/0/22562/coverorgin.jpg?v=79ad4da2ee8b4c1948bdf5f78f4c2217&imageMogr2/format/webp)
Sangat gerah siang ini. Aku memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh. Mulai dari daster khas ibu rumah tangga pada umumnya, aku tanggalkan, menyusul semua kain di tubuh. Di bawah pancuran shower, aku berdiam diri menikmati segarnya air. Ugh, rasanya sangat melegakan setelah bersih-bersih rumah setengah harian ini.
Ceklek!
Tubuhku bergerak refleks menoleh saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Terpampang seorang pria membatu di celah pintu. Ia menatapku beberapa detik, lalu menurunkan pandangannya.
“Maaf. Saya kira tadi airnya menyala sendiri.” Hanya itu yang dia ucapkan, lalu menutup pintu kamar mandi dengan pelan tanpa menimbulkan suara.
Selama beberapa saat, aku ikut mematung di tempat. Kemudian mengusap wajah, lalu mengambil handuk yang menggantung. Menggunakannya di tubuh, lalu keluar kamar mandi.
“Mas mau makan siang?” tanyaku saat melihat pria itu sibuk memilah beberapa map di atas meja.
“Kamu lihat map biru di sini. Tadi saya kelupaan, makanya saya pulang mau ambil.” Dia tidak sedikitpun menoleh padaku, dan sibuk mengobrak-abrik kertas di mejanya.
Aku berjalan menuju rak dekat meja kerjanya. Mengambil map yang ia cari, lalu menyerahkannya.
“Ah, terimakasih.” Dia tersenyum simpul padaku saat menerimanya. Lalu berbalik hendak pergi.
“Mas nggak mau makan siang bareng?” tanyaku.
“Maaf, ya. Sekarang belum bisa. Saya ada pertemuan di restoran dengan klien. Lain kali, ya?”
“Okey.” Aku menjawab lemah seraya tersenyum meski ia tidak melihat. Aku terus menatap punggungnya yang dibalut kemeja maroon hingga tubuhnya benar-benar pergi.
Kalau dilihat sekilas, pernikahan kami baik-baik saja. Di mata tetangga, kami adalah keluarga paling bahagia. Di mata keluarga, kamilah pasangan paling beruntung. Namun, untukku ini hanya seperti kehidupan dua orang asing dalam satu rumah.
Pernikahan kami sudah berjalan 11 bulan, tetapi seperti ini. Lihat saja bagaimana respon Mas Aiden tadi. Dia tidak pernah tertarik dengan tubuhku. Jadi, keinginan untuk menjalin cinta dengan suami pupus di malam pernikahan dulu, kala pertama kali aku tahu dia tidak memiliki ketertarikan pada wanita.
Ah, bahkan 2 bulan pernikahan dulu, aku nekat menggodanya dengan lingerie super seksi pemberian sahabatku. Namun, responnya hanya, “wah, bajunya bagus. Tapi apa kamu tidak kedinginan, Ayya? Kainnya terlalu tipis.”
Dia benar-benar tidak memiliki ketertarikan untukku. Dan ini membuatku sedikit frustasi.
Sudahlah, tidak perlu meratapi ini. Aku menuju ke walk in closet untuk memakai pakaian. Namun, dering ponsel membatalkan niatku. Telepon dari Ibu.
“Halo, assalamualaikum,” sapaku lebih dulu.
“Wa alaikumussalam. Nduk, kamu sudah tau belum? Adik sepupumu, Naisha, sudah hamil, loh.”
Oh tidak. Aku benci topik pembicaraan ini. Bibir bawah aku gigit karena gelisah.
“Mereka baru nikah sebulan, loh. Kamu kapan nyusulnya, Nduk?”
Kan ...!
“Hehe ... Alhamdulillah, ya, Bu. Keluarga kita bakalan tambah. InsyaaAllah, kalau Allah sudah kasih rezeki ke kami, kami juga akan segera menyusul.”
Hanya ini yang bisa aku katakan. Tidak mungkin aku terus terang pada Ibu bahwa anaknya ini masih tersegel.
“Kamu banyakin usaha sama suamimu. Sekali-sekali, luangkan waktu buat bersama. Suamimu sepertinya terlalu sibuk bekerja. Capek juga bisa bikin stamina pria berkurang.”
Tanpa kerja pun, staminanya di ranjang tetap tidak ada, Bu.
Pengennya jawab begitu, tapi itu aib suamiku.
“Iya, Bu. Nanti Ayya bilangin sama Mas Aiden.”
“Kamu jangan lama-lama tunda punya anaknya. Ibu kan pengen juga punya cucu langsung dari putri tunggal Ibu. Kamu juga sebagai istri, sering-seringin goda suami kalau perlu. Jangan malu-malu kalau sama suami sendiri.”
Ya Allah, Bu. Ini stok hot pants sama tank top-ku banyak demi goda Mas Aiden. Tapi, tidak pernah mempan.
“Iya, Bu.” Tidak mau melawan, jadi aku hanya bisa menyetujui ucapan Ibu sembari menggaruk kening.
“Kamu jangan kecapean, ya. Jangan banyak stres, supaya subur. Ibu tunggu cucunya, ya.”
“Iya, Bu.”
“Ayya bahagia ya, di sana. Ibu sayang Ayya.”
/0/2576/coverorgin.jpg?v=1b5ef0e4bbd4bd9ebb391001cfd0dd64&imageMogr2/format/webp)
/0/2624/coverorgin.jpg?v=e6f881395758d217272b9b32d202169e&imageMogr2/format/webp)
/0/18757/coverorgin.jpg?v=45534e54ad36109b6f207435dbe4052f&imageMogr2/format/webp)
/0/2832/coverorgin.jpg?v=98e6c4c98c752164cf20c222a90d35ae&imageMogr2/format/webp)
/0/2596/coverorgin.jpg?v=2c7522c9f3ed3a9911a4df0ee2fccf0a&imageMogr2/format/webp)
/0/8908/coverorgin.jpg?v=800e60c90f2919a853d22d5ca40b66b0&imageMogr2/format/webp)
/0/2861/coverorgin.jpg?v=4cb1622da09fa516b5e1b4b7dfd2247e&imageMogr2/format/webp)
/0/17563/coverorgin.jpg?v=7266e4075eb37c48a5309bd3afef1cfe&imageMogr2/format/webp)
/0/24645/coverorgin.jpg?v=91b6eb3fa45ac33f191824f709ee3b72&imageMogr2/format/webp)
/0/2631/coverorgin.jpg?v=eaa6718167fd3ce990121f25fa01a958&imageMogr2/format/webp)
/0/5593/coverorgin.jpg?v=fe6e852727fb0cd06f392a8b50df6ff5&imageMogr2/format/webp)
/0/7113/coverorgin.jpg?v=c33b0f5fd43cfe98097da6b6cebf6198&imageMogr2/format/webp)
/0/16199/coverorgin.jpg?v=970aed5fb0497637d2eb4a6e422a511d&imageMogr2/format/webp)
/0/17410/coverorgin.jpg?v=cca9c90c68212c5cc1597d5bad5e3f0a&imageMogr2/format/webp)
/0/2115/coverorgin.jpg?v=e4ae29ff6d52435c428aad2b450be390&imageMogr2/format/webp)
/0/5105/coverorgin.jpg?v=b82df08457b67fdcf0f6700562d10443&imageMogr2/format/webp)
/0/9053/coverorgin.jpg?v=943ff6f42d41ba2954e161eeb8af226a&imageMogr2/format/webp)
/0/13761/coverorgin.jpg?v=51175a6ef2d460edacd26710dab0aa36&imageMogr2/format/webp)