Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pengangguran Terkaya Gang Tikus

Pengangguran Terkaya Gang Tikus

MeilyyanaM

5.0
Komentar
54
Penayangan
1
Bab

Dihina dan dicampakkan oleh keluarga sendiri membuat Angkara seakan kehilangan semangat hidupnya. Angkara yang sebelumnya menjabat sebagai manager sebuah bank swasta harus menelan pil pahit kenyataan jika dirinya di phk secara sepihak. Mengetahui fakta tersebut ibu kandung dan juga calon mertuanya murka. Hingga pernikahan yang tinggal menghitung hari harus batal. Kenaasan hidup Angkara tak hanya berhenti di sana. Ketika pria itu berusaha membangun kembali perekonomiannya, ia kembali diterpa masalah dengan pedagang lain yang tak menyukai kehadiran pria itu. Berkat kebakaran yang terjadi di rukonya, kehidupan Angkara berubah drastis. Namun, cobaan kembali datang ketika dia dihadapkan antara kekayaan, keluarga atau asmara. Hope you like it, Guys.

Bab 1 Ternyata mudah ya

Bisik-bisik tetangga yang menelusup ke indra pendengaran Angkara seakan tak lagi ada artinya. Sudah seminggu pria itu hanya luntang lantung keliling gang di kampungnya. “Eh Mas Angkara mau ke mana mas? Pagi-pagi gini, memangnya sudah dapat kerjaan baru?” sapa salah seorang ibu-ibu yang sedang berbelanja sayur.

Mendengar pertanyaan dari salah satu tetangganya, membuat angkara mengingat kembali kejadian yang membuatnya down minggu lalu. Angkara hanya melemparkan senyum tipis, pria itu tetap berjalan lurus dan menulikan pendengarannya. Langkah pria itu berhenti tepat di depan sebuah rumah bergaya minimalis dengan nuansa coklat muda. Bangunan itu tampak lebih mewah jika dibandingkan bangunan lainnya.

Belum sempat Angkara menekan bell, pagar besi berwarna hitam itu terbuka lebar menampilkan dua orang wanita berbeda generasi. “Bu, Diah.” Angkara mengangguk sopan.

“Loh kamu pagi-pagi sudah di sini, memang gak berangkat kerja?” tanya wanita berusia 50an.

Angkara menelan salivanya susah payah, ia pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Itu bu, saya sedang libur.”

“Oh cuti nikahan ya? Sudah cuti to? Ibu kira kalau kerja di bank tuh cutinya sulit. Ternyata mudah ya,” sahut wanita itu denga senyum ramah yang menghiasi wajah dengan keriput alus.

“Iya bu, sudah diberikan cuti.” Selamanya, imbuh Angkara dalam hati.

Wanita paruh baya itu pun mempersilakan Angkara masuk ke dalam rumah, ia bahkan menyuruh putrinya menyiapkan sarapan untuk pria yang sebentar lagi aakan menjadi menantunya.

Angkara mengikuti langkah wanita ayu di depannya, sepanjang jalan pria itu tak berhenti menganggumi kecantikan Diah, wanita yang dalam hitungan hari akan menjadi istrinya.

“Duduk dulu mas, biar Diah siapkan kopinya.” Angkara hanya mengangguk dan menempatkan dirinya pada sofa panjang berwarna cream yang memenuhi ruangan berukuran 4x3 itu.

Angkara terdiam kala melihat kekayaan yang dimiliki keluarga calon istrinya, kegelisahan mulai mengerayap di benak pria itu. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya anak dari pensiunan pns dan ibu yang berjualan cattering.

“Mas, kok melamun?” ujar Diah seraya menepuk pelan bahu pria berkaos oblong itu.

“Hah? Iya enggak aduh maksudnya enggak papa.”

Diah tersenyum menatap sikap lucu pria di depannya. “Gak kerasa ya mas, sebentar lagi perjuangan cinta kita akan berbuah manis. Selama 7 tahun kita berusaha meluluhkan hati ibu aku, dan alhamdullilah sebentar lagi kita akan resmi menjadi suami istri.”

Angkara meletakkan cangkir yang baru saja ia sesap isinya. “Iya dik, alhamdullilah. Tetapi dik, kalau semisal mas gak kerja bank apa kamu tetap mau sama mas?”

“Maksud mas?” tanya Diah seraya menoleh menatap penuh selidik.

Hati Angkara meringis ngilu melihat respon dan nada bicara Diah padanya. “Enggak kok, mas cuman iseng aja. Ya siapa tahu nanti mas gak kerja lagi di bank.”

“Mas lagi gak serius ‘kan?” tanya Diah yang sedari tadi disibukkan dengan undangan pernikahan. Angkara hanya tersenyum, pria itu enggan menjawab pertanyaan wanitanya.

Angkara hanya diam mengamati wanita yang sedang sibuk dengan undangan dan beberapa souvernir lainnya. “Mas, ini nanti hantarannya aku mau merk ini ya?”

Angkara menelan salivanya susah payah, kala melihat deretana huruf yang tertulis rapi di secarik kertas. “Ini?”

Diah pun mengangguk dengan senyum manis, senyum yang selalu berhasil meluluhkan hati Angkara. Pria itu mengerutkan kening bingung. Membaca nama brandnya saja Angkara tak pernah, sekarang pria itu harus membelikannya untuk kekasihnya.

“Dik, ini gak kemahalan ya? Maksud mas, kamu kan sudah punya brand ini kenapa kita gak coba brand lain? Brand lokal mungkin?”

“Lokal? Duh mas, masak lokal sih? Kemarin aja Ratih lamaran brandnya di atas ini loh mas. Masak sih mas gak mau beliin buat aku? Katanya mas sayang sama aku? Ini cuman tas sama sepatu aja loh mas?” tutur Diah dengan puppy eyes.

Pria itu tak bisa lagi mengelak, apalagi Diah sudah mengeluarkan jurus andalannya. Mau tak mau Angkara pun mengangguk dengan hati yang gelisah. “Oh iya mas ke sini mau apa? Gak mungkin ‘kan kangen?”

Angkara meringis, jika saja Diah tahu tujuannya datang pagi ini tentu wanita itu mungkin tak akan menyambutnya seramah ini. “Mas kita honeymoon ke mana? Luar negeri atau dalam negeri? Dalam juga gak papa sih mas, tapi ke Lombok atau ke Bali atau ke Batu?”

“Kayaknya kita gak honeymoon deh dek, mas ‘kan harus –“

“Ih kok gitu, gak ya mas. Aku mau honeymoon, selama pacaran kita gak pernah jalan-jalan loh mas, masak jalannya seputar Semarang doang, gak mau ah.”

Angkara menghela napas panjang, ia pun mejelaskan jika cuti yang ia dapat tidak banyak. Angkara pun mengajak Diah untuk menabung demi masa depannya. “Ya ampun mas, jalan gitu juga gak akan makan sebulan gaji mas ‘kan? Masak mas gak mau punya waktu berdua sama aku terus kita bikin junior yang gemas.”

Angkara hanya bisa menghela napas, sebenarnya pria itu masih memiliki sedikit tabungan tetapi ia harus mengunakan uang itu untuk membuka usaha agar urusan dapurnya tetap bisa ngebul.

Raut wajah Angkara terlihat masam, pria itu bahkan ogah-ogahan membantu Diah merapikan souvernir. Pikirannya melayang memikirkan banyak hal. Andai saja hari itu ia tak membiarkan rekan kerjanya mengambil alih tugas yang ia berikan tentu semua itu tak akan terjadi.

Tentu hari ini Angkara masih berangkat ke kantor dengan seragam khas pegawai bank, tentu saja ibunya masih bersikap seperti biasanya. Hidup Angkara bak ban kempes yang secara mendadak kehilangan daya dan kekuatan untuk bergelinding.

Sebenarnya Angkara juga ingin merasakan honeymoon namun apa boleh buat keadaan ekonominya sedang tidak baik-baik saja. Dengan sisa uang pesangon ia harus memutar otak agar tetap hidup tanpa merepotkan ayah dan ibunya.

“Aku pamit pulang dulu ya, gak papa kan?” tanya Angkara seraya beranjak dari kursinya.

“Kok buru-buru mas? Kamu gak mau ikut makan siang di sini saja? Ibu kayaknya mau masak besar deh.” Angkara hanya menggeleng. Diah pun mengangguk dan mengantar Angkara ke teras rumahnya.

Mereka berjalan beriringan menuju pagar rumah, sepanjang jalan Diah terus saja bercerita tentang perasaannya yang sudah tak sabar ingin berbulan madu. Angkara pun hanya diam, pikirannya kalut dan tak bisa berpikir jernih.

“Mas kenapa diam saja?” tanya Diah setibanya di depan pagar.

“Hah? Enggak kok, mas mungkin tegang saja ‘kan sebentar lagi mau mengucapkan ijab.”

Diah pun mengangguk. Saat Angkara hendak menjauh dering singkat di ponselnya berbunyi. Dari tempatnya berdiri, Diah bisa sedikit mengintip isi pesan yang tercetak di layar ponsel berukuran 7in itu.

Gerak gerik pria itu juga tampak mencurigakan. Hingga Diah mengutarakan sebuah pertanyaan yang membuatnya harus menelan saliva susah payah.

“Mas beneran cuti ‘kan?”

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Pengangguran Terkaya Gang Tikus
1

Bab 1 Ternyata mudah ya

06/06/2023