Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Hujan mengguyur deras, menimpa atap rumah sakit dengan ritme seperti tangisan tak berujung. Setiap tetesnya seolah mewakili setiap tetesan air mata yang mengalir di wajah Nadia, membasahi pipinya yang pucat. Ruangan yang sempit itu hanya diterangi lampu neon yang berkedip, membuat bayangan-bayangan di dinding seakan menari-nari dalam kesedihan. Bau antiseptik yang kuat bercampur dengan aroma obat-obatan, menciptakan suasana yang dingin dan mencekam.
Nadia duduk di kursi plastik yang keras, matanya tak pernah lepas dari wajah adiknya, Adi, yang terbaring di ranjang. Tubuh kecilnya terlihat rapuh, lebih rapuh daripada yang Nadia ingat. Udara di ruangan itu begitu sepi hingga detak jantung Nadia terasa seperti dentuman drum yang bergema di telinganya. Tak ada suara lain, hanya hujan dan tangis sunyi yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang terjebak dalam kegelapan.
"Adi, bangunlah, nak. Kakak di sini," Nadia berkata pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. Dia menggapai tangan Adi, menggenggamnya sekuat mungkin. Jari-jarinya yang kecil terasa dingin dan lemas, tak seperti biasanya. Hati Nadia dipenuhi rasa takut yang tak bisa diungkapkan. Rasa takut yang bukan hanya tentang kehilangan, tapi tentang kebingungan-kebingungan akan jalan hidup yang sudah tak bisa dia ubah lagi.
Setiap kali dia memejamkan mata, wajah Reza Azhar muncul di pikirannya, dengan senyum setengah sinis dan tatapan yang selalu tajam, seolah mampu menembus jiwanya. Bagaimana bisa dia, seorang gadis dari keluarga sederhana, terjerat dalam permainan ini? Semua bermula dari tawaran itu-tawaran yang datang seperti petir di siang bolong, tak terduga dan menghancurkan.
"Apakah kau benar-benar ingin membantu adikmu?" suara Satria, ibu Reza, berbisik di telinganya, mengusik ingatan yang menyakitkan. Suara itu seakan menggaung dalam benaknya, mengingatkannya akan harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan Adi.
Nadia menatap Adi, menyeka air mata yang mengalir deras. "Kakak akan melakukan apa pun, Adi. Aku janji," katanya dengan suara bergetar. Di luar jendela, kilat menyambar, menerangi malam yang gelap. Gemuruh petir membuat Nadia terkejut, membuatnya seolah terlempar kembali ke kenyataan yang brutal. Adi masih terbaring di sana, tak bergerak, dan Nadia tahu waktu mereka semakin sedikit.
Pintu kamar terbuka dengan suara gemerincing, dan seorang perawat muncul, wajahnya tampak lelah dan tak jauh berbeda dari Nadia-penuh tanda-tanda keputusasaan. "Nona Nadia, waktunya sudah habis. Kami harus memindahkan adikmu ke ruang perawatan intensif."