Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
“Dik, memangnya enggak bisa kalau rumah sehari saja enggak berantakan?” Rasanya kepalaku ingin pecah setiap kali pulang ke rumah. Selalu saja disuguhkan pemandangan seisi rumah yang porak-poranda seperti diterjang angin puting beliung. Mainan gelas plastik semuanya tercecer di lantai. Darahku pun rasanya ikut naik ke kepala. Lagi-lagi harus menahan emosi mati-matian agar tidak sampai meledak. Mengingat anak-anakku yang pasti akan ikut menangis kalau sampai itu terjadi.
Bukannya menyelesaikan masalah malah kepalaku bertambah pening mendengar tangisan mereka yang tidak pernah usai hingga larut malam.
“Maaf nanti adik bereskan ya, mau makan Bang?” tawar Nisa, istriku.
“Maulah pakai tanya!” sungutku kesal. Hari ini rasanya kesabaranku telah habis melihat penampilannya yang acak-acakan di tambah bau pesing yang menyeruak masuk ke indra penciuman, membuatku tidak lagi bisa menahan emosi yang terlanjur naik.
“Astaghfirrullah Bang,” lirih Nisa pelan. Namun, masih sampai ke pendengaran. Dia menatap nanar, tetapi aku mengabaikannya begitu saja memilih meneruskan langkah menuju sofa empuk di ruang tamu kami. Kulemparkan tas kerjaku dengan kasar ke meja hingga menimbulkan bunyi cukup keras. Nisa tampak mengusap dadanya perlahan. Ketika pandangan kami bertemu dia paksakan bibirnya untuk tersenyum menyambutku sedang aku hanya tersenyum kecut ke arahnya. Sampai aku menyadari raut mukanya tiba-tiba berubah sendu, ada kesedihan di sana. Mungkin selama ini aku terlalu memanjakannya sehingga baru sedikit membentak, dia bisa terlihat begitu menyedihkan. Rasanya muak. Istriku yang dulu menarik hati kenapa sekarang begitu membuatku kesal hingga tidak betah lama-lama di rumah?
Kuhempaskan bobot tubuh di kursi, meraup wajahku dengan kasar, mencoba menstabilkan amarah yang mulai memuncak. Aku bosan. Rumah tangga yang kujalani selama 15 tahun terakhir ini kenapa rasanya hampa? Tidak ada lagi gairah. Tidak pernah kurasakan lagi sesuatu yang berdenyut di dalam hati. Apa lagi sejak Nisa melahirkan Khalid dia tidak pernah mau kusentuh selalu saja beralasan belum siap padahal masa nifasnya pun sudah selesai. Pernah kupaksakan meminta hakku, yang terjadi dia malah merintih di bibir ranjang, seolah aku ini orang asing yang berusaha menjamah tubuhnya, padahal aku belum menyentuhnya sama sekali. Tidak sampai hati aku melakukannya melihat Nisa yang ketakutan hingga wajahnya memucat membuat hasratku lenyap seketika.
“Mas ayo makan!” Suara Nisa kembali terdengar seolah menarikku kembali pada kenyataan.
“Ya sudah siapkanlah sana!” sungutku kasar. Tidak ada jawaban hanya rautnya yang berubah sendu.
“Itu makanannya sudah di meja.” Benarkah? Gegas kulirik meja di depanku. Benar, di situ ada piring lengkap dengan lauk pauknya. Nisa masih saja berdiri mematung di tempatnya, membuatku kesal saja.
“Ya sudah sana, beresin mainannya!” Nisa sedikit tersentak mungkin karena nada bicaraku yang mulai meninggi. Hingga anak-anak yang sedari tadi berteriak berebut mainan pun mendadak diam. Pandangan mereka kini beralih padaku. Melihat ekspresi mereka yang ketakutan. Kupaksakan tersenyum pada Reina dan Raina meskipun jengkel di hatiku terus menjalar.
“Mamah!” teriak anak-anak. Mereka menjerit sembari berlarian ke sana ke mari. Sayangnya karena mainan yang berserakan di lantai akhirnya membuat Kembar terjatuh. Nisa berlari membangunkan dua balita yang menangis kencang. Dua-duanya meminta untuk digendong. Bobot mereka yang lumayan berat tentu saja membuat Nisa kewalahan. Kutinggalkan piring makan yang tentu belum sempat tersentuh sama sekali. Kuangkat Reina ke dalam gendongan, tangisnya mulai mereda perlahan begitu pun dengan Raina. Mereka kembali melanjutkan aktivitasnya bermain. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tetapi mereka belum juga lelah padahal aku yakin Kembar telah bermain sejak pagi.
“Apa sih yang kamu lakukan seharian? Sudah ada asisten rumah tangga pun rumah masih saja berantakan."
“Khalid lagi rewel.”
“Ah Khalid terus yang kamu pikirkan. Ya sudah sana bereskan! Jangan sampai anak-anakmu yang lain enggak terurus cuma gara-gara Khalid.”
“Astaghfirrullah, dia juga anak kita. Wajar kalau perhatianku lebih banyak ke Khalid. Dia masih bayi.”
“Ya sudah terserah!” Aku bergegas pergi ke lantai atas ingin segera membaringkan tubuh yang dari tadi sudah berteriak minta diistirahatkan. Mengabaikan Nisa dan anak-anak yang masih sibuk dengan mainannya.
~
Keesokan harinya aku pergi ke kantor seperti biasa. kebetulan sepulang kerja ada acara makan-makan. Salah satu staf ada yang baru diangkat karyawan karenanya kami semua di traktir Cafe Lavanda. Jaraknya tidak jauh dari rumahku jadi sekalian saja aku ikut serta. Sebenarnya aku tidak terbiasa pergi ke acara seperti ini. Bagiku hanya buang-buang waktu tetapi tidak ada salahnya juga kalau kucoba kali ini. Dari pada pulang ke rumah yang hanya membuatku naik darah.
“Eh liat Si Santi anak magang yang baru, cantik ya?” Fredi memulai percakapan di antara kami.
“Lumayan, mau enggak ya jadi bini ke dua.” Haris ikut menimpali sembari terkekeh kecil.
Santi, memang cantik tetapi dia terlalu muda bukan seleraku juga. Aku hanya diam menyaksikan rekan kerjaku yang beradu argumen.
“Gila, mana mau sama aki-aki bau tanah." timpal Fredi.
“Walaupun begini gue masih bugar. Kalau dilihat-lihat Santi enggak alim-alim amat. Gue sering lihat kalau lagi digoda sama Haikal, langsung salah tingkah," ujar Haris.