Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Rian : Kamu nggak gemuk aja cantik.
Aprilia : Kata siapa, kamu nggak tahu aja. Aku selalu dianggap tulang berjalan : (
Rian : Buktinya di foto cantik, bukan pakai kamera jahat, kan? Hehe.
Aprilia terkekeh sendiri membaca inbox yang masuk di akun Facebook-nya. Sudah lima bulan Aprilia rutin membalas pesan dari orang asing yang foto profilnya hanya gambar belalang.
Saat orang-orang lebih tertarik Instagram atau Tiktok, Aprilia lebih aktif di Facebook. Dia memiliki akun Instagram yang terabaikan hanya ada lima foto, ibarat rumah sudah kosong penuh debu dan menjadi sarang kuntilanak karena tidak dihuni bertahun-tahun.
Namanya Rian, hanya itu identitas yang Aprilia tahu karena tidak ada informasi lain. Semua foto yang di-upload aneh-aneh mulai dari semut kesepian karena sendiri. Bunga mawar sekaligus potnya, atau kucing peliharaannya.
Entah terkena pelet atau semacamnya Aprilia tertarik membalas pesan Rian lima bulan lalu. Awalnya saling like foto, berlanjut ke komentar, dan lama-lama mengirim inbox.
Aprilia belum pernah melihat fotonya dan meyakini kalau Rian bukan bapak-bapak atau bahkan aki-aki. Rian hanya selisih dua tahun lebih tua katanya dan sesekali mereka tersambung lewat panggilan Messenger.
Rian : Katanya lagi masak air, udah mendidih belum?
Saking antusias menatap ponsel sampai lupa pada air di panci. Aprilia langsung melirik ke kompor seraya meletakkan ponsel di meja. Airnya sudah mendidih untuk membuat susu ibu hamil.
Aprilia sudah cukup lama jomblo dan dia tidak mungkin hamil. Memang sama siapa? Dekat melebihi teman saja tidak pernah kecuali bersama teman Facebook bernama Rian yang entah seperti apa rupanya.
Jadi, alasan Aprilia yang berambisi menambah berat badannya membuat dia mencoba segala cara. Aprilia pernah meminum jamu pahit yang katanya terbukti menambah bobot, ternyata tidak berlaku untuk Aprilia. Dia pernah membeli madu, susu penggemuk, minum susu bayi sampai diare. Lalu pernah tergoda obat-obatan yang justru membuat Aprilia selalu lapar 24 jam mirip orang hamil sedangkan berat badannya hanya bertambah setengah kilogram.
Merasa lelah mencoba berbagai usaha, bukan berarti Aprilia menyerah. Dia tidak ingin terus dianggap tulang berjalan, bahkan teman-temannya sering mengatakan kalau dia harus bersyukur memiliki kulit, hanya itu yang Aprilia punya untuk membungkus tulangnya sehingga masih utuh. Dia seakan-akan tidak memiliki daging dan berat badannya tidak ada 41 kilogram dengan tinggi 160 cm.
Usaha terakhir Aprilia adalah meminum susu ibu hamil yang disarankan salah satu teman SMA-nya, dia lebih gendut usai rutin meminum susu ibu hamil. Tentu Aprilia mengharapkan hal serupa.
Aprilia meraih gelas di kabinet, menakar gula dan susu, lalu menyeduhnya. Dia membawa ke ruang depan sambil menonton televisi.
“Minum apaan? Susu hamil lagi?” tanya Anggun, perempuan yang tidak pernah anggun berbanding terbalik dengan namanya. Kadang Aprilia kasihan pada orang tua Anggun yang sudah menyematkan doa dalam nama sang putri, tetapi anaknya justru bertolak belakang.
Anggun baru masuk ke ruang depan, dia menatap ngeri begitu matanya menemukan Aprilia sedang berbalas pesan dan meminum susu. Anggun melempar jaket sembarang ke sofa dengan gurat kelelahan di wajah sepulang bekerja.
“Nggun, ih kebiasaan tuh jaket.” Aprilia mulai mengomel melihat baru saja dirapikan sebentar lagi berantakan. Lihat saja jaket dilempar sembarang, tas sudah menggelinding ke lantai, dan ya ampun ... bahkan sepatunya satu di utara satu di selatan seolah musuh bebuyutan. Anggun hanya terkekeh tanpa merasa bersalah.
“Sori, capek banget, nih. Bos lagi resek ngasih kerjaan banyak banget. Minta disunat lagi kali,” komentar Anggun dengan tingkah jauh dari kata anggun.
Perempuan itu mengikat rambutnya asal-asalan begitu melihat karet rambut di meja.
“Heran aku, kamu masih aja minum susu begituan. Udah sebulan aja masih kerempeng, tuh,” komentar Anggun tanpa kasihan.
Aprilia berdecak, tidak peduli apa saja tanggapan teman seatapnya. Dia kembali serius menggulir layar membaca pesan dari satu-satunya lelaki yang dekat dengannya.
“Gila, malah senyum-senyum. Dosa apa aku malah punya teman begini, cari pacar di dunia nyata bukan di Facebook. Kamu lahir zaman batu kali, ya?” komentar Anggun lagi entah ke berapa ribu kali. Aprilia sudah hafal di luar kepala dan menganggap angin lalu.
Sebenarnya dalam hati, Aprilia iri kenapa wanita bar-bar semacam Anggun bisa berganti pacar setiap dua bulan sekali, sementara dia seakan terkena kutukan.
Apa hanya alasan Anggun good looking, bukankah fisik tidak bisa menjadi tolak ukur semata?
Aprilia mengingat masa lalu. Dia hanya pernah pacaran dua kali, pertama saat masih kelas dua SMA selama satu bulan, kedua saat memasuki kuliah sudah berjalan hampir setengah tahun kandas karena Aprilia mendadak geram pada pacarnya yang posesif.
Dia pernah punya dosa seberat apa di masa lalu sampai mendapatkan kutukan menjomlo melebihi lima tahun?
Kedua mantannya bukan tukang sihir yang bisa mengutuk dan selama ini hanya ada cerita Malin Kundang, anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu. Belum pernah ada istilah wanita dikutuk mantan pacar.
“Aprilia, kamu dengar nggak?”
Rian : Ya nggak ada yang salah namanya mencoba, kalau susu hamil bisa menambah berat badan apa salahnya dicoba, daripada penasaran.
Aprilia malas menanggapi ocehan Anggun, justru dia senyum-senyum saat bertanya pendapat Rian tentang usahanya menambah berat badan.
Entah kenapa Aprilia yang sering risih dekat dengan lelaki, dia merasa nyaman dari chat pertama dengan Rian. Aprilia percaya ada campur tangan takdir dan mungkin saja Rian jodohnya.
“Duh, pusing aku lama-lama,” desis Anggun yang sudah membungkuk memungut jaket serta tas, lalu bergegas ke kamar.
Aprilia melirik sebentar, kalau saja gajinya tidak pas-pasan pasti memilih mengontrak rumah sendiri. Sayang sekali pendapatan dari kantornya yang hanya menempati posisi Staf belum bisa dikatakan cukup untuk bermewah-mewah. Apalagi Aprilia tergolong hemat dan mengontrak rumah sederhana yang hanya ada dua kamar, satu kamar mandi, dapur, dan ruang tamu akan lebih murah dibagi dua.
Tapi, tinggal bersama Anggun tidak terlalu buruk. Sekalipun hobi membuat rumah berantakan dan sulit memfilter kalimat, dia adalah teman baiknya sejak kuliah dan saling menerima kekurangan masing-masing.
Aprilia membalas Messenger dari Rian, kadang dia memikirkan ucapan Anggun yang menganggap Rian pengangguran karena selalu santai setiap saat.
“Kamu yakin, udah nggak jelas wajahnya kayak apa, nganggur. Kamu nih mau nikah sama makhluk nggak terlihat apa?”
“Dia manusia, Nggun.”
“Iya, manusia yang nggak mau nunjukin diri. Kamu nggak takut apa? Nanya coba dia kerja apa, di mana?”
“Nggak enak lah baru kenal, bagi gue yang penting Rian baik.”
Saat itu Anggun menyerah, melambaikan tangan andai saja ada kamera seperti di uji nyali. Namun, hari berikutnya masih berkomentar buruk soal Rian.
“Jangan-jangan dia jelek banget!” Anggun bergidik ngeri menampilkan ekspresi totalitas saat itu.
“Milih pasangan nggak dari fisik, selama nyaman apa salahnya? Tapi aku merasa Rian nggak sejelek itu.”
“Tau dari mana?” Anggun menatap ngeri. “Apa mulai bisa meramal, ya?”
“Nggak tahulah, cuma yakin aja. Selama ini aku suka risih, sama Rian nyaman aja. Apa namanya kalau bukan takdir?”