Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Beberapa perabot rumah tangga nampak tergeletak sembarangan di depan pelataran sebuah rumah.
Sepasang suami istri tengah berlutut sambil memohon dan menangis pada seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai seorang rentenir yang akan menyita rumah mereka sebagai pembayaran hutang beserta bunga.
“Ku mohon, Tuan. Jangan ambil rumah kami, hanya ini harta kami satu-satunya,” ucap sang istri dengan dua tangannya yang terkatup di depan dada memohon.
Sang rentenir hanya mendecih, ia menghisap sebatang rokok yang sejak tadi ada di mulutnya sebelum kemudian menghembuskan asapnya dengan perlahan.
“Jika kau tidak ingin aku menyita rumahmu, maka lunasi dulu hutangmu. Dasar sialan,” maki sang rentenir dengan nada sinis.
Sang kepala keluarga maju, ia memegang kaki sang rentenir dan kembali memohon dengan masih berlinang air mata.
“Kami akan melunasinya secepatnya, kami janji. Tapi tolong berikan kami waktu,” ujarnya memohon.
Kekehan kecil terdengar dari sela bibir si pria paruh baya. Wajahnya yang mulai berkerut nampak memicingkan mata saat netra nya tidak sengaja bersitatap dengan dua anak gadis sang kepala keluarga yang berdiri tidak jauh dari mereka.
“Aku bisa saja memberikan kalian waktu,” ucapnya terjeda.
Sekali lagi ia menarik dalam-dalam sebatang rokok sebelum kemudian menghembuskan asap dan merunduk. Mengatakan sesuatu kepada sang kepala keluarga dengan seringai yang masih nampak jelas di wajah tuanya.
Setelah mendengar apa yang dibisikkan oleh sang rentenir, sang kepala keluarga membelalakkan matanya lebar. Ia menoleh ke arah dua putrinya yang tengah ketakutan dengan wajah yang sulit untuk dijelaskan.
“Kau bisa mempertimbangkannya sekarang. Semua pilihan ada ditanganmu,” ucap sang rentenir.
Sang kepala keluarga menunduk, ia mengabaikan sang istri yang sejak tadi memanggilnya untuk bertanya apa yang sudah dikatakan oleh sang rentenir.
“Apa tidak ada cara lain, Tuan? Saya berjanji akan melunasinya dengan segera. Anda bisa meminta jaminan apa saja selain putri kami,” ucap sang kepala keluarga lagi-lagi memohon.
Raut terkejut jelas terlihat di wajah semua anggota keluarga. Terlebih dua puteri mereka yang masih saja nampak ketakutan.
“Semua pilihan dan keputusan ada di tanganmu. Aku akan memberimu waktu 3 hari, kau bisa melunasi hutangmu atau menjadikan salah satu Puteri mu sebagai jaminan,” kata sang rentenir final.
Pria paruh baya itu kemudian meninggalkan rumah tersebut bersama beberapa anak buahnya setelah sebelumnya memberikan senyum nakal yang sebenarnya nampak begitu menjijikan.
***
Suasana ruang tamu saat itu begitu hening. Empat orang yang ada di sana hanya saling terdiam dengan pemikiran mereka masing-masing.
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya sang istri dengan wajah bingung juga khawatir.
Tidak ada jawaban yang terdengar, sampai kemudian sebuah kursi tertarik diiringi dengan teriakan yang cukup keras dari salah satu puteri mereka.
“Aku tidak mau menjadi jaminan. Aku tidak mau menjadi jaminan untuk kakek tua itu!” seru seorang gadis dengan tubuh ramping.
Sementara seorang gadis lainnya hanya diam, ia yang semula melihat ke arah saudara perempuannya kemudian menunduk dan berujar.
“Aku juga tidak mau!” ucapnya pelan namun penuh penekanan.
Sang kepala keluarga terdengar menghela napas. Ia mengusap wajahnya sendiri juga memijat keningnya yang terasa berdenyut bukan main.
“Kami juga tidak mau menjadikan kalian sebagai jaminan. Tapi apa yang bisa kami lakukan untuk melunasi hutang pada Tuan Hendra?!” ujar sang kepala keluarga dengan nada frustasi.