Surat dari Arwah Temanku
ahaya yang tak jauh dariku. Ternyata aku hanya menemukan sebuah bangku panjang di mana cahaya itu berada. Tanpa ragu, aku duduk di bangku tersebut. Tak bosan-
aku sud
sekali tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya. Semua isi kepalaku seakan menghilang begitu saja. Seperti s
pa pun. Jika aku benar-benar berteriak, apakah mungkin ada yang menolongku? Aku kira tidak. Tak ada seorang pun yang lalu lalang melewatiku. Hapa yang
a yang hinggap. Malah aku
au jangan-jangan aku tidak mempunyai anggota gerak baw
a aku masih m
aat itu juga angin berembus sangat kencang. Tidak sengaj
a ke depan. Seperti hendak
dengan apa yang baru saja ku
at aku mencoba membuka mata,
makin mendekat dan berd
endamku ter
sampingku. Anehnya, bayangan ter
mana
u mataku. Brukkk ... Bukan t
empat yang gelap dan menyeramkan itu lagi. Sekarang aku berada di depan rumah bercat kun
r. Merasa aneh, ketika aku
tidak mengingat apa pun. Aku
di tempat yang asing. Ses
ero
tam semua lagi. Orang-orang yang berkunjung ke rumahku tersebut menitikkan air mata dan selalu menatap ke satu arah. Y
nku, Rani. Dia duduk bersand
pi ada yang berbeda dengannya
ang duduk di kursi halaman r
k kencang. Namun, tidak ada
dekatnya. Dia malah asyik menangis di sandaran Bayu. Aku menghemb
Bukan. Aku bukan memegang
ng tamu. Aku segera berlari ke sana. Sungguh terkejutnya diriku mendapati keadaan yang
mendapati tubuhku sendiri terbaring kaku di lantai yang tertutup kain putih. Jadi benar aku sudah mati. Aku
enam belas tahun, akan
duduk di paling pojok kiri. Anehnya, orang-orang yang berada di dekatnya seperti tidak menyadari orang i