/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Kantor Svenoz
Di dalam ruangan luas dan mewah dengan desain interior modern yang mendominasi kantor Svenoz, Mark terduduk diam di kursinya. Tangan kirinya menopang dagu, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Pikirannya penuh dengan satu hal-cara melarikan diri dari perjodohan yang mamanya siapkan.
Sudah dua tahun ini, wanita yang melahirkannya itu terus-menerus berusaha mencarikan istri untuknya, seolah pernikahan adalah satu-satunya solusi agar hidupnya sempurna.
Padahal, Mark masih berusia 30 tahun. Itu bukan usia yang tua, terutama di kalangan pria Palermo. Namun, bagi ibunya, batas kesabaran telah habis.
Masalahnya, di kota ini, usia bukanlah hal utama. Paras tampan dan kekayaan yang melimpah adalah segalanya. Dan sayangnya, Mark memiliki kedua hal itu dalam jumlah yang berlebihan. Ia adalah definisi nyata dari bujang lapuk yang terlalu sempurna-wajah tampan, tubuh tegap, aset yang tak terhitung jumlahnya, serta status sebagai pria lajang yang masih bebas berkeliaran.
Sebuah suara keras membuatnya tersentak. Pintu ruangan terbuka dengan kasar, menampilkan sosok Dezo yang tampak geram.
"Kau akan duduk di sini sampai kapan?" suara Dezo terdengar tajam dan penuh ketidaksabaran. "Semua orang sudah menunggumu untuk meeting. Apa kau akan tetap di sini dan hanya diam memikirkan cara kabur dari perjodohan lagi?"
Mark mendesah, jelas-jelas malas mendengar omelan pria itu.
"Percayalah padaku," lanjut Dezo dengan nada yakin, "kali ini kau tidak akan bisa kabur dari perjodohan ini."
Mark mendecak kesal, menatap Dezo dengan ekspresi bosan. "Sungguh, kau terlalu banyak omong."
Dezo hanya menyeringai, sementara Mark kembali memutar otaknya. Perjodohan ini jelas bukan perkara main-main, tetapi jika ada satu hal yang pasti, ia tidak akan menyerah begitu saja.
Mark mendesah panjang sebelum akhirnya bersandar di kursinya dengan santai. Ia melipat kedua tangannya di belakang kepala, menatap langit-langit kantor Svenoz dengan ekspresi bosan.
"Hidup semenyenangkan ini tanpa wanita, kenapa harus berhubungan dengan pernikahan?" gumamnya datar. "Ini sungguh membosankan dan sedikit menjengkelkan."
Tatapannya lalu beralih pada Dezo yang masih berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh tekanan. Mark menyeringai kecil sebelum berkata dengan nada main-main, "Bukankah kau putra kesayangan mamaku? Kenapa tidak kau saja yang menghadiri perjodohan itu menggantikanku? Dan jangan lupa lahirkan dua bayi kembar untuknya."
Dezo langsung menarik kursi di depan Mark dan duduk dengan wajah frustasi. Ia melemparkan tatapan tajam seakan ingin menghantam kepala sahabatnya itu dengan dokumen yang sedang dipegangnya.
"Kau sungguh gila!" geramnya. "Kali ini wanitanya bukan sembarang wanita."
Mark mendengus, tetap tak tertarik. "Siapa? Dewi bulan? Bidadari? Malaikat?" tanyanya dengan nada mengejek.
Dezo mengumpat sebelum akhirnya meletakkan dokumen di meja dengan suara berdebum. "Mamamu meminta Clasi untuk pulang dari Spanyol demi dijodohkan denganmu! Kau sungguh ingin aku yang menggantikan perjodohan ini?" Dezo menatap Mark tajam. "Apa kau benar-benar sanggup melihatku menikah dengan cinta pertamamu?"
Mark berdecak, sama sekali tidak menunjukkan keterkejutan atau kepanikan. Ia justru tampak semakin bosan.
"Siapa yang mengatakan dia cinta pertamaku?" tanyanya dengan nada penuh kepercayaan diri. "Aku tidak pernah mencintai siapa pun. Dia yang terobsesi denganku."
Dezo menggelengkan kepala, mendesah frustrasi. "Kau benar-benar pria tanpa hati, Mark."
Mark hanya mengangkat bahu ringan, seolah semua ini bukan masalah besar. Tapi entah mengapa, dalam hati kecilnya, nama Clasi yang disebutkan tadi seakan menggema lebih lama dari yang ia harapkan.
Dezo menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi santai sebelum menceletuk, "Aku pun tidak akan menikah dengan siapa pun, dan dengan setia aku menunggu keponakanmu, Selva."
Mark yang sedang bermain dengan pena di jarinya menoleh dengan tatapan datar, sementara Dezo mendesah ringan dan bergumam, "Aku jadi penasaran, secantik apa dia sekarang? Bukankah tahun ini dia lulus SMA?"
Dezo menatap Mark dengan mata berbinar, lalu bertanya dengan nada setengah bercanda, "Apa aku sudah boleh menikahinya?"
Mark yang awalnya tampak bosan tiba-tiba membuka matanya lebar, seolah ia baru saja menemukan sesuatu yang luar biasa.
"Kau benar... Selva," ucap Mark dengan nada yang terdengar seperti menemukan ide besar.
Dahi Dezo mengernyit, tak paham dengan reaksi aneh sahabatnya. "Kenapa?" tanyanya penasaran, mencoba membaca pikiran Mark.
Mark menyeringai kecil, bibirnya melengkung membentuk senyum misterius. "Aku baru saja menemukan cara sempurna untuk menghentikan perjodohan ini."
Dezo semakin kebingungan. "Apa maksudmu?"
Mark menatapnya tajam, senyum itu semakin melebar. "Jika aku tidak bisa kabur dari perjodohan ini, maka aku hanya perlu memastikan bahwa seseorang lebih dulu membuat kekacauan yang lebih besar..."
Dezo menatap Mark dengan ekspresi curiga. "Jangan bilang... kau ingin menggunakan aku dan Selva sebagai tameng?"
Mark hanya terkekeh tanpa menjawab langsung. Namun, tatapan matanya penuh arti, membuat Dezo menghela napas panjang.
"Aku baru saja masuk perangkapmu, ya?" gumam Dezo, menyadari bahwa Mark pasti sedang merencanakan sesuatu yang gila.
***
Di kediaman Dolton, suasana sudah sangat siap untuk menyambut perjodohan yang telah direncanakan. Dekorasi ruangan begitu elegan, dan aroma hidangan lezat menyebar di udara. Para pelayan mondar-mandir memastikan segala sesuatunya berjalan dengan sempurna.
Di tengah ruangan, Yeda-mama Mark-tampak sedikit gelisah. Sejak tadi, ia terus menelpon putranya, berharap Mark segera datang. Wajahnya terlihat penuh harap setiap kali ponselnya menyala, namun hingga kini belum ada tanda-tanda kehadiran Mark.
"Tante, ini oleh-oleh dari Spanyol. Untuk Om dan juga Mark," ujar Clesi sambil menyerahkan beberapa paper bag dengan senyum manisnya.
Yeda segera menyambutnya dengan penuh antusias. "Ya ampun, sayang. Kenapa banyak sekali? Terima kasih banyak, ya!" katanya berbinar-binar. "Mark pasti akan sangat menyukainya," lanjutnya dengan penuh keyakinan.
Clesi hanya mengangguk malu-malu, sementara Feros-ayahnya-langsung menyahut dengan suara penuh kebanggaan, "Aku sungguh tidak mengira jika kita akan menjadi besan."
/0/27621/coverorgin.jpg?v=27edaad79907c7e8bd123c3140183f02&imageMogr2/format/webp)
/0/30070/coverorgin.jpg?v=1d516568456b2592bd713a426b3b7b30&imageMogr2/format/webp)
/0/30894/coverorgin.jpg?v=7d076e679131697c24475832a1ca772f&imageMogr2/format/webp)
/0/30122/coverorgin.jpg?v=82e5086e112bfb1c53a485ce037c52c1&imageMogr2/format/webp)