Istri Pertama Suamiku
i 2
mbut hitam sebahu itu di pojokan. Wajahnya menunduk malu dan menahan perih di hati. Hadirnya tak dianggap teman sekelas, Pak Guru
k-bisik yang terdengar kawanan sebelahnya. Ia melangkah ragu, terus menunduk karena takut melihat ekspresi musuh-mus
ir mata. Sebisa mungkin tangisan itu ia sembunyikan. Kemudian teringat akan sesuatu, jari kel
an. "Jangan lupa lucky finger!" teriak sang kakak mengacungkan jari kelingking. Anak itu terkekeh pelan, "L
an. Sebuah kekonyolan yang ia
n kalau manusia itu tak selalu bahagia? Pasti ada kesedihan yang menghampirinya. Nah, ketika sedih itu datang, acungkan jari
at kakak. Kita akan menangis bersama," kata Ara sambil menuntun tanga
n Alin, dan Alin juga tahu sakit yang kakak rasakan," jelasnya sebagai pen
a-apa. Sepandai-pandainya ia menutupi
erkejut, lamunannya buyar. Ia mengangkat kepala sambil menjaga jarak karena takut ji
ngan. "Jangan takut, mari ikut denganku," kata sosok tersenyum ramah. "Kamu Ara, bukan? Na
buru. Tangannya bergetar karena takut. Sosok itu mendekatinya, posisinya sek
a, biru laut. Cantik sekali. Mata gadis berbandana ungu itu kembali membulat ketika m
langkah Ara terhenti tepat di depan pintu. Berbicara sendiri? Apa Dara tak melihat siapa-siapa di hadapan Ara saat itu?
onesia. Salah satu guru yang membenci ketidakdisplinan. Ya, orangnya tepat waktu dan intoleran.
." Suara Ara
ng sama setan," celetuk Ria
gu di hadapannya. "Dia ini, Pak. Ngomong sendiri," kata remaja bermata cokelat itu. Teman-te
r senyum sinisnya dan mengacungkan jari tengah. Ara memainkan len
tak ikut menghina. Baginya, cantik itu diukur dari hati, bukan fisik. Tidak, Leon adalah rem
e gue. Anak kayak dia co
enuju tempat duduk. Kembali, tatapan aneh orang-orang membuatnya t
nggak perlu capek-capek belajar. Mending kamu jadi pemulung aja. Anak kayak kamu nggak pantes sekelas
iak Pak Ardi menegur Diaz. Gadis itu gelagapan dan kembali menatap
nanti pula
a ini? Beberapa kali gadis itu mengembuskan napas, berusaha terlihat baik-baik saja. P
kring
a Pak Ardi membereskan bukunya dan beranjak pergi.
z mencengkram erat lengan Ara, membuat gadis itu kesakitan. "Jangan macam-macam, atau .
tika melihat sepedanya ada di tangan Ria. Gadis berambut gelombang itu menghampi
. Kuku Ria yang tajam membuat beka
t kamu. Seneng nggak?" katanya berba
ngga terjatuh. Tepat di pinggir
ke selokan!" perintah Ria sambil berkacak pi
y
uh Ara. Lagi-lagi gadis itu terdiam tanpa suara, tanpa perlawanan
nolong kamu gitu? Haha!" bentak Ria kasar. Sambil berusaha berdiri, ia melepas tas
kembali mempermalukan gadis itu. Belum sembuh luka di pipinya, muncul lagi luka yang baru. Ia tak mempermas
sambil menatap Ria tajam. Entah men
irnya. Mereka terdiam sesaat karena biasanya Ara tak berani melawan. Ria maju selangkah, mem
Ria mundur dan jalan menuju sepeda Ara. "Ah, mau jahili nggak tega. Ya sudah, deh besok lag
ite itu kompak berbalik badan dan saling merangkul bahu. Entah jenis kebahagiaan apa yang merek
rik membuat lumpur di bajunya mengering. Tetap saja ia terlihat seperti anak buangan. Ses
g-orang, ia hanya perlu mempertebal muka. Masa bodoh, terus mengayuh, dan k
n, ingin per
*