/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
Mahasiswa, dengan segala keistimewaannya, didamba oleh masyarakat untuk berbuat ‘sesuatu’. Mereka terpilih lewat beberapa seleksi. Mereka telah direkrut untuk beberapa fungsi, salah satunya adalah agent of change yang berarti agen perubahan.
Seorang anak laki-laki yang tengah termenung di pelataran perpustakaan kampus juga sedang memikirkan, apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa sepertinya?
“Udah, nggak usah dipikir!” seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
Anak tersebut menoleh ke belakang. “Aku benci rapat sampai dini hari seperti ini.”
“Aku tahu,” jawabnya kemudian mengambil kartu identitasnya yang jatuh.
“Aku ngantuk banget, Am. Sedangkan nanti ada acara kementrian pas daftar ulang.”
Liam mengangguk paham. “Ayo ke kedaiku dulu. Aku bikinin kopi. Barusan dapet dari Flores.” Ia menunjukkan sebuah kantong yang bisa dipastikan berisi biji kopi.
“Itu yang Bajawa atau Manggarai?” tanyanya lagi sambil membolak-balikkan kantung tersebut yang tidak memuat keterangan apapun.
“Bajawa. Ini kan pesenanmu, Sab. Kamu nggak ingat?” tanya Liam kembali.
Sabda yang daritadi hanya melamun karena merasa capek dan kesal karena rapat semalaman menggali ingatan yang belum juga ia temukan. “Aku nggak inget.”
“Pekan lalu kamu protes kenapa latte-mu pakai kopi Java Raung. Nggak inget juga?”
Sabda menyerah. Ia benar-benar lelah. Ia tidak ingin melakukan sesuatu yang membuatnya mengeluarkan tenaga, termasuk mengingat-ingat apa yang pernah ia keluhkan. Padahal, ia sering melakukan protes terhadap banyak hal.
“Udah, ayo kamu tidur di kedaiku aja, daripada di sini. Kamu juga nggak sanggup buat pulang ke kosan kan?”
Sabda setuju. Ia mengikuti Liam dari belakang dengan mata yang berusaha untuk terbuka. Ibarat baterai ponsel, ia sudah berada di sisa lima persen untuk bertahan.
Liam membuka pintu kedainya, mengganti tulisan yang ada di pintu dari ‘Closed’ ke ‘Open’. Kedainya tidak besar, hanya seluas tiga puluh meter pesegi, dan berada di dalam gedung kantin milik kampus yang menjadi tempat studi bagi Sabda. Liam mengamati kedai-kedai di sekitarnya, beberap sudah siap beroperasi. Sebelum menyiapkan peralatan kopi untuk digunakan, Liam mampir ke kedai sebelah untuk membeli dua porsi bubur ayam.
“Bubur ayam dua ya, Ning.”
Ningning, penjual itu, menggangguk dan segera membuatkan pesanan Liam. “Satu buat Bang Sabda ta, Mas Am?” tanya Ningning yang seringkali memanggil Liam dengan Mas Am.
“Iya.”
“Kayaknya tadi malam rame banget di sekre BEM,” Kata Ningning.
“Loh, ngapain ke sana kamu, Ning?”
“Nganter cireng ke sana, Mas. Kayaknya Bang Sabda gontok-gontokan sama orang-orang di sana.”
Liam mengangguk. Seakan-akan telah memahami bagaimana situasi ketika Sabda ‘gontok-gontokan’ dengan orang- orang di sana.
“Ini mas. Udah lunas ya mas,” kata Ningning memberikan dua bungkus bubur ayam kepada Liam.
“Lunas apaan, Ning?”
“Kan kemarin saya pinjem uang ke Mas Am. Nggak inget?”
Liam masih mencari ingatan itu. “Aku lupa, Ning. Tapi makasih, ya.”
Ningning mengangguk dan tersenyum.
Liam kembali dan mendapati Sabda tertidur di balik meja kasir. Bubur ayam yang baru saja dibelinya disimpan di sebuah lemari yang tak jauh dari sana.
“Kamu habis dari mana, Am?” tanya Sabda yang masih dengan mata tertutup.
“Tidur aja kenapa sih? Bukannya nanti jam sembilan pembukaan pendaftaran maba?”
“Aku nggak sanggup. Aku ngantuk banget.”
Liam pun membuka lemarinya dan memberikan sebungkus bubur ayam kepada Sabda. “Makan dulu aja deh. Siapa tahu setelah itu nggak ngantuk.”
“Kenapa kamu buka sepagi ini, Am?”
“Kan ada acara daftar ulang? Lagian, nanti jam delapan aku harus ngirim kopi ke divisi keuangan.”
“Owalah,” kata Sabda kemudian membuka bungkusan dari Liam.
“Kata Ningning kamu debat lagi sama anak-anak?”
Sabda mengangguk.
“Aku mau nanya kenapa, tapi pasti setelah ini kamu bakalan cerita.”
Sabda tersenyum sinis. “Mereka tetap mau adakan ospek malam lagi.”
“Lagi?”
“Bukannya beberapa jurusan udah nggak mau adakan ospek malam lagi?” Liam penasaran, sampai-sampai ia menghentikan pekerjaannya.
“Sini lah, makan sama aku. Aku ceritain kronologinya.”
Liam menurut. Ia pun membuka bungkusan satu lagi dan mengambil di sebelah Sabda.
/0/2460/coverorgin.jpg?v=52dd44b60fbd8af311d06739be569b2a&imageMogr2/format/webp)
/0/3148/coverorgin.jpg?v=a2e8d2ef8961402782335adc7360b364&imageMogr2/format/webp)
/0/2248/coverorgin.jpg?v=677044fd727291e12299116c6752a84c&imageMogr2/format/webp)
/0/2357/coverorgin.jpg?v=07a6c2a83773b0625fa993f34d9ff591&imageMogr2/format/webp)
/0/3998/coverorgin.jpg?v=ba292f821d9ca82bf51acc32eaede741&imageMogr2/format/webp)
/0/4909/coverorgin.jpg?v=89567a750593cb2dbd6f51836bf15fae&imageMogr2/format/webp)
/0/13690/coverorgin.jpg?v=34d407bff7def1b62c3b6d9da1a2d824&imageMogr2/format/webp)
/0/10518/coverorgin.jpg?v=8ff38c6e7cbca3345dd52772a7e0e1aa&imageMogr2/format/webp)
/0/17738/coverorgin.jpg?v=94abbd137374562cd68cb4d231d746e6&imageMogr2/format/webp)
/0/18344/coverorgin.jpg?v=f026519a1074730498f1b908c513f6b1&imageMogr2/format/webp)
/0/16993/coverorgin.jpg?v=8f6691abba9009e4c672ce3ff44120fb&imageMogr2/format/webp)
/0/19320/coverorgin.jpg?v=f7760b193126c15b01909383c73fff86&imageMogr2/format/webp)
/0/4130/coverorgin.jpg?v=08e0ea24a3929e076e664ac257a3f876&imageMogr2/format/webp)
/0/24869/coverorgin.jpg?v=a7408a3a8e3b3ce5f754a4790abf2604&imageMogr2/format/webp)
/0/24873/coverorgin.jpg?v=3bb5d9f52074eb9898689abd6ad7c196&imageMogr2/format/webp)
/0/24588/coverorgin.jpg?v=17bdfa7675bf7b2c62e9c9a8d41ef219&imageMogr2/format/webp)
/0/28438/coverorgin.jpg?v=81cfddf254a092624bf7b50b0e32223e&imageMogr2/format/webp)