Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Di sebuah hotel bintang lima, dua orang pemuda berwajah bak pinang dibelah dua, tengah mengadakan lunch meeting yang ditemani beberapa orang berpakaian hitam. Banyak pebisnis yang hadir di sana dengan pakaian formal melekat di tubuh mereka.
“Bagaimana pendapat Anda, Tuan Gama dan Tuan Gema?” tanya seorang pria setengah baya, setelah sekretarisnya selesai memaparkan isi dari sebuah kontrak kerja sama yang ditawarkannya.
“Terima kasih, Tuan Pradipta. Saya pribadi cukup puas dengan pemaparannya,” sahut Gema sembari memainkan bolpoin di tangannya.
“Ya. Apa yang dikatakan adikku memang benar, tetapi saya sama sekali belum bisa memutuskan apa pun untuk saat ini. Jika Anda masih berkenan melakukan kerja sama, Anda bisa langsung datang ke kantor kami setelah tiga hari pertemuan kita. Sebelumnya, saya memohon maaf, Tuan Pradipta.” Gama beranjak dari tempatnya, setelah menolak halus kerja sama yang diajukan oleh Pradipta—Ketua Direktur Arganata Group.
Penolakan yang ditujukan Gama Adriansyah Afchar saat itu, membuat Gema Ardiansyah Afchar kembarannya, dan Melinda sekretarisnya menjadi bingung. Namun, keduanya tetap harus menghormati keputusan sang kepala direktur tersebut.
Gama dan Gema keduanya kembali ke kantor, pasca menghadiri rapat direksi tadi. Gema sempat menawarkan sang kakak yang lahir berselisih 5 menit dengannya tersebut, untuk bersantai. Namun, Gama menolak tanpa memberi celah untuk diprotes.
“Kak, apa yang membuatmu menolak kontrak kerja sama Arganata Group?” tanya Gema saat keduanya sudah berada di dalam ruangan direktur. Entah apa yang membuat Gema, ingin sekali menerima kontrak kerja tersebut.
“Gema, kita harus teliti sebelum mengambil tindakan apa pun. Aku mendapat isu, bahwa Pradipta itu sangat licik. Kita harus cermati dulu semua taktiknya, dan lakukan verifikasi terlebih dahulu. Ada kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan bisa terjadi kapan saja, jika kita teledor mengambil tindakan,” jelas Gama, membuat kebingungan Gema dan Melinda akhirnya terpecahkan.
“Minggu depan aku ada kunjungan proyek di luar kota. Semua urusan di sini, sepenuhnya tanggungjawab mu Gema,” ujar Gama yang langsung dibalas anggukan oleh Gema.
“Baik Kak,” sahut Gema.
“Dan untukmu, jangan pernah beri kebebasan kepada mereka, sebelum kontrak kerja sama mereka ditanda tangani olehku. Kau paham, Mel?” tekan Gama kepada Melinda.
“Baik, Tuan.” Melinda menundukkan wajahnya.
“Bagus. Silakan kembali ke ruanganmu!” titah Gama.
Setelah kepergian Melinda, Gema merebahkan tubuhnya di sebuah sofa yang ada di ruangan tersebut. Pria itu rupanya merasa bosan. Terlihat jelas dari posisi tubuhnya yang terus bergerak gelisah.
“Kak, apakah kau tak ingin memiliki seorang kekasih?” tanya Gema kepada Gama yang saat itu tengah fokus berkutat dengan layar monitornya.
“Diamlah Gem! Kau mengganggu konsentrasi ku!” geram Gama.
“Huh, aku hanya bertanya, Kak.” Gema mendengus sebal.
“Dengar Gema. Kau bahkan tak memiliki kekasih. Lalu, apa faedahnya bagimu jika kau bertanya seperti itu kepadaku?” tanya Gama dengan kesal.
“Aku lebih senang sendiri Kak. Bagiku—“
“Bilang saja kau belum move on. Aku penasaran, wanita mana yang berani mempermainkan adik kembar ku ini,” potong Gama. Ungkapan pria itu berhasil membuat Gema mendengus kesal.
“Kak, jangan berbicara seperti itu. Dia gadis yang sangat manis. Seperti namanya, Li—“
“Stop Gema! Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu!” potong Gama.
“Baiklah, aku mengaku salah Pak Direktur.” Gema memilih mengakhiri perdebatannya dengan sang kakak, yang tak akan pernah mau mengalah itu.
Tiga hari berlalu, hari itu Gama tengah berada di perjalanan menuju kantornya. Pria itu agak sedikit telat, akibat terlalu nyenyak tertidur setelah melakukan perjalanan selama 2 hari dari luar kota.
“Selamat sing, Tuan,” sapa seorang resepsionis dan para karyawan ketika melihat sosok Gama Adriansyah memasuki lobi kantor.
Gama yang memiliki kepribadian arogan turunan dari sang ayah, sangat ditakuti di kalangan bisnis. Berbeda dengan Gema kembarannya, yang memiliki sikap ramah turunan dari sang ibu—Erina Manno.
Gama berjalan menuju lift khusus menuju lantai 7 di mana ruangannya berada. Saat sampai di lantai tiga, sosok Melinda sudah menunggu di depan ruangannya.
“Selamat siang Tuan. Tuan Gema dan Tuan Pradipta sudah menunggu di ruang meeting,” jelas Melinda sembari membungkukkan tubuhnya.
“Ya, baik. Aku akan segera ke sana.” Gama memasuki ruangannya. Tak cukup 5 menit, pria itu kembali keluar dari ruangannya dan segera melangkah menuju ruang meeting.
“Selamat siang Tuan Direktur,” sapa semua orang yang berada di ruang meeting saat itu, ketika melihat kedatangan Gama.