/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
Langkah kaki Nayara Elvard terdengar mantap ketika ia keluar dari ruang pameran di pusat kota Jakarta. Sorot matanya yang tajam dan percaya diri masih menyisakan kilau kemenangan. Hari ini, ia baru saja menutup kontrak besar sebagai desainer interior dengan salah satu perusahaan properti ternama. Usianya memang masih muda-baru menginjak dua puluh empat tahun-namun bakat dan kerja kerasnya sudah membuat namanya mulai dikenal di kalangan elit bisnis.
"Nayara, kau benar-benar membuatku bangga," ujar Sinta, asistennya, sambil merapikan map presentasi. "Klien tadi bahkan kelihatan terpesona dengan konsep desainmu."
Nayara tersenyum kecil. "Bukan cuma terpesona, Sin. Mereka terjebak. Kalau mereka menolak, mereka akan kehilangan kesempatan untuk berbeda. Dan aku tahu persis, di dunia bisnis, semua orang takut terlihat biasa-biasa saja."
Ia berjalan anggun menuju mobilnya. Gaun formal berwarna krem lembut yang dikenakannya membuat dirinya tampak profesional sekaligus berkelas. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai, sedikit bergelombang di ujung, memberi kesan natural namun tetap menawan.
Namun, di balik kepercayaan diri itu, ada sesuatu yang tak diketahui banyak orang. Nayara menyembunyikan kegelisahan yang selama beberapa bulan terakhir semakin mendesak.
Teleponnya bergetar di dalam tas. Nama yang muncul di layar membuat senyumnya seketika pudar. "Papa."
Ia menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Halo, Pa..." suaranya berusaha tenang.
"Nayara, kau di mana sekarang?" suara berat itu terdengar tegas, tapi juga penuh tekanan.
"Baru selesai presentasi. Ada apa, Pa?"
"Kau pulang sekarang. Kita harus bicara serius. Ada sesuatu yang... tidak bisa ditunda lagi."
Nada ayahnya, Damar Elvard, membuat dada Nayara mengeras. Ia sudah bisa menebak. Masalah ini, yang selama beberapa bulan terakhir coba ia abaikan, kini benar-benar dihadapkan padanya.
Sore itu, di ruang kerja rumah keluarga Elvard, Nayara duduk berhadapan dengan ayahnya. Damar Elvard, seorang pengusaha besar yang sempat berjaya di bidang tekstil, kini tampak menua dengan wajah yang sarat kekhawatiran.
"Apa benar kabar yang kudengar, Pa?" Nayara memecah keheningan. "Perusahaan kita hampir bangkrut?"
Damar menghela napas berat. "Bukan hampir lagi, Nay. Kita... sudah di ambang. Kalau tak ada suntikan dana, dalam tiga bulan ke depan, semua yang kubangun bisa hancur."
Nayara terdiam, jemarinya meremas gaun yang ia kenakan. Ia tahu kondisi keuangan keluarga tidak sebaik dulu, tapi ia tak menyangka separah ini.
"Aku sudah mencoba segala cara," lanjut Damar. "Pinjaman, investor, menjual sebagian aset... tapi tidak cukup. Dan... ada satu-satunya jalan keluar."
Tatapan Nayara langsung menegang. Ia tahu, ayahnya sedang menuju ke arah yang tidak ia sukai.
"Arshen Daveraux." Nama itu akhirnya keluar dari mulut sang ayah.
Dada Nayara berdegup kencang. Tentu ia tahu siapa pria itu. Semua orang tahu. Seorang CEO muda berusia 29 tahun, pemilik Daveraux Corp yang menguasai berbagai sektor bisnis, mulai dari properti, teknologi, hingga media. Pria itu terkenal dingin, penuh perhitungan, dan nyaris mustahil didekati.
"Pa..." suara Nayara bergetar. "Jangan bilang..."
Damar menunduk, suaranya berat. "Ia menawarkan bantuan. Tapi dengan syarat... kau harus menikah dengannya."
Nayara membeku. Kata-kata itu menusuk telinganya seperti pisau tajam.
"Kontrak pernikahan," tambah Damar. "Hanya formalitas, katanya. Tapi dengan itu, perusahaan kita selamat."
Malam itu, Nayara tak bisa tidur. Ia duduk di depan cermin besar di kamarnya, menatap pantulan wajahnya sendiri.
"Menikah kontrak? Dengan pria yang bahkan tak aku kenal dekat?" gumamnya lirih.
Ia tahu Arshen Daveraux hanya dari berita, wawancara, dan gosip media. Pria itu digambarkan sebagai sosok tanpa hati, lebih memilih angka dan strategi ketimbang hubungan manusia. Beberapa kali ia terlihat bersama perempuan cantik, tapi tak pernah bertahan lama. Baginya, hubungan hanyalah transaksi.
"Lalu aku?" Nayara mendengus kecil. "Aku akan jadi apa di matanya? Sebuah kesepakatan bisnis?"
Pikirannya berputar. Ia memang berambisi, ia memang suka tantangan, tapi ini... terlalu jauh. Namun, di sisi lain, ia tak sanggup melihat ayahnya kehilangan segalanya. Perusahaan itu adalah hidup ayahnya.
Keesokan harinya, Nayara menghadiri pertemuan dengan Arshen Daveraux. Pertemuan itu berlangsung di sebuah restoran mewah, ruangan VIP tertutup.
Saat ia masuk, sosok pria itu sudah duduk menunggunya. Arshen memakai setelan jas hitam rapi, dasi abu-abu, dan jam tangan mewah yang menegaskan statusnya. Wajahnya tampan, garis rahangnya tegas, sorot matanya tajam-namun juga dingin, seolah tak pernah mengenal senyum.
"Nayara Elvard," ucapnya datar ketika ia berdiri menyambut. "Silakan duduk."
Nayara menarik kursi dan duduk, berusaha menahan kegugupan.
"Jadi, kau sudah tahu tujuannya," kata Arshen langsung, tanpa basa-basi. "Aku bisa menyelamatkan perusahaan keluargamu. Dengan satu syarat: kau menikah denganku. Kontrak, jangka waktu tiga tahun. Setelah itu, bebas."
Nada bicaranya seakan sedang menawarkan kerja sama bisnis, bukan pernikahan.
Nayara menatapnya dalam, mencoba membaca sosok di hadapannya. "Kenapa aku?" tanyanya akhirnya.
Alis Arshen terangkat sedikit, tapi ekspresinya tetap dingin. "Karena kau cukup menarik untuk dijadikan istri di mata publik, namun tidak cukup penting untuk mengganggu urusanku."
Ucapan itu membuat hati Nayara perih, tapi ia tak menunjukkan kelemahannya.
"Kalau aku menolak?" Nayara menguji.
Arshen bersandar di kursi, menatapnya tajam. "Maka perusahaan keluargamu akan runtuh. Dan aku tidak akan mengulurkan tangan lagi."
Hening. Hanya suara jam dinding yang terdengar.
Nayara meremas tangannya di bawah meja. Ia benci merasa terpojok. Namun pada saat yang sama, ia tahu inilah satu-satunya cara menyelamatkan ayahnya.
Ia menarik napas panjang, lalu menatap lurus ke mata Arshen.
"Baiklah," katanya tegas. "Aku terima."
Sudut bibir Arshen sedikit terangkat, tapi bukan senyum hangat-lebih seperti senyum kemenangan. "Bagus. Mulai sekarang, kita terikat kontrak. Jangan pernah berpikir ini lebih dari sekadar kesepakatan, Nayara."
Beberapa hari kemudian, pesta pernikahan sederhana tapi mewah digelar. Media meliput, publik bersorak, dan rumor beredar cepat. Banyak yang terkejut-seorang desainer muda menikah dengan CEO muda paling berkuasa? Itu terdengar seperti kisah dongeng, tapi Nayara tahu betul, kenyataannya jauh berbeda.
Di altar, ketika janji pernikahan diucapkan, Arshen hanya memandanginya sekilas, matanya dingin tanpa emosi.
Sementara itu, Nayara berusaha tersenyum. Dalam hatinya ia berbisik, Kalau ini permainanmu, Arshen... aku akan ikut bermain. Tapi jangan salah. Aku tidak akan sekadar jadi boneka kontrakmu.
Ia menoleh sebentar pada pria itu, tatapannya penuh tekad.
Aku akan membuatmu jatuh. Entah kau suka atau tidak.
Hari pertama setelah pesta pernikahan, vila mewah di kawasan elit Menteng yang kini resmi menjadi rumah mereka terasa begitu asing bagi Nayara. Bangunan tiga lantai dengan arsitektur modern minimalis itu memang memukau siapa pun yang melihat, tapi bagi Nayara, ia merasa seperti baru saja dipenjara dalam dinding kaca yang berkilau.
Ia melangkah pelan di ruang tengah yang luas, memandangi interior mahal yang ditata rapi. Tidak ada sentuhan hangat di ruangan itu, seolah semuanya hanya pamer kekayaan tanpa jiwa.
"Rumah atau museum?" gumam Nayara lirih.
Suara langkah terdengar dari tangga. Arshen Daveraux muncul dengan kemeja putih lengan panjang dan celana hitam, sederhana tapi aura wibawanya tetap kuat. Rambutnya ditata rapi, wajahnya segar, seakan pesta pernikahan semalam sama sekali tidak melelahkan.
Ia menatap Nayara sekilas. "Kau masih di sini? Kupikir kau akan berangkat ke kantormu lebih awal."
Nada suaranya datar, seperti berbicara pada rekan kerja, bukan istri.
Nayara mengangkat alis. "Kau bahkan tidak bertanya apakah aku tidur nyenyak semalam."
/0/28410/coverorgin.jpg?v=20251019182534&imageMogr2/format/webp)
/0/16738/coverorgin.jpg?v=20240705090033&imageMogr2/format/webp)
/0/27225/coverorgin.jpg?v=20251019182523&imageMogr2/format/webp)
/0/17755/coverorgin.jpg?v=20240419170202&imageMogr2/format/webp)
/0/14657/coverorgin.jpg?v=20250123120231&imageMogr2/format/webp)
/0/21638/coverorgin.jpg?v=20250801213806&imageMogr2/format/webp)
/0/27691/coverorgin.jpg?v=20251106165644&imageMogr2/format/webp)
/0/27132/coverorgin.jpg?v=20251106164945&imageMogr2/format/webp)
/0/27200/coverorgin.jpg?v=b250a528e180dbffa54c6e5df87dedc1&imageMogr2/format/webp)
/0/28429/coverorgin.jpg?v=20251011183524&imageMogr2/format/webp)
/0/16943/coverorgin.jpg?v=20240521162435&imageMogr2/format/webp)
/0/23532/coverorgin.jpg?v=4e60e3d262b3b2fb557ac9f345e1d24c&imageMogr2/format/webp)
/0/16515/coverorgin.jpg?v=cce79db0f75ce3167b39d18d99008fa6&imageMogr2/format/webp)
/0/29126/coverorgin.jpg?v=20251106214828&imageMogr2/format/webp)
/0/20477/coverorgin.jpg?v=d3d102ccc325c6271f5cb994e6419429&imageMogr2/format/webp)
/0/28985/coverorgin.jpg?v=20251204205344&imageMogr2/format/webp)
/0/27068/coverorgin.jpg?v=ff25ec482a368612f3864435423b3557&imageMogr2/format/webp)
/0/16778/coverorgin.jpg?v=d263286d0088975b3cbdee6a62f23d5f&imageMogr2/format/webp)
/0/6707/coverorgin.jpg?v=20250122151504&imageMogr2/format/webp)