruh pakaiannya basah kuyup dan meneteskan air di lantai.
"Akhirnya sampai juga. Kali ini tidak boleh gagal!" Teriak Anita menyemangati dirinya sebelum masuk ke sebuah perusahaan dimana dirinya akan melakukan wawancara.
Saat kakinya menginjak lantai, seorang satpam membunyikan pluit menghentikan dirinya. Anita hanya memutar bola matanya, mengira jika bukan dirinya yang dimaksud.
"Hei, Kau! Sedang apa di sini? Kau pikir ini tempat berteduh?" Tunjuk satpam dengan kesal.
"Aku? Anda bicara denganku?" Tanya Anita sambil menunjuk dirinya sendiri. Matanya membulat seolah menandakan dirinya terkejut.
"Siapa lagi kalau bukan kamu, ha? Lihat pakaianmu, semuanya membasahi lantai. Bagaimana jika ada orang yang jatuh karena ulahmu?" Tanya satpam yang kini beralih menunjuk ke bawah dimana kaki Anita tengah berdiri.
"Aku tidak salah. Aku hanya tidak mau terlambat wawancara." Ucap Anita sambil mengedipkan mata, mengerti maksud pak Satpam.
"Apa? Kau!" Tunjuk pak Satpam dengan wajah memerah. Bahkan belum sempat memaki Anita, anak itu sudah berlari menaiki lift.
"Bye bye!" Teriaknya yang tersenyum manis ke arah pak satpam setelah mempermainkannya.
"Hei, berhenti!" Teriaknya, namun pintu lift sudah tertutup.
Setelah berada di lantai delapan, lift mendadak berhenti. Padahal Anita menuju lantai sepuluh dimana proses wawancara dilaksanakan. Namun setelah menunggu lama tak ada kabar, Anita memilih keluar dari lift, berniat menaiki tangga. Tetapi seorang anak laki-laki dengan tiba-tiba memeluknya dari belakang sambil berbisik.
"Mama! Mama!" Panggilnya.
"Mama? Aku? Kau sakit, nak? Aku bahkan belum menikah, bagaimana langsung punya anak?" Tanya Anita dengan alis mengerit.
"Mama! Mama!!" Ucap anak lelaki itu yang kira-kira berumur enam tahun.
"Kau salah orang. Aku mungkin hanya mirip dengan mamaku. Tetapi aku bukan mamamu. Jadi, tolong menjauh. Di usiaku yang hampir mengingak tiga puluh tahun, walau terbilang cukup tua, namun aku masih seorang gadis perawan. Aku belum menikah, apalagi punya anak." Jelas Anita sambil mengibas rambutnya ke belakang membuat anak kecil itu terpesona dan terus merengek padanya.
"Mama! Mama!" Panggilnya lagi.
"Hiks, apa-apa sih ini? Aku benar-benar terlambat kerja. Tunggu dulu, anak manis. Kau mau permen kan? Ini ambil." Ucap Anita membujuk anak lelaki itu dengan menyodorkan permen yang sengaja dia bawa. Rencananya memberi keponakan kecilnya permen saat bertemu di rumah, namun keponakannya belum terbangun saat dia berangkat.
"Nah, biarkan aku pergi. Stop say mom." Kata Anita memberi peringatan. Anita lalu berlari ke lantai sepuluh melewati anak tangga. Tetapi, ketika sampai, pintu wawancara sudah di tutup. Sudah tidak ada orang disana.
"Aku terlambat!" Kata Anita dengan wajah murung. Dia kembali turun melewati anak tangga dengan tubuh lemas.
"Tolong! Tolong! Anak direktur pingsan!" Teriak seseorang yang berada di lantai delapan. Anita yang mendengar teriakan itu, buru-buru mendatangi sumber suara itu. Dia terkejut melihat anak kecil yang di temuinya, terbaring terkapar di lantai dengan memegang kulit permen.
"Ya ampun, apa dia keracunan karena memakan permen yang aku berikan?" Ucap Anita yang menutup mulutnya setelah mengatakannya.
Perkataannya itu di dengar oleh orang yang meminta tolong itu. Dia langsung melirik Anita dan mereka berdua saling berpandang.
"Kau meracuni anak direktur?" Tunjuknya yang menduga-duga.
"Bu.. bukan aku. Aku tidak mungkin melakukannya!" Bela Anita yang berniat kabur, namun segerombolan pengawal datang bersama tuan mereka yang terlihat lebih tegap.
"Direktur, akhirnya anda datang. Jaya diracuni oleh orang ini!" Tunjuknya yang mengadu.
"Apa? Aku?" Anita menjadi panik. Dia tidak melakukan kesalahan dan malah sedang di tuduh melakukan kejahatan. Tentu saja dia tidak terima dan ingin membela diri, namun melihat badan pengawal yang berdiri tegap di depannya membuat nyali Anita menciut. Mulutnya mendadak kaku, dia tidak bisa berbicara sepatah kata pun.
"Tangkap dia!" Teriak seorang lelaki yang seperti pemimpin di antara mereka. Wajahnya tampan dan terlihat mapan membuat Anita terpukau beberapa saat. Namun setelah tangannya di tarik paksa oleh dua pengawal, Anita kembali sadar.
"Jaya, bangun! Jaya, dengarkan kata papa." Ucapnya sambil menepuk perlahan pipi anak lelaki yang memakan permen Anita.
Buku lain oleh Unni Nanni
Selebihnya