My Bestie My Bucin
erlahan-lahan aktivitas penduduk pun ikut beranjak seperti matahari
raan masih memadati jalanan. Apalagi menjelang malam saat pergantian aktivitas. Bisa
dipadati kendaraan. Mau tak mau dia harus mengem
a harus menyesuaikan diri dengan rutinitas kota bisnis
tinggal dulu, dia hampir tidak pernah menemui kemacetan yang mengular sepert
dari menjelang Maghrib. Kini Isya pun telah lewat. Sepertinya dia akan tiba di rum
daraan yang sepertinya tiada putus. Untunglah jarak yang ditemp
ta, di mana rumah tempat tinggalnya berada. Setelah memarkir motornya di pelataran tak be
tidak nampak satupun penghuni rumah menyambutnya. Begitu juga saat dia memasuki ruangan tengah yang difungsik
bih sering menyambutnya saat dia kembali d
tu tertutup rapat. Pertanda penghuni kamar telah terlelap atau tengah keluar entah k
nya di atas kursi kayu jati dengan lesu. Diletakkannya bungkusan plastik yang d
lepaskan jaket yang dikenakannya. Kemudian disulutnya sebatang
a pesan di grup komunitas di mana dia baru saja bergabung. Sekadar berbasa-basi me
a pencinta game online. Hari-harinya yang selain dipenuhi kesibukan di bengkel j
yang menjadikannya dikenal sebagai salah satu pemain yang hand
seperti halnya para pencinta game yang lain. Namun dia justru mendapa
mpat di bacanya sekarang. Ken lebih fokus dengan urusan perpindahan guild dan aliansi. Dua hal yang memang
ngin tahu Ken menggulir smartphone-nya dan membuka foto profil pengirim pesan itu. Sesosok wan
ibalas oleh sang penerima. Ken meletakkan kembali smartphone-nya di atas meja. Dia
sekembalinya dari bekerja, sekalipun itu tengah malam. K
dan sibuk dengan smartphone-nya. Rupanya pesan
Cukup menyenangkan berbincang-bincang dengan wanita yang baru saja dikenalny
a-basi. Seperti yang biasanya dia lakukan saat pertama k
ma kedewasaan. Sudah menjadi suatu hal biasa baginya atau m
nnya itu, cukup menyenangkan dan tidak menghindarinya begitu saja saat dia mulai mencandainya dengan gaya s
an terakhir dari Mulan. Memang sudah lewat larut malam dan wa
tak juga menghampirinya. Sejujurnya dia masih ingin bercakap-cakap
i mana yang hendak dibukanya. Pada akhirnya Ken mematikan smartphone-nya dan beranjak ke
a setiap hari. Bekerja terkadang di sia
g yang menyiapkan secangkir kopi panas dan makan malam serta menemanin
penepis kesepiannya di malam seperti ini. Terutama mengobrol deng
nya dengan berbagai tanya atau pun menyambutnya dengan hangat. Bukan karena
ini hari, kedua orang terdekatnya itu tengah bergelung dengan selimut dalam kamar masing-masing. Selalu saja suasana