Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
62
Penayangan
5
Bab

Amin adalah seorang santri yang harus merelakan Ning Andini, wanita yang begitu ia cintai karena harus menikah dengan Revalina Putri. Ia harus bertanggung jawab karena membuat gadis itu lumpuh. Setelah menikah, ia juga harus rela menerima kabar duka ketika di hari pertama pernikahannya, istrinya justru mengaku bahwa dirinya sedang hamil. Bahkan sebelum Amin menyentuhnya. Tidak hanya itu, Dio, mantan pacar istrinya juga membuat pernikahannya semakin keruh setelah mengirim foto mesranya bersama Reva di hotel.

Bab 1 Kecelakaan

Lampu jalan raya lintas provinsi masih terang, sedangkan mata Amin mulai meredup. Sesekali ia berhenti sekedar mengucek matanya untuk membantu menghilangkan rasa kantuknya. Hari ini jadwalnya padat sekali, pagi tadi ia soan ke ndalem Kiyai Ali. Sorenya ia memohon pangestu dari guru-gurunya di pondok sekaligus mengundang mereka hadir di resepsi pernikahannya.

Malam harinya Amin bertemu dengan teman-temannya saat masih mondok. Ia juga meminta doa dan mengundang mereka. Selanjutnya reuni kecil-kecilan di warung kopi tepi jalan, seperti kebiasaan mereka saat masih mondok. Bahagia sekali rasanya saat bertemu kembali dengan teman-temannya. Akhir-akhir ini hatinya memang sedang bungah. Dua minggu lagi ia akan menikahi gadis pujaan hatinya.

Motor yang dikendarai Amin terus melaju dengan pikirannya yang masih menerawang kebahagiaan, hingga ia tidak sadar ada seorang gadis dengan celana tunik hitam dan baju toska berlari di depannya. Amin yang terkejut langsung membelokkan arah motornya, tapi kejadian itu begitu cepat.

Suara ban yang mengesot ke aspal dan suara rem dipijak beradu mengerikan.

"Aaaakkk!!!" teriak gadis itu sembari menutup matanya.

Insiden mengerikan pun terjadi. Amin terpental, motornya ambruk menabrak pembatas jalan. Ia masih belum sadar apa yang terjadi. Tapi yang pasti setang motornya mengeni seseorang. Ia berusaha bangkit, tapi bahu kirinya terasa sakit sekali.

"To... long..." rintih gadis itu.

"Di..."

"Dio," rintihnya lagi.

Amin yang mendengar rintihan gadis itu sekuat tenaga bangun. Ia menyeret kaki kirinya yang berdarah.

"Astaghfirullah..." memerah wajah Amin melihat kondisi gadis itu. Sikunya berdarah, lututnya berdarah, pelipisnya juga berdarah.

Amin melihat kanan-kiri. Tidak ada orang. Memang jam menunjukkan pukul dua. Jarang ada kendaran yang lewat. Sejurus kemudian ia melihat ada mobil yang lewat dari kejauhan. Belum sempat ia menyentuh gadis itu, Amin langsung menggunakan jaketnya untuk menghentikan mobil yang mulai mendekat ke arahnya. Ia berdiri di tengah jalan.

Mobil sedan itu kemudian berhenti. Dengan raut wajah marah, pengemudinya turun.

"Mas? Mau mati ya?"

"Pak, saya boleh minta tolong membawa gadis itu ke rumah sakit? Saya bayar berapa saja, Pak."

Sejurus kemudian laki-laki yang memakai levis pendek itu menoleh ke arah samping Amin.

"Sik, Mas. Sepertinya saya kenal," laki-laki itu kemudian memastikan. "Astaghfirullah... Reva! Mas ayo angkat," pintanya.

"Ya Allah... kok bisa ini gimana to, Maas?" tanya laki-laki paruh baya itu dengan panik. Ia kemudian membukakan mobilnya.

"Saya juga tidak tahu, Pak. Tapi saya akan bertanggung jawab, Pak," jawab Amin yang tak kalah panik.

Laki-laki itu tidak menjawab, ia fokus ke depan untuk mencari rumah sakit terdekat.

***

Setibanya di rumah sakit, perawat bergegas membawa gadis itu ke ruang ICU. Amin dan laki-laki itu ikut mendorong sampai ke depan ruangan. Ia panik, memikirkan bagaimana kondisi gadis yang ia tabrak itu. Bagaimana kalau terjadi apa-apa? Astaghfirullah... Amin meremas rambutnya, pikirannya gundah, wajahnya pucat, matanya memerah. Ia kemudian mendatangi laki-laki yang tadi membawa mereka ke rumah sakit.

"Tenang, Kang. Orangnya yang menabrak Reva mau bertanggung jawab," kata laki-laki itu.

Dada Amin berdetak kencang. Sepertinya bapak itu kenal dengan gadis yang ia tabrak tadi. Tapi tetap saja ia tidak bisa membayangkan kemungkinan terburuknya. Ia hanya memperbanyak sholawat.

Sayup-sayup ia mendengar percakapan telpon laki-laki itu.

"Kang Dul tenang dulu, di sini sudah ada saya, Kang. Besok pagi saja ke sininya kalau memang tidak tegel. Insya Allah Reva sudah ditangani dengan baik.

"Ya sudah, hati-hati, Kang."

Setelah menelpon, laki-laki itu kemudian berbalik arah, ia sedikit terkejut melihat Amin yang berdiri di belakangnya. Ia melihat datar, tapi tetap bisa tenang.

"Bapak kenal dengan Mbaknya?"

"Ya, saya kenal. Dia keponakan saya," ujarnya sembari menyilangkan kedua lengannya untuk menahan hawa dingin rumah sakit.

Laki-laki itu kemudian duduk di kursi tunggu, diikuti Amin yang duduk di sebelahnya. Seorang perawat dengan langkah cepat kembali masuk ke ruang ICU dengan seorang dokter muda. Mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Amin teringat dengan rencana pernikahannya dua minggu lagi. Tapi justru ia terkena musibah hari ini.

"Alhamdulillah kalau begitu, Pak. Saya akan bertanggung jawab dengan pengobatan Mbak Reva, Pak," ucap Amin.

"Ya, masalah biaya tidak usah dipikirkan dulu, Mas. Yang terpenting kesehatan keponakan saya," ujar laki-laki berkaos hitam itu. Ia memilih tenang daripada marah-marah dengan pemuda di depannya itu. Tidak ada satu orang pun yang menginginkan musibah menimpanya. "Kejadiannya bagaimana tadi, kok bisa jam segini sampean di jalan?"

"Saya dari Jombang mau pulang ke Magelang, Pak. Saat kejadian, tiba-tiba Mbaknya lari melintas di depan saya. Saya yang kaget langsung menginjak rem dan membelokkan arah motor ke kiri. Karena begitu dekat dengan mbaknya dan begitu cepat kejadiannya. Mbaknya tersenggol setang kanan saya, Pak," jawab Amin.

Laki-laki itu hanya diam. Dia mencoba mencerna keterangan Amin. Ia hanya berdehem sembari mengatur napasnya. Sepertinya pemuda itu jujur kepadanya.

"Hmmm ya sudah kalau gitu, Mas. Namanya juga musibah, tidak ada yang menginginkan musibah sama sekali. Kita sama-sama berdoa semoga Reva tidak apa-apa."

"Aamiin, semoga, Pak. Saya Amin, Pak," Amin mengulurkan tangannya. Laki-laki di depannya itu menyambut dengan senyum sekenanya.

"Saya Jalal, Mas," ia menoleh ke arah Amin. "Astaghfirullah, Mas. Tangan sampean berdarah. Kaki sampean juga. Sebaiknya lukanya diobati dulu," pinta Jalal. Ia kemudian memanggil seorang perawat yang baru saja keluar dari ruangan untuk membantu merawat luka Amin.

Sejurus kemudian, dengan jalan sedikit tertatih Amin mengikuti seorang perawat menuju ruang rawat. Beberapa saat kemudian dokter yang menangani Reva keluar.

"Bapak keluarga pasien?"

"Iya, Pak. Saya pamannya. Bagaimana kondisi keponakan saya, Pak?"

"Alhamdulillah, keponakan bapak tidak apa-apa. Dia sudah siuman. Kandungannya juga tidak apa-apa, Pak. Hanya..."

"Apa? Hamil, Dok?" belum sempat dokter muda itu meneruskan sudah disahut Jalal. Keningnya mengerenyit. Reva hamil? Astaghfirullah... ia menggeleng.

"Iya, pasien memang sudah hamil. Tapi tenang, Pak. Janinnya tidak apa-apa. Hanya saja kami mengkhawatirkan kakinya karena setelah kami cek ada benturan di tulang ekornya. Kami khawatir syarafnya akan terganggu."

Jalal mencoba tenang mendengar penjelasan dokter, meskipun wajahnya tidak bisa menutupi keterkejutannya mendengar Reva hamil. Tapi itu akan ia bicarakan dengan Abdul Muiz, ayah Reva nanti. Ada yang lebih penting lagi, kesehatan Reva lebih utama.

"Apa kemungkinan terburuknya, Dok?"

"Kemungkinan terburuknya pasien bisa lumpuh."

"Baik, lakukan yang terbaik untuk keponakan saya, Dok," pinta Jalal.

"Pasti, Pak. Kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien."

"Terima kasih, Dok."

Dokter itu kemudian berlalu pergi. Jalal kemudian melihat kondisi keponakannya yang sudah siuman. Reva terbaring lemah di kasur rumah sakit dengan hidung yang tersambung selang oksigen. Matanya sendu mengeluarkan air mata.

"Dio..." rintih Reva lirih.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku