Cinta yang Tersulut Kembali
Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Alya Nabila berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, menatap papan nama yang terpampang dengan huruf-huruf emas yang berkilauan: Albar Group.
Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum memasuki gedung megah tersebut. Ini adalah hari yang penting baginya, ya, hari di mana dia harus membuktikan dirinya dalam wawancara kerja di salah satu perusahaan paling bergengsi di Jakarta.
"Tenang kan dirimu Al! Berikan yang terbaik!"
Dengan jantung yang berdegup kencang, Alya memasuki lobby gedung yang luas dan modern. Lantainya terbuat dari marmer mengilap, sementara dinding-dindingnya dihiasi karya seni mahal. Para pegawai yang berjalan berlalu-lalang tampak berpenampilan rapi dengan setelan jas mahal.
Alya jujur sangat minder dengan hal itu, iya menatap dirinya dari atas hingga bawah, blus putih sederhana dan rok hitam yang ia kenakan terkesan sangat biasa saja, tapi dia segera menepis perasaan itu. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mendapatkan pekerjaan setelah berbulan-bulan berjuang melamar di berbagai tempat.
"Huft!"
Melelahkan jika hanya membayangkan nya saja bukan?
Setelah iya memberitahukan keperluannya pada resepsionis, Alya diarahkan ke lantai atas untuk bertemu dengan kepala HRD. Namun, saat ia melangkah keluar dari lift, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tepat ketika pintu lift terbuka, seorang pria berjas hitam muncul dari arah berlawanan dengan langkah terburu-buru.
Brak!
Tubuh Alya terhuyung ke belakang, dan tanpa sengaja berkas lamaran yang dia bawa terjatuh berhamburan ke lantai. "Maafkan saya!" dia sedikit panik sambil buru-buru memunguti kertas-kertasnya. Namun, pria itu tidak merespons, hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang membuat darah Alya membeku seketika.
"Lihat jalanmu," kata pria itu dengan nada dingin.
Alya menegakkan tubuhnya, berusaha menahan rasa malu dan panik yang bercampur aduk. Pria itu terlihat sangat berwibawa, dengan setelan jas yang rapi dan wajah yang tampak sempurna, meski sorot matanya begitu menusuk.
"Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja," Alya mencoba menjelaskan dengan nada gemetar.
Akan tetapi, pria itu tidak peduli. "Orang ceroboh tidak punya tempat di sini," katanya angkuh sambil melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Alya yang masih berdiam diri seperti patung.
Alya merasa wajahnya memanas, di hari pertama iya begitu sial, tapi dia tak punya waktu untuk meratapi kejadian itu. Dengan cepat, dia memunguti sisa berkas yang berserakan di lantai, mencoba merapikannya kembali. Hatinya berharap insiden tadi tidak akan mempengaruhi peluangnya dalam wawancara.
Setelah menyusun kembali berkasnya, Alya bergegas melangkah ke ruang wawancara yang sudah ditentukan. Ruangan itu tampak mewah dan formal, dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Di meja depan, seorang wanita paruh baya dengan tatapan tegas menunggunya.
"Kamu Alya Nabila?" tanya wanita itu dengan nada datar.
"Ya, Bu. Saya Alya," jawabnya sambil tersenyum tulus, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Wawancara akhirnya dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan standar, Alya berhasil menjawab nya dengan tepat. Akan tetapi, tak lama kemudian pintu ruangan itu terbuka dengan keras. Alya menoleh dan matanya membulat ketika melihat siapa yang masuk. Pria yang tadi menabraknya di lorong, pria yang memandangnya dengan penuh keangkuhan, kini berdiri di ambang pintu dan menatap ke arahnya.
"Pak Nathan, saya tidak tahu jika Anda akan bergabung dalam wawancara ini," kata wanita HRD itu dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya.
Nathan Albar, CEO muda dan pewaris Albar Group, matanya tak lepas dari Alya dengan pandangan yang tak bersahabat. "Saya ingin melihat langsung kandidat yang katanya 'berpotensi' ini," katanya sambil duduk di kursi berhadapan dengan Alya.
Alya merasa tenggorokannya mengering. Ini buruk. Sangat buruk. Dia tidak pernah menyangka pria yang tadi ia tabrak adalah Nathan Albar, orang yang paling berpengaruh di perusahaan ini. Dia mengerutuki dirinya, sangat bodoh sekali.
"Jadi, Nona Alya," Nathan mulai berbicara sambil menyilangkan tangan di depan dada, "apa yang membuatmu berpikir bahwa kamu cocok bekerja di perusahaan kami, setelah menunjukkan betapa cerobohnya kamu beberapa menit yang lalu?"
Deg!
Alya terdiam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Tapi tekanan dari tatapan tajam Nathan membuat pikirannya kacau.