/0/24873/coverorgin.jpg?v=3bb5d9f52074eb9898689abd6ad7c196&imageMogr2/format/webp)
Aku menatap wajah lelah lelaki yang kini terlelap di sampingku, dengkuran halusnya terdengar teratur pertanda telah pulas tidurnya. Beberapa titik peluh masih menghiasi dahinya seusai permainan panas kami melepas rindu.
Usia pernikahan kami menginjak tahun ke-14 dan telah dikaruniai dua orang putra nan tampan dan sholeh. Ardhani Yasif si kakak yang mengijak usia 12 tahun dan Arbani Yusuf yang berusia 8 tahun.
Mas Wahyu, suamiku bekerja sebagai sopir truk muatan antar kota, yang tidak setiap hari bisa pulang dan berkumpul dengan anak serta istrinya. Terkadang tiga hari baru pulang dan bahkan tak jarang satu minggu baru pulang.
Kami bukanlah berasal dari keluarga mapan yang kaya. Kami sama-sama berangkat dari nol, membangun rumah tangga ini dengan keringat dan air mata tak jarang kami menahan lapar hanya demi kedua buah hati kami agar perut mereka merasa kenyang.
Aku yang hanya bekerja sebagai buruh jahit di sebuah konveksi rumahan, hanya bisa membantu untuk kebutuhan dapur. Sementara biaya hidup lainnya bergantung pada penghasilan suamiku.
Alhamdulillah, dengan doa, usaha dan syukur yang terus kami ucapkan. Perlahan tapi pasti kehidupan kami mulai terbilang mapan dan layak. Suamiku sudah mampu membeli truk sendiri dan dua truk lainnya yang dijalankan oleh adik dan sepupunya. Sementara aku sendiri telah mampu memeperkerjakan lima orang tetangga kami yang membutuhkan pekerjaan.
Semua itu tak lepas dari doa, usaha dan rasa syukur atas apa yang Allah berikan untuk kami. Hingga satu bulan lagi pernikahan kami mengijak usia yang ke 14 tahun. Pasang surut badai kehidupan telah mampu kami lewati, semoga Allah senantiasa menjaga biduk rumah tangga kami.
🌻🌻🌻
Dert dert dert
Dengan mata menahan kantuk aku ulurkan tangan menggapai ponsel yang berada di atas meja kecil disamping kasur. Tanpa melihat siapa yang menghubungi sepagi ini, aku menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.
"Hallo. . .assalamualaikum, Rin!" Sapa seorang wanita dari seberang sana yang aku hafal suaranya, dialah kakak sulungku, mbak Murni.
"Walaikumsalam, Mbak! Ada apa kok pagi-pagi banget telepon?"
"Ini, Rin! Mau kabarin kalau Salwa ketrima kuliah di universitas A dekat tempat tinggalmu. Mbak mau minta tolong untuk sementara biar Salwa tinggal di tempatmu sambil nyari kontrakan yang dekat kampus gitu, boleh Rin?" jelas mbak Murni.
"Ya boleh dong, Mbak! kapan Salwa mau datang?"
"Rencananya pagi ini, Rin! Naik bus biar sampai sana gak kemalaman!"
"Oh, ya sudah Mbak, nanti biar mas Wahyu yang jemput ke terminal kebetulan dia lagi di rumah."
"Yaudah kalau gitu, maaf ya Rin kalau merepotkan!"
"Gak repot kok Mbak, santai saja."
"Terimakasih ya, Rin! Assalamualaikum!"
Setelah mengucap salam aku kembali menyimpan ponsel ke atas meja dan bersiap membersihkan diri untuk melaksanakan shalat subuh. Sebelum berlalu ke kamar mandi aku membangunkan suamiku lebih dulu.
Usai melaksanakan ibadah dua rekaat, aku gegas menuju dapur untuk membuat sarapan. Sedangkan suamiku kembali merebahkan dirinya di kasur.
"Pagi, Bunda!" sapa Ardhan, anak sulungku yang sudah lengkap dengan seragam sekolahnya.
"Pagi, Sayang! Adek mana, Kak?"
"Masih mandi, Bund!" jawabnya yang sudah bersiap meneguk susu coklat yang telah aku siapkan.
Aku kembali fokus dengan penggorengan, tak lama muncul sang adik yang juga sudah rapi dengan seragamnya.
Dengan cepat aku menyajikan nasi goreng buatanku ke hadapan dua belahan jiwaku ini.
"Kalian sarapan dulu ya, Bunda mau panggil Ayah sebentar!"
"Ayah pulang, Bund?" tanya si bungsu. Memang semalam suamiku pulang sudah larut dan dua bocah ini sudah tidur lelap jadilah mereka tak tahu jika ayahnya pulang.
Aku yang hendak masuk kamar urung sebab suamiku juga telah membuka pintu dan bersiap menemui dua jagoan kami.
/0/3755/coverorgin.jpg?v=e558c3fcb8aebec096bd5823ea51b0ff&imageMogr2/format/webp)
/0/15488/coverorgin.jpg?v=6b65d6e6c727adb06413d5b0aa8a016e&imageMogr2/format/webp)
/0/27634/coverorgin.jpg?v=0a9cbbeb2e3783fca6c461882b41b19f&imageMogr2/format/webp)