SAMPAI WAKTU MEMISAHKAN
terlihat jelas. Meskipun perbedaan budaya yang ada selalu menjadi penghalang kecil dalam percakapan mereka, Ria mulai merasakan kenyamanan yang belum pernah dia rasakan se
hi setelah kuliah. Udara segar menyelimuti tubuh mereka, dan meskipun mereka berdua sibuk dengan dunia masing-masing, ada semacam kete
Dimas, membuka pembicaraan sambil menye
dengan nada sedikit datar. "Orang tuaku... mereka selalu sibuk dengan adat dan tradisi. Kadang aku meras
di rumah, lebih banyak diam dan ngikutin apa kata orang tua. Bukan karena aku takut, tapi
beda dari kehidupannya. "Pernikahan, ya? Kamu udah pernah ngobrolin itu
ernah. Tapi mereka lebih suka kalau aku menikah dengan orang yang punya latar bela
lang, kalau aku mau bahagia, aku harus mengikuti tradisi. Yang
nya seperti beban besar, ya?" tany
up sesuai dengan yang mereka harapkan. Terkadang, aku jadi bingung ant
nnya. "Aku paham. Tapi, Ria... kita kan hidup untuk diri kita sendiri, bukan? Kalau
ata-kata Dimas. "Mungkin kamu benar. Aku cuma... takut,
lembut. "Tapi, jangan biarkan ketakutan itu meng
tungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Kata-kata Dimas bukan hanya sekadar penghiburan. Seperti ad
aman kampus yang sepi, atau sekadar berkeliling kota untuk membeli camilan yang mereka sukai. Setiap pertemuan semakin membuat
erjakan tugas bersama di perpustakaan, D
ang hubungan ini. Aku cuma mau bilang, aku nggak akan paksa kamu untuk memilih antara keluarga atau aku. Aku
tegangan yang menyelimutinya. Dia tidak tahu harus berkata apa. Semua perasaan y
a pelan. "Tapi... kita punya banyak perbedaan, kan? A
sa menjamin apa yang akan terjadi nanti, tapi aku hanya in
mengambil langkah ini. Ia merasa terjepit antara keluarga yang sangat menj
adang kita harus berani memilih jalan yang nggak selalu mudah. Aku nggak b
ok hatinya yang selama ini terkunci rapat. Bagaimana bisa dia mengabaikan perasaan ini?
s, "Selama kamu butuh waktu untuk me
gan mata yang mulai b
tahu kita mungkin belum siap untuk mengambil langkah
diri Dimas yang membuatnya merasa aman. Tanpa kata-kata yang lebih banyak, mereka berjalan
akin sepi, hanya beberapa pasang mata yang masih terlihat sibuk dengan aktivitas mereka. Tak ada banyak kata yang terucap di antara mereka, tetapi ketegangan yang mengali
gu sesuatu. Sejak percakapan mereka tadi, dia merasa ada sesuatu yang berub
lembut, namun ada kegelisahan yang bisa terdengar. "Berj
it keheranan. "Apa maksud ka
ku takut, Dimas. Takut kalau nanti aku akan memilih kamu, tapi keluarga dan orang-orang y
aku nggak akan memaksamu untuk memilih. Aku tahu semuanya nggak mudah, dan perasaan kita mungkin harus melewati banyak ujian. Tapi aku cuma ingin bilang, apa pun yang
ar. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa perbedaan adalah hal yang bisa membuat jarak di antara mere
na dengan keluargaku?" Ria bertanya, suara hamp
luarga kamu, dan aku nggak bisa memaksamu untuk memilih. Tapi aku bisa pastikan, kalau kamu memilih aku, aku akan berju
embuatnya ragu untuk menahan perasaan yang selama ini ia pendam. Namun, dia tahu bahwa perasaan itu bukan hanya
katanya. "Aku nggak tahu bagaimana mereka akan menerimamu. Keluargaku sa
ntuk kita menerima satu sama lain? Kadang, kita nggak bisa mengubah apa yang sudah tertanam dalam keluarga kita, tapi kita bisa m
a. "Tapi aku nggak bisa begitu saja menanggalkan kelua
samu untuk memilih antara aku dan keluarga. Itu bukan keputusan yang mudah.
ya sedikit berkurang, meskipun hati kecilnya masih diliputi kekhawatiran. Dia tahu Dimas sedang berusaha meyakinkannya, tap
ata pelan, menunduk, meremas ujung bajunya. "Aku butuh
mbil waktu kamu, Ria. Aku nggak akan kemana-mana. Aku hanya i
gungan yang bercampur. Ada ketakutan di sana, tetapi juga sebuah keyakinan yang
r Ria, suara sedikit berge
i tangan Ria, namun ada kehangatan yang masih terasa. "Aku per
saikan antara mereka, langkah kaki mereka terasa lebih ringan, lebih pasti. Perasaan yang selama ini
ada satu hal yang pasti-dia tidak sendirian. Dan bersama Dimas, dia me
ambu