Tiba-tiba saja, sepasang mata Widya terjaga. Untuk beberapa saat dia hanya diam, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Ternyata sudah pagi.
Widya beranjak dari tempat tidurnya. Dengan cepat membuka tirai. Dalam seketika kamar menjadi terang benderang. Sepasang mata Widya silau melihat cahaya Matahari yang masuk dari celah-celah kaca jendela.
Widya langsung membereskan tempat tidur. Merapikan kamar. Untuk selanjutnya membangunkan Andi karena harus bersekolah. Juga akan membuat sarapan pagi.
Widya melangkah keluar kamar. Berjalan menuju kamar Andi. Seperti biasa pintu kamar anaknya yang kelas 1 SD itu tidak dikunci. Widya melipir ke sudut. Lalu, saat membuka tirai kamar....
"ANDI!!!" Widya bahkan tidak sadar kalau suara pekikan itu membangunkan Andi. Andi bahkan terkejut dan ia menangis. Terlebih anak tersebut melihat darah yang tumpah membasahi bantal warna putih itu.
"YA AMPUNNN!!!" Widya merasakan kecemasan yang teramat sangat. Dia mendekati anaknya. Andi bangun dari rebahnya. Dari hidung Andi keluar banyak darah. Widya melompat untuk mengambil apa saja dan dia mengelap darah itu. Widya bahkan sempat mengambil tisu untuk kembali mengelap hidung Andi.
"Kenapa jadi begini!"
"Mama..."
"Sakit nggak?"
Andi menggeleng. Namun pertanyaan Widya itu tidak bisa meredam tangis Andi. Widya cepat-cepat melangkah ke belakang. Ia lantas ke dapur. Tergopoh-gopoh Widya mengambil termos. Menumpahkan air hangat dari termos itu ke sebuah baskom. Mencampurinya dengan air dingin. Widya kembali lagi ke kamar Andi.
"Sudah, jangan nangis. Ya ampun....!!"
Widya baru saja selesai membersihkan hidung Andi yang belepotan darah. Dia lantas mengambil hp-nya. Widya menelpon sekolah Andi. Dia bicara pada seseorang di telpon dengan pikiran tak menentu.
Widya membuka lemari pakaian Andi. "Kita ke rumah sakit, Andi harus cepat ganti pakaian ya?"
Widya bergerak membuka pakaian Andi, namun terdengar bel pintu depan dan Widya terpaksa menghentikan kegiatannya sebentar. Beralih keluar kamar, dan membuka pintu depan.
Desi-pembantu rumah tangganya yang datang. Desi memang bekerja dari pukul setengah tujuh pagi hingga jam 6 sore di rumah ini.
"Des, untuk pagi ini tolong saya, ya. Jaga rumah."
Desi terheran-heran. "Ada apa memangnya Bu, ibu kelihatan buru-buru."
Belum sempat Widya menjawab, Desi sudah mengikuti langkah majikannya ke kamar Andi. Lalu, dia melihat semuanya.
"Ya ampun Bu, Andi sepertinya mimisan!"
"Tolong dulu Des, gantiin pakaiannya, ya?"
Desi menurut. Ia membuka pakaian Andi. Anak itu sudah berhenti dari tangisnya. Desi lalu mengelap tubuh Andi lalu membawa baskom kotor dan baju Andi ke belakang.
Widya lalu berganti pakaian di kamarnya, untuk kemudian masuk lagi ke kamar Andi.
"Ibu langsung mau ke rumah sakit?" tanya Desi.
"Iya, tolong jaga rumah ya, Des."
Widya tengah menelpon seseorang. Dia memesan kendaraan online. Tak lama kendaraan yang ditunggunya muncul di halaman rumah.
"Yuk, Andi. Kita ke rumah sakit, nak."
Andi mengikuti perkataan itu. Anak itu lantas mendekati ibunya.
Desi dengan cepat ke depan rumah. Dia tegak di ambang pintu.
"Saya pergi dulu ya, Des. Jangan pulang dulu jika malam saya belum kembali ke rumah."
"Ya Bu,"
Akhirnya, Desi melihat ibu dan anak itu masuk ke dalam mobil.
***
Widya mengira, pemeriksaan yang dilakukan pada anak lelakinya itu tidak memakan waktu lama. Widya kira semuanya akan membaik ketika dia sampai ke rumah sakit.
Namun semuanya berbalik. Selain harus antri. Ternyata, pemeriksaan dokter pada anaknya itu memakan waktu lama. Bahkan, sudah jam 2 siang, dan Widya belum makan.
Namun, Widya sama sekali tak mementingkan isi perutnya. Dia ingin tahu kabar dari dokter soal Andi.
Dokter keluar dari sebuah ruangan periksa.
"Bagaimana dokter?"
"Untuk sementara kondisi Andi baik-baik saja. Ibu tunggu sebentar ya, kami harus melakukan pemeriksaan intensif pada Andi. Kami janji akan melakukan penanganan yang terbaik."
Widya hanya diam. Anaknya hanya mimisan. Tapi, mengapa pemeriksaannya hingga selama ini?
Di bangku tunggu Widya resah. Dia bahkan tak tahu, apa yang dilakukan dokter dan perawat-perawat itu di dalam ruangan periksa.
Widya hanya bisa diam dan terus menunggu. Sampai ia memainkan-mainkan hp-nya.
Pria itu harus tahu. Mantan suaminya itu harus tahu tentang kondisi Andi. Salahkah jika memberi tahu Pram soal anak mereka?
Bagaimanapun Andi adalah anak Pram juga. Anak kandungnya, meski Widya dan Pram telah 4 tahun bercerai.
Widya lalu menekan nomor ponsel mantan suaminya.
Saat itu bahkan malam hari. Sudah pukul tujuh malam. Widya bosan menunggu dan tak sabar untuk memberitahukan kondisi Andi padanya.
Tiga kali terhubung, namun belum tersambung.
Widya kesal sendiri, hingga akhirnya ketika panggilan keempat kalinya, suara di seberang menyapanya....
***
Pukul 6 sore lebih sedikit. Petang sudah lewat.
/0/5411/coverorgin.jpg?v=20250121174059&imageMogr2/format/webp)
/0/3550/coverorgin.jpg?v=20250122112936&imageMogr2/format/webp)
/0/12103/coverorgin.jpg?v=8765078e1a3d6cf3629a4c0797950ed0&imageMogr2/format/webp)
/0/5813/coverorgin.jpg?v=20250121171837&imageMogr2/format/webp)
/0/10148/coverorgin.jpg?v=20250122140222&imageMogr2/format/webp)
/0/16783/coverorgin.jpg?v=20240306212803&imageMogr2/format/webp)
/0/18405/coverorgin.jpg?v=20240722153655&imageMogr2/format/webp)
/0/6257/coverorgin.jpg?v=20250120175144&imageMogr2/format/webp)
/0/12423/coverorgin.jpg?v=20250122183221&imageMogr2/format/webp)
/0/6487/coverorgin.jpg?v=20250122151242&imageMogr2/format/webp)
/0/13515/coverorgin.jpg?v=20250123145331&imageMogr2/format/webp)
/0/14508/coverorgin.jpg?v=20250123120103&imageMogr2/format/webp)
/0/24858/coverorgin.jpg?v=c94897534e15fd743836622b41256935&imageMogr2/format/webp)
/0/5037/coverorgin.jpg?v=20250121183053&imageMogr2/format/webp)
/0/12069/coverorgin.jpg?v=20250122183054&imageMogr2/format/webp)
/0/14562/coverorgin.jpg?v=20250123120138&imageMogr2/format/webp)
/0/10919/coverorgin.jpg?v=b951d35476e971d09eb6f17859596274&imageMogr2/format/webp)
/0/29601/coverorgin.jpg?v=8d41466709386b9515973ae68513f09f&imageMogr2/format/webp)