Terjebak Cinta Presdir Tampan
panjangku. Bumi masih gelap, suara sang jago tidak terdengar seperti cerita-cerita dongeng yang seringkali ku baca. Mun
embalikan semua jiwaku yang masih ingin terlelap dalam mimpi indah yang selalu hadir dalam tidurku. Dengan gontai ku hampiri ibu yang duduk meringkuk di lantai cukup dingin
Namun tidak denganku, aku sangat membenci hal itu. Bah
sa aku hindari. Perlahan aku membantu ibu berdiri dan mengambil tangan kanannya lalu dilingkarkan di pundakku. Tubuh ibu cukup berat. Namun
, ibu akan tertawa dan terdengar sangat mengerikan bagiku. Layaknya Mak Lampir yang tertawa. Aku hanya menghela napas kesal membi
gh hills hitam miliknya ku lepas satu persatu dan menaruhnya di lantai. Selimut yang cukup tebal
ikit tersenyum namun seperti tidak iklas. Entah apa yang m
taplah rahimmu tempat aku berkembang, Bu." Dengan mengabaikan segala aroma yang tidak ku sukai, dengan lembut ku kecup kening yang masih banyak p
reaksi dari ibu. Detik berikutnya ibu membalikkan badan dan memeluk guli
kamarnya dengan perasaan sedih dan haru. Pertama kalinya ku l
ukan. Walau jarang sekali aku mengatakan bahwa aku mencintaimu tapi aku selalu paham setiap tarikan nafasmu. Arti dari setiap senyum dalam l
...
ara ini. Suara alarm pertanda sudah pukul lima. Ak
k memedulikan perkataan dan pandangan sekitar, aku tetap melanjutkan sekolahku. Dan ak
ng yang sudah kusiapkan dan wajan sudah ku panaskan. Tidak membutuhkan waktu lama, aroma semerbak
ak suka susu dan lebih memilih teh. Susu membuat perut kembung dan mual. Setelah merasa kenyang, piring dan senduk
nggalkan rumah. Dengan senyum semangat aku melangkah menuju halte
luh meter pun beberapa orang saling berbisik dengan ekor mata mengarah padaku. Bukan hal baru. Aku mengambil headset dan memasang musik di ponselku. Lagu Mikrokosmos milik BTS adalah lagu favoritku. Selain menena
orang naik ke dalam bus. Aku memilih naik tera
ia akibat dandanan gadis itu. Aku terus berjalan menuju kursi belakang yang tersisa satu-satunya. Di sampingnya terdapat seseorang entah wanita atau pria aku pun tak tahu. Ia menutup tubuhnya dengan jaket. Suara dengkurannya meyakink
EK
pir bus. Aku mengusap kepalaku yang sedikit perih. Terdengar
dengar gugup. Ia juga terkejut tentunya. Bus kembali melaju dan aku p
laki dengan seragam SMP yang duduk di samping menatap aneh ke arahku. Aku tidak meme
ung mancung. Orang tuanya pasti cantik dan ganteng sehingga anaknya sungguh rupawan seperti i
etika mendengar baritone berat milik lelaki itu. sejak