Di sebuah kamar luas dengan penghangat ruangan yang melawan dinginnya suhu Seoul, ranjang king size dan selimut putih lembut yang tebal menjadi teman melewati detik demi detik waktu malam yang merayap menuju pagi.
Seorang wanita tampak bergelung menyamankan diri, lebih tepatnya bersembunyi di balik hangatnya selimut tebal. Sesekali tubuhnya bergerak pelan, namun nampak resah. Malam ini dia mengalami mimpi buruk. Bukan lagi malam, tapi lebih tepatnya menjelang pagi.
Ingatan-ingatan masa lalu berebut membayangi hampir di setiap malamnya. Sebuah memori tak menyenangkan yang bersembunyi di bawah kesadaran ketika siang menempati posisinya.
Mikaela adalah seorang wanita 27 tahun yang menyandang status janda di saat dia tengah mengandung 2 bulan.
Keringat dingin membasahi tubuhnya, ketika mimpi mengganggu tidur lelapnya. Dia mulai nampak bergerak gelisah.
________
Mikaela POV.
"Haruskah kau pertahankan bayi itu, Kae?"
"Hu'um. Itu keputusanku."
"Demi pria tak bertanggung jawab itu?"
"Bukan."
"Lantas?"
"Demi ketenangan batinku, Kak. Baby berhak hidup, bukan salahnya jika harus tumbuh di antara aku dan David."
"Tapi pria itu telah selingkuh di belakangmu, Kae. Kumohon sadarlah Mikaela!!"
Aku terbangun dengan hentakan oleh suara alarm pada ponselku. Dadaku berdebar keras, sementara napasku terengah ketika tersadar dari mimpi itu lagi. Sebuah mimpi yang sama dan hampir setiap malam akan berulang seolah dia telah menancap kuat dalam ingatanku.
Aku mendesah pelan, lalu menyadari bahwa kepalaku mulai terasa pusing, ini lebih mirip tertindih sebuah batu besar dan berat. Di saat yang sama perutku mulai bergejolak kuat, rasanya mirip teraduk karena sesuatu di dalam sana memaksa untuk keluar hingga membuat tenggorokanku terasa tercekat.
Tanpa berpikir panjang kubawa tubuhku dengan langkah gontai menuju kamar mandi, bersiap mengubur wajahku di atas closet.
Morning sickness mulai menyergapku seperti hari-hari sebelumnya selama dua minggu terakhir.
"Hoek ... ugghhh ... hoekk! Tenanglah, Baby! Kumohon!" ucapku lirih mencoba berdiskusi dengan calon di dalam perutku.
Tanganku masih mencengkeram pinggiran closet dengan wajah menunduk untuk mengeluarkan semua isi perutku yang hanya berupa cairan bening hingga tersisa rasa pahit yang mencekat tenggorokanku. Tubuhku bertahan pada posisi berjongkok untuk beberapa menit. Hari ini telah lebih dari sepuluh menit. Namun, rasa puas belum menyapaku.
'Tuhan kuatkan aku,' batinku.
____________
Seoul, 08.00 KST.
Suara pintu lift yang terbuka, aku segera melangkah masuk ruangan yang akan membawa tubuh lelahku ke bawah. Aku harus pergi bekerja.
Dengan membawa teh hangat dan juga salad buah, salah satu makanan favorit dan paling aman yang bisa masuk ke dalam perutku selama 2 bulan masa kehamilanku ini. Udara hari ini cukup dingin, jadi aku memakai baju rajut hangat, celana selutut dengan tali di pinggang dan sebuah jaket panjang yang tebal menutupi pahaku. Menjaga kehangatan baby lebih utama.
"Kau sakit?" Suara serak basah nan seksi menyapa pendengaranku, kubawa wajahku untuk menatapnya untuk menyuguhkan senyum termanis.
Aroma parfum maskulin yang menguar darinya mulai membuai indera penciumanku seperti pagi sebelumnya. Menyeret anganku pada suasana laut dengan angin sejuk. Seketika pikiranku lari menjauhi logikaku.
"Kau ingin mengecup leher ... ku?" Dia bertanya.
"Y-Ya," jawabku gugup.
Aroma itu, ketika tubuhnya mendekat dan memangkas jarak di antara kami, saat dadanya yang berisi menyembul indah menempel pada dadaku, saat belahan kemeja yang tersingkap karena dua kancing teratas tidak dikaitkan, semakin menguar bau maskulin yang berebut keluar dari kerah baju yang sedikit terbuka tersebut.
Hidungku menginginkan bau harum yang seakan menjadi candu buatku. Kurasa baby menginginkannya. Maka segera aku mengubur wajahku pada perpotongan lehernya, mengendus perlahan namun dalam. Kupejamkan mataku menikmati setiap sesapan hidungku membaui kulit putih di sana yang ....
"Ahhh ...," gumamku lirih.
Pintu lift terbuka dan dia melirik padaku."Ayo Kae! Kuantar kau sekalian!" ucapnya.
Aku terkesiap. Sial! Ternyata aku hanya melamun.
Selanjutnya aku menunduk hormat dengan wajah memanas, pasti saat ini bersemu merah. Aku merasa malu atas pikiranku sendiri yang berakhir dengan menggigit bibir bawahku. Seketika rasa gugup menyergapku. Sementara wanita di depanku masih setia mengamati tingkahku yang sedikit serba salah, sesaat kemudian dia berjalan dengan angkuhnya, sementara aku mengekori dengan melangkah sedikit cepat.
Seperti hari sebelumnya, ini adalah sebuah perjalanan pagi yang mendebarkan, kurasakan tubuhku berkeringat di saat suhu udara rendah. Bahkan aku merasakan panas dan dingin bersamaan.
"Kau tampak lebih pucat dari biasanya?" Suara berat dan serak basah yang terdengar cukup, ehm ... seksi kembali menyapa telingaku.
Kubawa tatapanku padanya yang tengah menyetir.
Mataku mulai meneliti. Kemeja putih dengan kerah terbuka, lengan panjang yang dilipat hingga 3/4 bagian, celana berbahan denim. Rambut panjang ikal yang diikat rapi bukan dengan ikat rambut, melainkan dililitkan lalu ditusuk dengan sebuah tusuk kayu yang kurasa mirip sumpit. Rapi, tapi sebagian dibiarkan tergerai begitu saja, yang menjadikannya terlihat begitu seksi karena sebagian lehernya yang terekspos.
Manik matanya yang berwarna hitam legam menatapku beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya untuk kembali fokus pada jalan.
Tubuhnya tidak kurus, tidak juga langsing, tapi cukup berisi. Namun begitu, kesan maskulin dan feminin tampak keluar bersamaan. Dadanya yang menyembul samar terlihat dari kemeja yang sedikit tersingkap membuatku menelan ludah. Kurasa aku tengah tenggelam di dalam pesonanya.
'Aku merinding, berada di dekatmu membuatku merasa panas dingin. Aku ingin mengubur wajahku di dadamu. Menghirup dan mengendus perpotongan lehermu. Bau maskulin yang menguar darimu membuai hidungku. Kurasa baby akan tenang.'
Pikiranku mulai berebut untuk mengeluarkan pendapat.
"Kae?"
Suaranya kembali menginterupsi lamunanku.
"Uhm, u-udara cukup dingin, Nona," ucapku mencicit lirih.
Dan percakapan kami terhenti sampai di situ, yang tersisa hanya musik pop yang mengalun lembut. Aku pun tidak habis pikir dan cukup menjadi sebuah rasa penasaran karena apapun tentang dia; bau tubuhnya, selera musiknya, bahkan suaranya akan membuai anganku begitu saja. Lalu akan menjadi sangat aneh ketika baby di dalam perutku seakan selalu merasa nyaman yang menjadikannya tenang.
______
Hari Senin yang tidak terlalu kusukai.
Sesampai di kantor, aku berjalan beriringan dengannya untuk memasuki lift yang dipenuhi oleh karyawan lain. Beruntung aku berada di tempat paling pojok, setidaknya dia melindungi tubuh ringkihku yang cukup berisi dengan punggungnya.
Dengan jarak yang hanya satu jengkal hidungku kembali terbuai oleh harum yang menguar dari tubuhnya. Oh. Sungguh, seharusnya setiap hari aku bersama dengannya saat memasuki lift. Agar rasa mualku teredam oleh aroma maskulin yang dua kali lebih mujarab daripada obat dari dokterku.
Sayangnya baru satu bulan aku bekerja di tempat ini, yang 14 hari di antaranya dia mulai membawa tubuhku bersama untuk berangkat dan pulang kerja. Sebelumnya aku bersama adiknya.
Oh, betapa beruntungnya aku. Bukan, tapi baby yang menjadikan bau tubuhnya sebagai candu.
/0/14204/coverorgin.jpg?v=093bf1e17e86ae254be707cc7cf7cfe2&imageMogr2/format/webp)
/0/16524/coverorgin.jpg?v=d120edfc595220e29f599bab7a546f88&imageMogr2/format/webp)
/0/4363/coverorgin.jpg?v=579bd1987aba38d90c313a7ff49b27c5&imageMogr2/format/webp)