/0/28057/coverorgin.jpg?v=f3b4efcf5a91765b6e671e1a7eb8bdcb&imageMogr2/format/webp)
“Ananda Adryan Van Brawijaya bin Franco Brawijaya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Helsa Septian binti Almarhum Yuda Andrean dengan Mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar uang satu milyar, dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Helsa Septian binti Almarhum Yuda Andrean dengan Mas kawin yang tersebut dibayar tunai.”
“Para saksi, sah?”
“Sah,” jawab segenap saksi pernikahan disana.
Air mata gadis tujuh belas tahun yang baru saja resmi dipersunting itu jatuh membasahi pipinya. Pria itu menoleh padanya, karena akan mencium kening sebagai sunnah. Lalu dibalas dengan ciuman pada punggung tangan pria itu, oleh istrinya.
***
Gadis bersurai panjang itu bernama⸺Helsa Septian. Mata sayunya sembab karena terlalu banyak memuntahkan cairan bening. Keadaan tubuhnya melemah, wajahnya pun pucat. Helsa bahkan belum mengisi perutnya dengan makanan sejak semalaman.
“Kita ke rumah sakit aja, ya, Sayang. Mama takut kamu tipes,” seru wanita berpakain formal itu.
“Nggak usah, Ma. Helsa cuma kurang istirahat, nanti juga baikan," sergahnya, lalu menghampiri wanita yang dipanggilnya Mama.
"Mama belum berangkat?" tanyanya.
“Bagaimana Mama bisa berangkat, jika keadaan kamu seperti ini?” Renata⸺wanita berusia kepala empat yang kini disibukkan oleh perusahaan peninggalan mendiang suaminya. Sejak pagi tak tenang karena keadaan putri semata wayangnya.
“Mama berangkat aja, klien Mama lebih penting sekarang,” ujar Helsa memberi semangat untuk Renata
Renata tersenyum, mengusap surai hitam Helsa. “Kamu yakin?”
“Mama selalu lupa Helsa punya Mbak Ana,” ujar Helsa dengan kekehan dibelakangnya.
“Ya udah. Tapi, Sayang, kalau kamu Masih kayak gini terus, Mama pulang.”
Helsa mengangguk, wajahnya terlihat semakin pucat. Ia memeluk Renata penuh cinta kemudian mencium punggung tangan Mamanya.
"Mama berangkat, Sayang,” pamit Renata dan keluar dari kamar putrinya. Sebelum benar-benar pergi, wanita paruh baya itu mencium singkat pipi anak gadisnya.
Helsa mengamati langkah Renata yang kian hilang dari pandangannya. Bahagia sekali bisa melihat Mamanya kembali tersenyum setelah kepergian Papanya beberapa bulan yang lalu. Walaupun Helsa tahu Renata Masih sering menangis sendiri.
Gadis yang kini duduk di bangku kelas dua belas SMA itu merupakan anak tunggal dari pengusaha sukses di bidang properti. Kesibukan orang tuanya membuat Helsa selalu sendiri. Hal itu yang menyebabkan gadis kelahiran tahun reforMasi ini mencari kebahagiaan diluar. Salah satunya bersama kekasihnya, Akmal Malik.
Oh, lebih tepatnya mantan kekasih.
Dua tahun berpacaran tidak menjamin kekasihnya itu setia. Awalnya memang seperti itu, namun seiring berjalannya waktu, sebuah kesalahpahaman membuat pemuda tersebut berpaling darinya. Video tak senonoh yang merekam kekasihnya tidur bersama gadis lain membuat kehidupan Helsa hancur. Dunianya runtuh dalam sekejap. Dan yang menyakitkan adalah saat ini, gadis tersebut sedang dalam keadaan hamil.
“Helsa boleh minta sesuatu?”
“Apa?”
“Bawa pergi Helsa sejauh mungkin.”
"Maksud kamu?"
"Helsa mau lurusin amanah Papa. Helsa nggak bisa terusin semuanya bersama Akmal. Helsa mencintai Akmal, tapi rasanya sulit sekali untuk bisa terima dia kembali."
"Kamu serius dengan ucapan kamu?"
"Helsa akan temui Akmal kalau nanti semuanya sudah lebih tenang.”
Air mata gadis itu meluruh, mengingat percakapannya satu minggu yang lalu bersama seorang pria yang selalu berada saat ia jatuh. Pria yang tidak pernah bosan menemani Helsa.
"Sa, lo nggak pernah keguguran," lirihnya.
Gadis itu terjatuh lemas pada karpet yang membentang di bawah kaki ranjang. Dia kembali menyadari bahwa janin itu tidak pernah hilang. Bagaimana bisa dia memberi kesempatan kepada dokter Adryan, sedangkan saat ini dia sedang mengandung anak dari mantan kekasihnya.
Kehamilannya sudah diketahui para sahabatnya, terMasuk kekasihnya. Dan kini, sudah satu minggu Helsa absen dari sekolah. Ia bingung harus mengadu pada siapa, sedangkan Renata belum mengetahui kehamilannya. Helsa terlalu takut untuk memberitahu kenyataan pahit ini kepada Mamanya. Helsa takut wanita itu sakit. Helsa tidak ingin kehilangan lagi. Sudah banyak perpisahan yang ia lalui.
***
Senja kini berganti malam. Rumah itu memang selalu terlihat sepi jauh sebelum kepergian Yuda Andrean⸺sang kepala keluarga. Makan malam sudah terjadi pada pukul 19.00 WIB. Sudah hampir 30 menit Renata berkutat dengan laptop di ruang kerja suaminya, yang kini diambil alih olehnya. Ya, sejak kematian Yuda beberapa bulan yang lalu, Renata, lah, yang mengganti posisi suaminya di perusahaan.
“Ma…”
Suara lembut itu menyapanya dari ambang pintu. Renata melepaskan kacamata, kemudian dengan pandangan teduh dan rentangan dua tangan itu memberi isyarat agar putrinya mendekat.
Gadis pemilik mata sayu itu kini sudah duduk bersimpuh dibawah kaki Mamanya. Helsa menangis dengan meloloskan kalimat maaf dari mulutnya. Melihat itu, Renata pikir saat ini Helsa tidak baik-baik saja. Tangan itu bergerak menangkup wajah yang sudah bersimbah air mata.
“Kenapa, Sayang?”
Kosong, begitu yang Renata lihat dari dua manik mata putrinya. Renata melihat pelupuk mata yang kian menghitam dan mata yang sembab.
Helsa memegang tangan wanita itu, mencium punggung tangan wanita yang selalu ia bangkang ucapannya. Sepertinya kata maaf tidak bisa membayar segalanya.
“Mama…, apa bahasa yang tepat untuk anak yang selalu melawan orang tuanya? Apa bahasa yang tepat untuk anak seperti Helsa, yang membawa aib di keluarga?”
“Helsa, Mama nggak ngerti apa yang kamu maksud,” ujar Renata.
“Helsa mau berhenti sekolah,” cicitnya tanpa mau membalas tatapan Renata.
Renata menyentuh dagu gadis itu. “Kenapa mau berhenti sekolah? Empat bulan lagi, Sayang,” seru Renata.
“Empat bulan terlalu lama untuk menanggung beban ini, Ma. Helsa takut, Ma.” Tangis itu semakin meradang, Helsa menatap penuh penyesalan kepada wanita itu.
Dengan segela keberaniannya, gadis itu menggenggam erat tangannya. “Helsa hamil, Ma.”
Deg!
Untuk beberapa detik semuanya bergeming. Jantung Renata berdetak dua kali lebih cepat. Sama halnya dengan Renata, kini Helsa bukan hanya air mata yang membasahi wajahnya, tapi juga peluh dari dahi dan pelipis.
Setelah bergulat selama dua hari dengan pikirannya, malam ini Helsa memberanikan diri untuk mengakui kehamilannya pada Renata. Dan sekarang, pengakuan itu baru saja ia ucapkan pada sang Mama.
Perasaan kecewa dan kesedihan saling beradu pada wajah wanita paruh baya di depannya. Sekali lagi, Helsa mengumpulkan keberanian untuk memberikan alat test pack pada Renata. Runtuh pertahanannya, Renata membuang benda putih bergaris dua itu sejauh mungkin dan memeluk Helsa dengan tangisan hebat. Tangisan seorang Ibu yang sudah gagal menjadi orang tua.
Sejak kejadian Akmal membawa kabur putrinya hingga ke Labuan Bajo, sudah meyakinkan perasaan Renata bahwa putrinya akan mendapatkan Masalah yang besar. Dan sekarang, benar terjadi. Helsa mengandung anak dari pemuda yang tidak pernah Renata restui.
Luka akan kehilangan suaminya belum mengering, dan dengan tidak punya perasaan Helsa membuka perban itu tanpa memandang siapa yang dia sakiti.
“Kalau sudah seperti ini, kamu mau jadi apa Helsa?” Isak tangis terdengar dari dalam ruangan itu. Hati Renata hancur berkeping-keping.
Helsa adalah harapan satu-satunya Renata. Bagaimana bisa dia melepaskan putrinya keluar dari rumah ini? Renata hanya memiliki Helsa seorang.
***
"Banyak-banyak istirahat ya cantik. Minum air putih yang teratur. Jangan stres. Nggak usah mikir hal yang memperlambat kesehatannya. Biar cepat pulang. Nggak enak lama di rumah sakit," nasihat pria berjas putih pada pasiennya.
Sejak pagi, pasien di Mawar Medika begitu padat, mulai dari yang rawat jalan sampai yang rawat nginap. Tapi, dokter dengan marga Brawijaya ini tetap dengan tangan terbuka menangani semuanya.
Adryan Van Brawijaya⸺Seorang dokter umum yang bertugas di rumah sakit tersebut. Adryan juga disebut dokter residen karena sedang dalam pengambilan spesialis Hematologi dan Onkologi. Spesialis yang memfokuskan diri pada komponen darah dan permasalahannya. Adryan lulus di salah satu Universitas di Inggris dan melanjutkan sekolah spesialisnya di Indonesia.
Dan pasien yang baru di nasehatinya adalah seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang mengidap leukimia atau kanker darah. Namanya Denta. Gadis kecil itu menjadi pasien keduanya setelah bertugas. Pasien pertamanya adalah gadis berusia tujuh belas tahun yang memiliki riwayat anemia akut. Namanya Helsa⸺gadis SMA yang berhasil memporak-porandakan hatinya.
"Dokter udah punya istri?" tanya anak itu dengan tatapan yang sangat polos.
Adryan tersenyum simpul. "Belum. Kenapa memangnya?"
"Yahhh…, dokter lahirnya kecepatan," ujar Denta penuh penyesalan.
"Kenapa gitu?" imbuh ibunya, penasaran.
"Iya, dokter ganteng banget, pintar lagi. Kalau kita seumuran, Denta mau nikah sama dokter,” celetuk Denta. Mata polos yang memandang Adryan terlihat sangat geMas.
Adryan dan ibunya tertawa, ada anak kecil yang pikirannya seperti ini. Dokter muda itu teringat akan Helsa. Gadis itu merupakan pasien pertamanya yang sangat berani padanya.
"Dokter ganteng, ngapain kesini? Bukannya pagi tadi udah kontrol?"
"Kamu panggil saya ganteng? Makasih. Kamu orang pertama loh."
"Dokter lihat Akmal nggak?"
"Pacar kamu itu? Kayaknya dari kemarin deh, dia nggak muncul disini."
"Kamu ngapain?"
"Helsa boleh pinjam handphone nggak?”
/0/8794/coverorgin.jpg?v=356ec5c24bfe2a83a3cd638460103b05&imageMogr2/format/webp)
/0/5717/coverorgin.jpg?v=21c6766f050564eee3b81768fc5bc80a&imageMogr2/format/webp)
/0/6117/coverorgin.jpg?v=032aa715b46143ef5d15c3c419d2aa00&imageMogr2/format/webp)
/0/4145/coverorgin.jpg?v=50c097eef3e2a5626b51fc95cc05bda9&imageMogr2/format/webp)
/0/27205/coverorgin.jpg?v=e07f203525618a6f8d7e40b58e3f2b5b&imageMogr2/format/webp)
/0/11016/coverorgin.jpg?v=a3e1e3093a7f43e35b4fdedfe1a2957f&imageMogr2/format/webp)
/0/13269/coverorgin.jpg?v=e0f869f555d712643a6a4b5f8323b6e6&imageMogr2/format/webp)
/0/21929/coverorgin.jpg?v=581cb9cecd80f4df23d756a46712c2f8&imageMogr2/format/webp)
/0/19596/coverorgin.jpg?v=4172502190521cf3752a4000f022e3b9&imageMogr2/format/webp)
/0/3273/coverorgin.jpg?v=6b5abea709d0f3629ef7d1641741ebf8&imageMogr2/format/webp)
/0/2667/coverorgin.jpg?v=4b4be19258c78133b27e536eca4f09be&imageMogr2/format/webp)
/0/2070/coverorgin.jpg?v=dc45a492ef789923cb302da49339326a&imageMogr2/format/webp)
/0/6146/coverorgin.jpg?v=f6a5a84f6e0530e4fc807b7b7f9e1ed6&imageMogr2/format/webp)
/0/4063/coverorgin.jpg?v=2806fd819c7a62cdb2e4ec276495cbfa&imageMogr2/format/webp)
/0/9770/coverorgin.jpg?v=a54ddf10110982f3a0d24f4ef538b0f7&imageMogr2/format/webp)
/0/12572/coverorgin.jpg?v=0933be5bd8d4a488dd6904d47c04d8f6&imageMogr2/format/webp)
/0/15281/coverorgin.jpg?v=7efa6e7794ccbd9220ed75c6ffb5e5a8&imageMogr2/format/webp)
/0/17507/coverorgin.jpg?v=65d19d6cc8fd19ff0990ac7a6a74b941&imageMogr2/format/webp)
/0/9330/coverorgin.jpg?v=c6d42347351ad4d93fd5d298c0a69ad6&imageMogr2/format/webp)