/0/22082/coverorgin.jpg?v=ad2b0922cd8b095696d41f8ce878db88&imageMogr2/format/webp)
"Bro... lu lihat deh," bisik Veron sambil nyikut lenganku pelan.
Matanya nggak menatap lurus ke depan, tapi melirik ke arah deretan tamu undangan yang baru saja lewat. Aku menoleh, dan langsung paham maksudnya.
Tante Meta, tampil anggun. Kebaya hijau tosca membalut tubuhnya dengan pas, dipadukan dengan jilbab modern yang menambah kesan rapi dan elegan. Kain jariknya cukup membentuk lekuk tubuhnya, dan setiap langkahnya membuat gerakan pinggulnya tampak alami, tertahan samar oleh sendal slop yang dipakainya.
Wangi parfumnya yang lembut tercium saat ia melintas di depan barisan pagar, meninggalkan jejak keharuman yang sulit dilupakan.
"Gila, pantatnya gede banget ya, Bro?" bisik Veron, sambil menahan tawa. "Coba aja dia nungging, pasti bikin semua mata terbelalak."
Aku cuma pura-pura garuk hidung, malu tapi dalam hati setuju. Bukan cuma soal kebaya atau jariknya, Tante Meta memang punya aura yang susah diabaikan. Veron bilang sesuatu yang aku nggak begitu paham-MILF katanya.
Aku sendiri nggak tahu pasti kriterianya apa, tapi yang jelas, aku merasa sungkan. Tante Meta, ibunya Alisa, teman sekelasku, walau kami memang tidak terlalu akrab.
Namun demikian, efek dari ucapan Veron membuat mataku sulit berpaling. Sekalipun mencoba menunduk atau menatap sekeliling, pandanganku selalu kembali ke Tante Meta. Ada sesuatu dalam cara dia melangkah dan tersenyum yang membuatku tak bisa tenang, seolah seluruh perhatianku terpaku padanya.
Aku tahu, rasa kagum ini sedikit berlebihan, tapi mau bagaimana lagi, Tante Meta memang punya aura yang susah diabaikan, dan aku, seorang remaja polos, tak bisa menahan diri untuk terus memandang.
Hari itu aku sedang ada di acara resepsi pernikahan Bang Yosi dan Mbak Elin, anak kedua Pak Marlon, tetanggaku yang juga kakaknya Tante Meta.
Lapangan depan rumahnya disulap jadi lautan kursi plastik dengan tenda warna-warni. Musik organ tunggal sudah siap di panggung, meski pengantinnya belum juga keluar dari kamar rias.
Aku dan beberapa anak muda kompleks mendapat tugas menjadi pagar bagus dan pagar ayu, menyambut tamu yang datang dengan pakaian adat Sunda yang disediakan panitia. Para pagar bagus mengenakan beskap ungu dipadu bendo dan kain jarik bernuansa megamendung putih. Penampilan kami jauh berbeda dari sehari-hari, dan aku jelas termasuk yang paling menonjol karena postur tubuhku.
Kami berdiri berdampingan, menyalami setiap tamu yang datang dengan senyum yang terlatih. Sesekali aku mencuri pandang ke arah kerumunan. Bukan pada gadis-gadis sebayaku, tapi pada ibu-ibu yang melangkah anggun dengan kebaya berwarna-warni dan riasan mencolok.
Entah kenapa, mataku lebih betah mengikuti gerakan mereka, cara tersenyum, cara kain panjang kebaya menyapu lantai dengan lembut, seolah ada ritme sendiri yang menarik perhatian.
Veron masih ngoceh, membahas detil lekuk ibu-ibu cantik dengan nada mesum, aku berusaha tetap menjaga senyum formal saat menyambut tamu. Tapi bayangan Tante Meta terus menghantui pikiran, seolah tamu-tamu lain mendadak sedikit buram.
Tiba-tiba, Tante Meta mendekat. Wajahnya cerah, senyumnya khas, hingga pipi kanannya muncul lesung pipit kecil. Aku refleks merapikan beskap putih yang kupakai, merasa jantungku berdegup lebih cepat.
"Eh, Raka, ternyata kamu di sini?" tanyanya sambil sedikit menengadah karena aku lebih tinggi. Matanya berbinar, ternyata dia masih mengenalku.
"Eh, iya Tante, sama Veron juga," jawabku agak gelagapan, buru-buru menunjuk ke arah Veron yang lebih akrab dengannya.
Veron, yang tadi semangat berbisik soal kebaya dan kain jarik Tante Meta, mendadak salah tingkah. Senyum sok manisnya jadi kaku, dan dia cuma bisa angguk-angguk tanpa suara.
Tante Meta terkekeh kecil, lalu menatapku lagi.
"Alisa gak ikut, Tan?" tanyaku basa-basi.
"Katanya mau nanti malam pas acara khusus. Oh iya kebetulan Tante bisa minta nomor kamu nggak?"
"Untuk?" Aku balik bertanya konyol.
"Alisa kadang telat pulang sekolah, susah dihubungi. Maksud Tante... biar nanti kalau perlu, bisa tanya sama kamu, kan teman sekelas ya?"
Aku tercekat sepersekian detik. Kenapa harus ke aku, kenapa gak ke Ivone, Ivanka, Jesyn atau Widia, teman deketnya?
Tante Meta menatap serius menunggu jawabanku.
"Oh... iya Tan, boleh," jawabku, berusaha terdengar tenang meski telapak tanganku mulai terasa dingin.
Dia merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan ponsel dengan casing bening, jemarinya lentik dan kuku rapi berwarna nude. Wangi parfumnya makin terasa dekat, membuat jantungku semakin tak karuan.
"Nomornya ketik aja langsung ya, Ka."
/0/17384/coverorgin.jpg?v=824555dd66945fa97551dd6fb5bd7e30&imageMogr2/format/webp)
/0/2715/coverorgin.jpg?v=a40b444bd848e0b9d36ea877786ba2fe&imageMogr2/format/webp)
/0/4037/coverorgin.jpg?v=8bfe3620bd9e16b9b38c6f948bc9a606&imageMogr2/format/webp)
/0/13622/coverorgin.jpg?v=b950d379be40cde4b342b8b00d1cb02a&imageMogr2/format/webp)
/0/12904/coverorgin.jpg?v=2589c8c89ccd7dcafbfe40a8212f700b&imageMogr2/format/webp)
/0/11004/coverorgin.jpg?v=3f487766eb55efe4faa0737a8aed7553&imageMogr2/format/webp)
/0/3925/coverorgin.jpg?v=f35beec2a693ab20cde31366697c77fa&imageMogr2/format/webp)
/0/10919/coverorgin.jpg?v=b951d35476e971d09eb6f17859596274&imageMogr2/format/webp)