Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Tujuh tahun sebelumnya.
“Dua minggu lagi acara wisuda kita. Masa iya kamu mau di rumah terus. Ayolah sekali-sekali clubbing,” bujuk Hans Emanuel yang masih dalam posisi jongkok seraya menikmati rokok.
Asoka Ekadanta terkekeh, “Percuma juga aku datang, hanya akan menjadi bahan tontonan. Apalagi Eriska nggak ada. Bisa diomelin aku, kalau sampai ketahuan clubbing.”
Fano Yuwono tergelak mendengar alasan Asoka. Dia yang awalnya bersandar pada mobil sedan hitamnya segera beranjak dan ikut berjongkok agar bisa berhadapan dengan Asoka langsung yang duduk di jok belakang mobil dengan pintu terbuka. “Jadi kamu teh, lebih takut sama Eriska daripada Ambu?”
Asoka menghela napas panjang. “Bukan takut, tapi aku menghargai mereka.”
“Dengar Asoka, Eriska itu bukan istrimu nggak usah takut. Lagian apa yang akan terjadi coba?” ujar Hans.
“Iya atuh, kamu nggak minum juga nanti. Kami akan pesankan moktail yang non alkohol. Kamu pikir, kami berani macam-macam sama si Kembar. Duh … bisa keok aku kalau sampai Janu ngamuk,” tukas Fano seraya begidik dan menunjukkan bulu halus di tangan yang berdiri karena teringat bagaimana dulu Janu menghajar habis orang-orang yang berani menyakiti Asoka.
Asoka mengulum senyum memahami hal itu. Kedua saudara lelakinya yang lain tidak akan membiarkan dirinya tanpa pengawasan. Meski dirinya sudah dewasa tetapi sikap protektif keduanya bukannya berkurang tapi semakin menjadi.
“Apa kamu tidak merasa terkekang, selalu diawasi begitu? Sampai sewa bodyguard segala?” tanya Hans yang sangat penasaran padahal kedua orang tua Asoka bukan orang politik dan jelas bukan salah satu orang terkaya di negeri ini. Meski dirinya pun tahu, Asoka yang berada di hadapannya adalah orang yang sama sering mendapatkan terror dari orang-orang sinting yang sangat licin dan susah ditangkap.
“Kamu ini bego atau gimana? Gitu aja ditanyain, seperti baru kemarin aja kenal Asoka,” tegur Fano seraya memberikan tatapan sebal dan merebut bungkus rokok di tangan Hans.
Asoka tersenyum kecut, dia menyadari memang rasa penasaran Hans ada benarnya. Semua jika dilihat dengan kacamata orang awan akan sangat berlebihan. Memang siapa dia, sampai harus dijaga beberapa orang berbadan besar dengan tato sangar dan tampang tidak ramah meski mereka terlihat tak kalah tampan dari orang yang dijaga.
Itu sebab, Asoka dianggap lemah. Tidak bisa menjaga diri sendiri seperti saudara-saudaranya yang lain. Meski dirinya kadang ingin hidup seperti pemuda lainnya yang bebas ke mana saja sendirian. Belanja sendirian dengan uangnya sendiri, tidak harus dibuntuti banyak orang. Namun rasanya tidak memiliki privasi, apalagi saat ini dirinya sudah memiliki kekasih. Eriska Mahadewi, wanita yang lebih tua dua tahun darinya tapi bisa menerimanya dengan baik.
“Ayolah Ka, besok hari ulang tahunmu juga. Masa kamu mau merayakan di rumah saja?” Hans masih gigih membujuk sahabat karibnya sejak dulu.
“Eh … iya ya. Ayolah ultah ke dua dua gitu loh, masa iya mau di rumah, bae,” cetus Fano yang baru teringat.
Asoka menggeleng. “Aku akan merayakan nanti, bersama Eriska saat dia sudah kembali,” katanya.
Asoka lalu menoleh ke kiri, menyadari dari ekor matanya melihat Erni Elawati yang seperti berjalan cepat cenderung tergesa-gesa, tanpa menoleh ke arah mereka yang masih berada di halaman parkir mahasiswa. Asoka yakin Erni tahu, tapi sepertinya perempuan itu sengaja menjauh dan tak ingin berhubungan lagi.
Hans dan Fano mengikuti arah pandang Asoka dan keduanya lalu saling melempar pandang. Mereka berdua tahu, sejak Asoka memiliki kekasih. Satu-satunya sahabat perempuan mereka kini semakin menjauh. Tidak hanya dengan Asoka tetapi dengan ketiganya sekaligus. Erni seperti sengaja membuat jarak dan berlaku seperti orang asing.
Asoka mengikuti arah perempuan itu berjalan menuju parkiran sepeda motor seraya mengusap dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Rasa sakit bukan sebab fisik tetapi karena kelakuan Erni. Kini matanya membulat begitu melihat Erni ternyata tidak membawa motor butut merah 4 tak miliknya tetapi gadis itu dibonceng oleh seorang pria dengan motor sport.
Hans lantas bersiul melihat bagaimana Erni yang memeluk perut pria yang entah siapa itu sebab wajahnya tertutup helm full face hitam mengkilap seperti warna motornya. “Wah … pantas saja, Erni nggak mau dekat-dekat kita lagi. Seleranya anak balap motor.”
Asoka kesal karena tidak mengenali pengendara motor itu. Apalagi dia baru kali ini melihat motor itu ada. Suara knalpot mahalnya memecah keheningan parkiran pada siang ini—hanya tersisa dua mobil milik Fano itu saja dan mobil milik pengawal Asoka yang berjarak cukup jauh tapi masih dalam jangkauan penglihatan jika ada sesuatu kejadian yang tidak mengenakkan terjadi. Namun perkataan dari Hans membuat Asoka memusatkan perhatian pada temannya, yang seperti kereta batubara zaman dulu itu—dari tadi tak berhenti merokok sambil mengoceh.