Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Jangan Main-Main Dengan Dia
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Dikejar Oleh Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
"Kamu kapan nikah?"
Pertanyaan yang paling Arunika benci saat acara kumpul keluarga seperti sekarang. Tiap orang yang mendatanginya pasti hanya akan bertanya tiga hal padanya.
"Gendutan, ya sekarang."
"Kerja di mana?"
Dan ada satu yang paling Arunika benci.
"Kamu kapan nikah?"
Menurutnya, pertanyaan seperti itu sudah terlalu basi untuk ditanyakan. Apalagi di waktu momen lebaran seperti sekarang.
Momen di mana semua orang saling meminta maaf dan saling memaafkan atas segala kesalahan. Namun justru tidak jarang, sebagian dari mereka setelah meminta maaf tanpa sadar kembali menggoreskan luka di hati orang lain.
Ibaratnya, percuma saja meminta maaf tapi ujung-ujungnya tetap menyakiti hati.
Dan setelah Arunika mendengar pertanyaan yang terlontar dari Tantenya, entah yang keberapa kali. Dirinya hanya bisa tersenyum palsu.
Ia sudah terlalu malas untuk menanggapi ataupun sekadar menjelaskan jika dirinya masih belum memiliki niat untuk menikah dalam waktu dekat.
"Cepatan nikah, Nak. Umurmu udah 25 tahun, 'kan sekarang. Masa kalah sama sepupu mu, yang 20 tahun aja udah lagi hamil," perkataan Tante Diana lagi-lagi hanya dibalas senyum tipis oleh Arunika.
Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah perempuan yang dimaksud Tantenya itu.
Seorang perempuan dengan gamis berwarna baby blue juga perut buncit itu tampak tersenyum saat beberapa Tante juga kerabat lain menghampiri dan mengelus baby bump nya.
Arunika tentu ingat betul bagaimana salah satu sepupu cantiknya itu sampai bisa menikah di usia yang begitu muda.
"Kebobolan." Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sebuah pasangan telah lebih dulu memiliki keturunan daripada ikatan pernikahan itu sendiri.
Arunika tentu masih ingat saat dirinya yang harus menemani sang sepupu ke Kantor Urusan Agama untuk mengucapkan janji sumpah pernikahan.
Arunika jadi berpikir, apa lebih memalukan saat seorang perempuan dewasa belum menikah, ketimbang seseorang yang mendapatkan 'bonus' lebih dulu?
Arunika tentu saja tidak bermaksud membandingkan. Ini hanya pemikirannya saja sudah merasa muak dengan pertanyaan seputar pernikahan.
Lagi pula, pernikahan bukanlah sebuah perlombaan yang mengharuskan untuk sampai di garis finish lebih dulu.
Semuanya bergantung dari tiap-tiap orang itu sendiri. Ada yang memang sudah siap dengan kehidupan pernikahan di usia muda, tapi ada juga yang masih ingin menikmati hidup dan belum mau untuk terikat dengan hubungan seserius pernikahan.
Bukankah pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tentu kebanyakan orang menginginkan pernikahan mereka hanya akan terlaksana sekali dalam hidupnya.
Begitu pula dengan Arunika.
Trust issue soal pernikahan, cerita pengalaman teman-temannya yang telah gagal juga melihat sendiri bagaimana kehidupan pernikahan sepupunya.
Hal itu sudah cukup membuat Arunika kembali berpikir masak-masak untuk menikah di usia muda. Ia tidak ingin menyesal saat membuat keputusan besar dalam keadaan tidak siap.
Kehidupan pernikahan miliknya adalah keputusannya, bukan orang lain.
"Ngelamun aja, kamu. Udah sungkem sama Eyang, belum?"
Sebuah tepukan halus mendarat di bahu Arunika. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita dengan hijab coklat muda tengah tersenyum ke arahnya.
"Udah, dong," jawab Arunika pendek.
"Kenapa nggak gabung di dalem, malah nongkrong sendirian di teras begini."