Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Sang Majikan
Lampu jalan raya lintas provinsi masih terang, sedangkan mata Amin mulai meredup. Sesekali ia berhenti sekedar mengucek matanya untuk membantu menghilangkan rasa kantuknya. Hari ini jadwalnya padat sekali, pagi tadi ia soan ke ndalem Kiyai Ali. Sorenya ia memohon pangestu dari guru-gurunya di pondok sekaligus mengundang mereka hadir di resepsi pernikahannya.
Malam harinya Amin bertemu dengan teman-temannya saat masih mondok. Ia juga meminta doa dan mengundang mereka. Selanjutnya reuni kecil-kecilan di warung kopi tepi jalan, seperti kebiasaan mereka saat masih mondok. Bahagia sekali rasanya saat bertemu kembali dengan teman-temannya. Akhir-akhir ini hatinya memang sedang bungah. Dua minggu lagi ia akan menikahi gadis pujaan hatinya.
Motor yang dikendarai Amin terus melaju dengan pikirannya yang masih menerawang kebahagiaan, hingga ia tidak sadar ada seorang gadis dengan celana tunik hitam dan baju toska berlari di depannya. Amin yang terkejut langsung membelokkan arah motornya, tapi kejadian itu begitu cepat.
Suara ban yang mengesot ke aspal dan suara rem dipijak beradu mengerikan.
“Aaaakkk!!!” teriak gadis itu sembari menutup matanya.
Insiden mengerikan pun terjadi. Amin terpental, motornya ambruk menabrak pembatas jalan. Ia masih belum sadar apa yang terjadi. Tapi yang pasti setang motornya mengeni seseorang. Ia berusaha bangkit, tapi bahu kirinya terasa sakit sekali.
“To... long...” rintih gadis itu.
“Di...”
“Dio,” rintihnya lagi.
Amin yang mendengar rintihan gadis itu sekuat tenaga bangun. Ia menyeret kaki kirinya yang berdarah.
“Astaghfirullah...” memerah wajah Amin melihat kondisi gadis itu. Sikunya berdarah, lututnya berdarah, pelipisnya juga berdarah.
Amin melihat kanan-kiri. Tidak ada orang. Memang jam menunjukkan pukul dua. Jarang ada kendaran yang lewat. Sejurus kemudian ia melihat ada mobil yang lewat dari kejauhan. Belum sempat ia menyentuh gadis itu, Amin langsung menggunakan jaketnya untuk menghentikan mobil yang mulai mendekat ke arahnya. Ia berdiri di tengah jalan.
Mobil sedan itu kemudian berhenti. Dengan raut wajah marah, pengemudinya turun.
“Mas? Mau mati ya?”
“Pak, saya boleh minta tolong membawa gadis itu ke rumah sakit? Saya bayar berapa saja, Pak.”
Sejurus kemudian laki-laki yang memakai levis pendek itu menoleh ke arah samping Amin.
“Sik, Mas. Sepertinya saya kenal,” laki-laki itu kemudian memastikan. “Astaghfirullah... Reva! Mas ayo angkat,” pintanya.
“Ya Allah... kok bisa ini gimana to, Maas?” tanya laki-laki paruh baya itu dengan panik. Ia kemudian membukakan mobilnya.
“Saya juga tidak tahu, Pak. Tapi saya akan bertanggung jawab, Pak,” jawab Amin yang tak kalah panik.
Laki-laki itu tidak menjawab, ia fokus ke depan untuk mencari rumah sakit terdekat.
***
Setibanya di rumah sakit, perawat bergegas membawa gadis itu ke ruang ICU. Amin dan laki-laki itu ikut mendorong sampai ke depan ruangan. Ia panik, memikirkan bagaimana kondisi gadis yang ia tabrak itu. Bagaimana kalau terjadi apa-apa? Astaghfirullah... Amin meremas rambutnya, pikirannya gundah, wajahnya pucat, matanya memerah. Ia kemudian mendatangi laki-laki yang tadi membawa mereka ke rumah sakit.
“Tenang, Kang. Orangnya yang menabrak Reva mau bertanggung jawab,” kata laki-laki itu.
Dada Amin berdetak kencang. Sepertinya bapak itu kenal dengan gadis yang ia tabrak tadi. Tapi tetap saja ia tidak bisa membayangkan kemungkinan terburuknya. Ia hanya memperbanyak sholawat.
Sayup-sayup ia mendengar percakapan telpon laki-laki itu.
“Kang Dul tenang dulu, di sini sudah ada saya, Kang. Besok pagi saja ke sininya kalau memang tidak tegel. Insya Allah Reva sudah ditangani dengan baik.