Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
"Pagi, istriku."
Suara bariton itu menyapa pendengaran si cantik Mariam yang baru saja terbangun dari tidurnya. Matanya yang masih sulit untuk dibuka dan wajahnya masih bengkak mencoba tersenyum pada sang suami yang sudah siap dengan setelan kerjanya. Mariam bukanlah istri yang buruk, namun untuk hari ini dan enam hari kedepan adalah kesempatannya untuk bermalas-malasan karena sedang masa datang bulan yang tidak mengharuskan bangun pagi buta untuk melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan. Hal ini juga merupakan kesempatan untuk dimanja oleh suaminya–Adam, yang sangat mengerti tentang wanita.
"Sudah siap saja, Mas. Memangnya mengajar jam berapa?"
Mariam bukanlah seorang pengingat yang baik sekalipun delapan tahun menikah dengan Adam tak membuatnya mengingat dengan jelas jadwal mengajar Pak dosen Adam itu. Dia masih sering bertanya tentang jadwal mengajar yang terus berulang selama bertahun-tahun.
Namun, Adam tetap menjawabnya dan memberi rincian tentang jadwal mengajarnya di kampus.
"Masih nanti siang, sih. Tapi saya harus bertemu dengan mahasiswa yang akan bimbingan," katanya dengan santai memakai dasinya sendiri di depan cermin.
"Bimbingan pagi-pagi?" Mariam mendekat, memeluk tubuh kekar itu dengan erat dan menempelkan wajahnya di punggung lebar Adam.
"Iya. Saya sudah bosan bertemu dengan mahasiswa yang satu itu, jadi harus cepat diselesaikan agar dia cepat lulus dan gak meneror untuk meminta bimbingan." Adam menjawab dengan hembusan nafas pelan di akhir.
Dia berbalik dan terpaksa melepas pelukan istrinya yang tampak masih mengantuk itu. Jarinya menyelipkan anak rambut Mariam dan mengusap pipi gembul itu dengan penuh kehangatan.
"Saya pulang malam, ya?"
Mariam memandang suaminya itu untuk beberapa detik kedepan. Keningnya mengernyit, sorot matanya seolah mengisyaratkan pertanyaan yang diawali dengan 'kenapa?'. Ya, kenapa harus pulang malam?
"Haru minta jalan-jalan dan menonton."
Haru. Jika sudah menyangkut tentang Haru, Mariam tidak pernah membantah, dia mengangguk dengan kedua sudut bibir terangkat membentuk senyuman indah namun terkesan kaku. Delapan tahun menikahi Adam yang notabenenya duda ditinggal mati sang istri dan memiliki satu anak perempuan, tidak juga menghilangkan rasa cemburu Mariam yang telah berusaha keras untuk mewajarkan hal itu. Entah harus berapa tahun lagi dia habiskan untuk menganggap semuanya wajar dan tidak merasa cemburu.
"Boleh," katanya sembari membalas belaian Adam pada pipi kanan pria itu.
"Mau titip apa?" tanya Adam.
"Mmm … belum ada yang aku inginkan, nanti kalau ada aku telepon, ya."
Anggukan singkat itu kemudian dibarengi dengan lepasnya usapan hangat Adam menandakan bahwa dia harus segera bergegas. Tak lupa memberikan kecupan pada bibir yang masih segar dengan warnanya yang menggoda itu. Mariam mengantar hingga pintu depan, melambaikan tangan saat mobil suaminya mulai melaju keluar dari pekarangan rumah mereka.
Selanjutnya, Mariam kembali merasa kosong. Dia sempat melamun, terbesit lagi pikiran untuk memiliki anak. Delapan tahun menikah tetapi tak kunjung dikaruniai buah hati tentu membuat hatinya ngilu. Baik dirinya maupun Adam tidak ada masalah, dan seharusnya itu memudahkan mereka untuk memiliki momongan.
"Mungkin, kalau aku bisa memberinya anak, Mas Adam bisa diam di rumah tanpa harus terus menerus menemui Haru."