/0/20791/coverorgin.jpg?v=e65667aa7d62f9ca14b86f6ae32ad138&imageMogr2/format/webp)
Safira Ayu Andini harus mengikhlaskan masa mudanya sirna begitu saja. Usianya baru genap dua puluh dua tahun, usia di mana seharusnya ia bebas menjelajah dunia, meniti karier impian, atau setidaknya merasakan manisnya cinta pertama yang romantis. Namun, semua itu hanyalah khayalan belaka. Realitasnya jauh lebih pahit: ia terpaksa menikah dengan Danu Pratama, seorang duda berusia tiga puluh tahun dengan satu anak.
Perjodohan ini bagai petir di siang bolong bagi Safira. Ia mengenal Danu hanya sebatas teman keluarga, itupun hanya sesekali bertemu dalam acara-acara besar. Danu adalah sosok yang selalu terlihat matang, serius, dan tak banyak bicara. Aura dinginnya selalu menyelimuti, membuat siapa pun enggan mendekat. Jauh dari gambaran pria idaman Safira yang hangat dan humoris.
"Safira, kamu harus menikah dengan Danu," suara ibunya, Bu Rina, terdengar tegas kala itu. Tidak ada nada pertanyaan, apalagi permohonan. Itu adalah sebuah titah.
Safira terpaku di sofa ruang tamu. Air matanya sudah kering setelah semalaman menangis. Ia mencoba mencari alasan, memohon, bahkan memberontak, namun semua sia-sia. "Tapi kenapa, Bu? Aku tidak mengenalnya dengan baik. Aku tidak mencintainya."
Bu Rina menatap putrinya dengan pandangan yang sulit diartikan, campuran antara rasa bersalah dan tekad bulat. "Ini demi kebaikan kita semua, Safira. Keluarga Danu akan membantu kita melunasi utang-utang perusahaan ayahmu. Kalau tidak, kita bisa kehilangan segalanya."
Mendengar nama ayahnya disebut, hati Safira mencelos. Ia tahu betapa terpuruknya sang ayah setelah bisnisnya mengalami kebangkrutan. Rumah mereka terancam disita, aset-aset berharga satu per satu dijual, dan tekanan hidup mencekik leher keluarga mereka. Safira adalah anak tunggal. Ia merasa bertanggung jawab. Tanggung jawab yang begitu berat untuk pundak gadis muda sepertinya.
Sejak hari itu, hidup Safira berubah menjadi abu-abu. Persiapan pernikahan dilakukan dengan cepat, nyaris tanpa ada sentuhan pribadi Safira. Gaun pengantin yang dipilihkan, cincin yang disematkan, bahkan dekorasi pesta, semuanya terasa asing dan hambar. Danu tidak pernah menunjukkan minat. Ia hadir dalam setiap pertemuan persiapan dengan ekspresi datar, sesekali mengangguk, seolah semua ini hanya formalitas belaka. Dingin. Ketus. Begitulah Danu.
Safira seringkali bertanya-tanya, apakah Danu juga merasakan hal yang sama dengannya? Apakah ia juga terpaksa? Namun, Danu tak pernah menyinggung perasaannya. Obrolan mereka sebatas hal-hal praktis, itupun sangat minim. Danu hanya akan berbicara jika ditanya, dan jawabannya selalu singkat, padat, dan tanpa emosi.
"Kamu mau tema apa untuk resepsi?" tanya perencana pernikahan suatu sore.
"Terserah," jawab Danu singkat tanpa menoleh.
"Warna bunga favoritmu, Safira?"
"Pink muda," jawab Safira lirih.
"Danu?"
"Apa saja," Danu menimpali, sambil fokus pada ponselnya.
Safira merasakan ngilu di hatinya setiap kali percakapan seperti itu terjadi. Ia tahu, pernikahannya bukan didasari cinta, apalagi kasih sayang. Ini murni transaksi. Transaksi yang mengorbankan kebahagiaan dan masa mudanya.
Hari pernikahan tiba. Safira mengenakan gaun putih yang indah, namun rasanya seperti kain kafan yang membungkus jiwanya. Ia tersenyum, menyalami tamu, berpose untuk foto, semua dilakukan seperti boneka yang digerakkan benang tak kasat mata. Di sampingnya, Danu berdiri tegak, dengan wajah yang tak menunjukkan emosi apa pun. Senyumnya tipis, lebih seperti formalitas daripada kebahagiaan.
Saat mengucapkan janji suci, suara Danu terdengar mantap, namun tatapannya kosong. Tidak ada binar cinta, tidak ada kehangatan. Hanya sepasang mata gelap yang memantulkan bayangan Safira yang buram. Safira sendiri hampir tak bisa menahan air matanya agar tak tumpah. Ia berjanji di depan Tuhan, pada seorang pria yang tak mencintainya, dan ia pun tak mencintai pria itu. Ironi yang menyakitkan.
Malam pertama pernikahan terasa mencekam. Setelah semua tamu pulang dan keluarga berpamitan, Safira dan Danu masuk ke kamar pengantin yang sudah dihias indah. Lilin-lilin berkedip lembut, menebarkan aroma melati yang menenangkan. Namun, suasana di antara mereka justru kaku dan tegang.
Safira berdiri di dekat jendela, menatap ke luar. Ia mendengar Danu bergerak di belakangnya. Lalu, suara kasur berderit. Safira menoleh pelan. Danu sudah berbaring memunggunginya, dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Seolah-olah Safira tidak ada di sana.
Hati Safira mencelos. Rasa perih itu kembali menyengat. Ia tahu Danu tidak menginginkannya, tapi perlakuan acuh tak acuh itu tetap saja menyakitkan. Perlahan, Safira berjalan ke sisi ranjang yang lain, berbaring membelakangi Danu. Ia menarik selimut hingga menutupi dagunya. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya luruh tanpa suara. Ia menangis dalam diam, menyesali nasibnya, meratapi masa depannya yang entah akan seperti apa.
Keesokan paginya, Safira terbangun lebih dulu. Danu masih terlelap, napasnya teratur. Wajahnya yang tertidur terlihat sedikit lebih lembut, namun aura dinginnya tetap terasa. Safira bangkit dari ranjang, menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri, ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan ibunya.
Saat keluar dari kamar mandi, Danu sudah bangun dan duduk di tepi ranjang, merapikan rambutnya. Ia menoleh sekilas ke arah Safira, lalu bangkit dan mengambil handuk. "Saya mandi dulu," ucapnya datar, lalu masuk ke kamar mandi.
Tidak ada "selamat pagi", tidak ada senyum tipis, apalagi sentuhan. Safira hanya mengangguk kaku. Ia duduk di meja rias, menyisir rambutnya yang panjang. Bayangannya di cermin terlihat kuyu, matanya sedikit bengkak. Ia berusaha tersenyum, namun senyum itu tidak sampai ke matanya.
Setelah Danu selesai mandi dan berpakaian, mereka turun ke meja makan. Di sana sudah ada Bu Rina dan Pak Hadi, orang tua Danu. Serta seorang anak laki-laki berusia lima tahun dengan mata bulat dan rambut hitam legam.
"Selamat pagi, pengantin baru!" sapa Bu Rina, ibu Danu, dengan senyum lebar. Ia adalah wanita paruh baya yang ramah dan hangat. Berbanding terbalik dengan putranya.
"Pagi, Bu," jawab Safira lirih. Danu hanya mengangguk.
Anak laki-laki itu menatap Safira dengan rasa ingin tahu. "Mama baru?" tanyanya polos pada Bu Rina.
Safira tersentak. Ia lupa. Danu punya anak. Seorang anak laki-laki bernama Raihan. Ia akan menjadi ibu sambung. Sebuah peran yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan.
Bu Rina tersenyum lembut. "Iya, sayang. Ini Tante Safira. Mulai sekarang Tante Safira akan jadi Mama Raihan juga."
Raihan kecil hanya mengangguk-angguk, lalu kembali fokus pada sereal di hadapannya.
Selama sarapan, suasana terasa canggung. Safira berusaha berbasa-basi dengan Bu Rina dan Pak Hadi, namun Danu hanya diam, sesekali menyahut singkat jika ditanya. Ia tampak fokus pada sarapannya, sesekali membantu Raihan yang kesulitan memotong sosis. Melihat interaksi Danu dengan Raihan, Safira merasa ada sedikit kehangatan dalam diri Danu, sebuah sisi yang tidak pernah ia tunjukkan padanya.
Setelah sarapan, Bu Rina mengajak Safira untuk berkeliling rumah. Rumah Danu besar, modern, dan tertata rapi. Namun, ada semacam kekosongan yang Safira rasakan. Mungkin karena terlalu rapi, terlalu bersih, nyaris tanpa sentuhan personal.
"Danu memang begitu, Safira. Dia tidak banyak bicara. Tapi hatinya baik kok," ucap Bu Rina seolah bisa membaca pikiran Safira. "Dia sangat menyayangi Raihan. Sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu, dia jadi lebih pendiam."
Safira hanya mengangguk, mencerna informasi itu. Istri Danu meninggal tiga tahun lalu. Berarti Danu sudah menjanda cukup lama. Apakah Danu masih mencintai istrinya? Apakah itu sebabnya ia begitu dingin pada Safira? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Safira, namun ia tak berani menyuarakannya.
Hari-hari awal pernikahan Safira dan Danu berjalan lambat, seperti putaran film tanpa suara. Mereka tinggal di rumah Danu yang besar, yang kini terasa semakin besar dan hampa. Danu sibuk dengan pekerjaannya, seringkali pulang larut malam. Jika tidak ada pekerjaan, ia akan menghabiskan waktunya di ruang kerjanya, entah membaca buku atau di depan laptop. Komunikasi di antara mereka sangat minim.
Safira berusaha mengisi waktunya. Ia membantu Bu Rina mengurus rumah, bermain dengan Raihan, atau membaca buku di kamar. Raihan adalah satu-satunya sumber kebahagiaan kecil bagi Safira. Anak itu polos dan ceria, seringkali membuat Safira tertawa dengan tingkah lucunya. Raihan dengan cepat dekat dengan Safira, memanggilnya "Mama Safira" dengan logat cadelnya yang menggemaskan.
Kehadiran Raihan sedikit melunakkan hati Safira. Ia melihat bagaimana Danu, yang begitu dingin padanya, bisa berubah menjadi sosok ayah yang lembut dan penuh perhatian di depan putranya. Danu akan sabar mendengarkan cerita Raihan tentang sekolah, menemaninya bermain, atau membacakan dongeng sebelum tidur. Pemandangan itu seringkali membuat Safira merasa iri sekaligus kagum. Iri karena Danu tidak pernah menunjukkan kelembutan itu padanya, namun kagum melihat sisi lain dari suaminya yang selama ini tersembunyi.
/0/24930/coverorgin.jpg?v=20250627183014&imageMogr2/format/webp)
/0/19673/coverorgin.jpg?v=20241206175542&imageMogr2/format/webp)
/0/3808/coverorgin.jpg?v=20250122110241&imageMogr2/format/webp)
/0/20773/coverorgin.jpg?v=20250124101224&imageMogr2/format/webp)
/0/6639/coverorgin.jpg?v=db738a8cdac87a5646c65647c90a198b&imageMogr2/format/webp)
/0/16821/coverorgin.jpg?v=12a7363d56d48ac65197b270d1e45d7e&imageMogr2/format/webp)
/0/28647/coverorgin.jpg?v=796a27162829ed6a2165b9cafa0a6eb6&imageMogr2/format/webp)
/0/5596/coverorgin.jpg?v=a975c4f481cb5501e854da3164742f69&imageMogr2/format/webp)
/0/16487/coverorgin.jpg?v=20240511152537&imageMogr2/format/webp)
/0/3263/coverorgin.jpg?v=da51877b94893f98820b80291b788f0a&imageMogr2/format/webp)
/0/6540/coverorgin.jpg?v=20250122151311&imageMogr2/format/webp)
/0/13104/coverorgin.jpg?v=20250123144834&imageMogr2/format/webp)
/0/22779/coverorgin.jpg?v=c7df2ae606df727a42b8bbece4cef249&imageMogr2/format/webp)
/0/4053/coverorgin.jpg?v=20250121182034&imageMogr2/format/webp)
/0/24713/coverorgin.jpg?v=20250623183432&imageMogr2/format/webp)
/0/17042/coverorgin.jpg?v=20240327141414&imageMogr2/format/webp)
/0/2841/coverorgin.jpg?v=f985878837adf7ea89879cdbb243c038&imageMogr2/format/webp)