Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
"Innalillahi wa innalillahi rojiun. Maaf, Bu, Pak, Pak Rangga sudah tiada," ucap dokter setelah memeriksa Rangga.
Bak disambar petir, tangis Vania pecah saat itu juga. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu, berteriak histeris. Ia tidak menyangka, bahwa suaminya akan berpulang secepat itu. Padahal, tadi pagi, sebelum berangkat bekerja, ia baik-baik saja, malah Vania sempat bermesraan dengan suami tercintanya. Tapi, maut tak memandang waktu dan usia. Rangga mengalami kecelakaan yang membuatnya harus kehilangan nyawa. Siap tidak siap, Vania akan menjadi janda dan Ryan akan menjadi anak yatim.
"Mas Rangga ...!"
"Mas Rangga, bangun, Mas. Kumohon." Vania mengguncang tubuh Rangga yang sudah tak bernyawa. "Jangan tinggalkan aku dan Ryan, Mas. Ryan masih membutuhkanmu."
Adi dan Nitta-orang tua Rangga turut meneteskan air mata. Mereka telah kehilangan sang putra tercinta. Putra yang selama ini mereka banggakan. Putra yang mereka besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.
"Kalau begitu, saya permisi," ucap dokter lagi.
Vania menatap sendu jasad Rangga yang sudah terbujur kaku. Tak ada lagi kembang kempis napas, tak ada lagi gerakan tubuh, netra pria yang telah menemani hidupnya selama beberapa tahun itu sudah tertutup rapat. Tak bisa lagi diajak bicara. Tak akan ada lagi tawa canda dan senyuman pria itu. Tak akan ada lagi dua tangan yang selalu mengusap air matanya dikala bersedih.
“Nggak! Ini nggak mungkin! Pasti aku cuman mimpi.” Wanita itu menampar pipi dengan kedua tangannya sendiri beberapa kali. Berusaha menyadarkan diri kalau ini hanya sebuah mimpi buruknya.
“Nggak, Sayang. Rangga udah nggak ada. Kita harus kuat demi Ryan.” Nitta menatap Vania sendu.
“Nggak, Ma! Mas Rangga nggak mungkin meninggal!” teriak Vania.
“Kuatkan hatimu, Nak. Kamu masih punya tanggungan. Kamu masih punya Ryan yang membutuhkan kasih sayangmu.” Nitta memeluk menantunya, berusaha menguatkan.
***
Jenazah Rangga sampai di rumah duka, disambut isak tangis keluarga. Orang-orang pun berdatangan untuk melayat. Beberapa di antaranya sibuk mengurus persiapan pemakaman.
Sebuah mobil xpander terparkir di depan halaman rumah berlantai satu itu. Pemiliknya turun, melewati beberapa warga, dan memasuki rumah. Mengenakan kemeja dan kacamata hitam. Ia tampak gagah dengan cara berjalan yang tegap. Dari wajah dan penampilannya, ia 90% mirip dengan Rangga. Hanya saja, ia lebih tinggi dari Rangga. Kulitnya putih bersih dengan hidung yang mancung.
"Papa?" lirih Ryan. Bocah berusia enam tahun itu melihatnya. "Itu pasti Papa."
Ryan segera menghapus air matanya. Vania yang berada di sampingnya, merasa heran. Papa mana yang Ryan maksud? Bukankah papanya sudah tiada dan saat ini jenazahnya belum dikebumikan? Lalu, papa mana yang Rian maksud?
"Papa mana, Ryan? Papa kamu udah nggak–" Belum sempat Vania melanjutkan ucapannya, Ryan sudah berlari menghampiri pria itu.
"Papaaa...!" Bocah itu langsung memeluk pinggang pria yang belum ia kenal itu.
Semua orang yang berada di sana turut bersedih melihat kejadian itu. Bocah sekecil Ryan harus ditinggal pergi oleh ayahnya. Sampai-sampai menganggap orang lain sebagai sang ayah. Ia menganggap bahwa Rangga masih hidup.
"Pa, papa nggak jadi pergi, kan? Jangan tinggalin Ryan, Pa," tangis Ryan. Ia semakin mengeratkan pelukan.
Pria yang Ryan peluk hanya diam membisu. Mungkin, ia bingung kenapa anak kecil itu tiba-tiba datang dan langsung memeluk. Merasa tidak enak, Vania berjalan cepat dan menghampiri mereka.
"Ryan, itu bukan papamu. Lepasin, Ryan!" Vania berusaha melepaskan tangan Ryan yang melingkar di pinggang si pria.
Namun, Ryan malah semakin mengeratkan pelukan. "Nggak! Ini papanya Ryan, Papa Rangga!" teriaknya histeris.
"Papa Rangga belum mati. Papa Rangga masih hidup. Ini dia."
Pria itu perlahan berjongkok. Kini posisinya berhadapan dengan Ryan. Ia membuka kaca mata hitamnya. Dari sorot matanya, ia seperti Rangga.
"Dek, ini om bukan papa kamu. Panggil om, Om Rendy," ucapnya lirih seraya membelai rambut Ryan pelan.
"Nggak. Ini bukan Om, tapi Papa Rangga," balas Ryan lirih. Netranya berkaca-kaca menatap si pria.
Mengembuskan napas kasar, pria itu kini memegang pundak Ryan. "Baiklah, kamu boleh manggil papa. Tapi, jangan nakal, ya?" Pria itu mengacungkan jari kelingkingnya.
"Oke, Papa." Sedetik kemudian, wajah Ryan yang semula murung kembali ceria.
Vania melongo melihat keakraban Ryan dan pria yang tak dikenalnya. Dari arah lain, Nitta datang menghampiri pria itu. Wajah wanita berusia 45 tahun itu tersenyum. Netranya berkaca-kaca.
"Akhirnya kamu pulang juga, Nak," ucapnya lirih.
"Iya, Ma. Maafin Rendy." Pria yang diketahui bernama Rendy itu mencium punggung tangan ibunya takzim.
'Ternyata Mas Rendy. Ya, dia Mas Rendy, mukanya mirip Mas Rangga,' batin Vania.
"Pa, nanti kita main, ya!" pinta Ryan.