Jerat Cinta Suami Manja
ara perempuan itu meninggi, kedua matanya berkaca-kaca kar
encuat keluar. Irisnya yang hitam pekat masih sedingin es, memantulkan cahaya lemah
ku keluar buat nemuin Vivian yang udah nunggu lama di
ara menangis, dia ingin menggenggam erat tangan suaminya supaya tak keluar rumah untuk m
doran pintu yang berasal dari Vivian. Wanita itu seperti tak memiliki rasa sungkan sedi
nya. Karena merasa kasihan pada Vivian yang menggigil di luar sana. Pakaian yan
ing yang menggenang di dalam pelupuk matanya akan jatuh. Dia membuang muka, tangan A
pi aku habis ada masalah dengan kakakku, bisakah kau menemaniku hari ini? Maa
unya cuti kerja. Di luar dingin, ayo kita masuk." D
rang tak tahu itu tidak bisa masuk ke dalam rumah. "Aku bisa kasih belas kasih, tap
i! Ini juga adalah rumahku!" Nakula
Annara menunjuk kursi kecil di latar rumahnya. "Tunggu di situ! Ak
at pucat dan lesu, kedua tangannya merangkul tubuhnya sendiri yang bergetar. Dia melihat ke a
cariin kamu jaket, dan tunggu a
uh waktu lama baginya untuk kembali dengan sebuah jaket tebal
a. Annara memang tidak menyukai lelaki itu, baru kali ini Annara mengenalnya setelah menja
uk di sofa ruang tamu. Sesekali ia melirik ke jendela sampingnya untuk melih
kata. Akan tetapi, Annara urung, lebih baik tidak berurusan dengan Viv
rapi yang melengkapi tubuh jangkungnya. Memang tak bisa Annara sangkal jika Nakula adalah sos
ebelas nanti aku akan pulang." Nakula terus berja
i sama apa? Mana mobilmu?" tanya Nakula setelah me
gi oleh kakakku." Vivian bangkit. Tangan k
enangkan pikiranmu sebentar," jelas Nakula. Ia melangkahkan kaki ke halama
ap, setengah menoleh ke belakang. Vivian mengintip dari balik jendela
empoyongan berjalan ke arah depan untuk menutup pintu rumah, dan menuju kam
alah lelaki sialan itu, dan si Vivian itu lebih tak tahu malu dar
ntuk ke depannya?" desis An
ntuk memasak dengan bahan-bahan yang telah ia beli kemarin. Apron biru sudah
n Vivian itu, Annara mengulas senyum lebar. Ia tepis jauh-jauh energi negatif
enapa bisa kalap masak, coba?" Dia menggeleng heran, mungkin Annara masih terbawa
l pun keluar terbawa angin. Annara sarapan sendiri, hanya ada
ra sedikit lega. Ia buru-buru menuju pintu depan dengan sedikit harapan di h
. Sambil tergesa, Annara buka pintu depan. "Bunda
sini?" Dia menyodorkan bingkisan besar pad
udah sarapan? Eh, ke sini sama siapa?" Re
lalu duduk di kursi meja makan dan mengambil sepiring makanan untuk dicicipi. Selama Annara m
ara. Kalo begini nggak salah p
yang menunggu jawabannya. "Em ... Di–dia lagi kelua
hu bunda. Dia kalo nggak dikasih pelajaran nggak akan
ingkisan apa, ya?" Annara mengangkat b
akanan ringan. Nakula sendiri, lho yang m
it ragu setelah mendengar ungkapan dari mertuanya. Meski begitu, Annara se
••
ah semakin gelap, tetapi ia belum kunjung pulang. Annara gusar menun
ang keluarga. Tangannya memainkan pensil yang ia gunakan untuk membuat goresan sketsa.
Annara menebak jika kali ini adalah Nakula, sekuat tenaga ia tahan emosinya. Toh, tid
osok perempuan yang bangkit dari duduknya. Tanpa pikir panjang,
as siang tadi, atau kamu udah gak b
ian ke rumah sakit,
arapkan hampir membunuhnya, Annara tersenyum kecut. Tangannya yang gemetar ia angkat sedemikian rupa, Annara sonta
itu sampe malem! Kalian berdua ini udah gak punya mal
-apa, jaga mulutmu! Aku nggak pernah suka sama Vivian, dia c
lakuanmu berbeda ke aku?" Suaranya mereda,
ula terlalu takut, alhasil ia mundur lagi. Mendiamkan Annara yang sudah menangis pil
ini karena gak mau ngecewain orang tua aku. Kalo gitu, kamu
tunya yang bisa jadi istri aku, Nara! Nggak ada yang l