/0/15589/coverorgin.jpg?v=19b448a2d83059ba8d3918d95d7937c5&imageMogr2/format/webp)
"Paman ...."
Wak Yanto memberikan perhatian kepada suara yang sedang memanggilnya.
"Saya talak satu, Kinarsih Aninda," suara Badai pelan tapi pasti.
Terdengar oleh semua pasang telinga di sana. Semua terhenyak, tak ada yang bicara. Hening dan hampir menghilangkan kewarasanku. Apa yang barusan kudengar? Sepertinya telingaku sedang rusak.
"Anak setaaan!!!!!!" teriak Wak Yanto menghambur menyerang Badai.
Ia menendang brutal pada Badai yang sedang duduk. Tidak lebih dari dua jam yang lalu, laki-laki itu mengesahkanku sebagai istrinya. Sangat lancar sekali lidahnya menyucapkan kalimat syahadat lalu di iringi kalimat akad. Lalu sekarang dia mengucapkan kalimat talak. Apa dia sudah kehilangan akal sehatnya?
Semua orang di sana dengan cepat menarik tubuh Wak Yanto agar menjauh dari Badai. Tubuh tuanya terhuyung jatuh. Kopiah tanda kemuliaannya jatuh begitu saja, terinjak oleh kerumunan yang mencegahnya berbuat lebih. Wak Yanto mengamuk tak terkendali.
"Lepas! Lepaskan! Jangan halangi aku untuk membunuh manusia iblis ini! Tak punya hati nurani, biadab!!!"
Wak Yanto berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang memeganginya.
"Waaak!!!" teriakku menghampirinya.
Bahkan aku sampai terjatuh karena menginjak mukenahku sendiri. Aku langsung memeluknya dan mengusap dadanya yang terasa panas. Mungkin deritaku tak sebanding dengan rasa malu Wak Yanto. Aku ditalak setelah hitungan jam setelah disahkan. Andai telingaku ini pekak saja, itu lebih baik daripada mendengar ucapan kejam yang keluar dari mulut laki-laki yang seharusnya kupanggil suami.
"Minggir Arsih! Anak dajjal ini semakin menginjak-injak kehormatan keluarga ini. Dengan tulus kuserahkan keponakanku padamu, tanpa memberatkanmu sedikit pun tapi kalian anggap sampah!!!" teriak Wak Yanto menatap sekelilingnya.
Kemarahannya sungguh membuat siapa pun merinding. Tampak semua yang ada di sana hanya diam menyaksikan Wak Yanto terus mengumpat dan mengamuk. Wak Erni hanya meruncingkan matanya sinis menatap kami. Tak ada sedikit pun ia merasakan penderitaan suaminya apalagi kepedihanku.
"Maaf ya Yan, di sini Badai sudah memenuhi permintaanmu 'kan, menikahi Kinarsih," ketus ibunya Badai tanpa beban. Bahkan sekarang wajahnya terlihat lebih santai daripada saat aku akan dinikahi. Sungguh hitamnya hati manusia.
"Lalu dengan seenaknya dia menceraikan keponakanku setelah akad dalam hitungan jam?! Kalian keterluan! Tak punya perasaan!"
Wak Yanto melempar Badai dengan air gelas mineral yang tersusun rapi di depannya. Melempari berkali-kali hingga air gelas mineral itu hampir habis. Beberapa pecah dan menyemburkan air hingga Badai basah kuyup.
"Kami tidak pernah menyangka juga Badai akan menceraikan Kinarsih. Itu sudah murni keputusannya. Kita 'kan tidak bisa memaksa anak kami mencintai Kinarsih," sambut ayah badai yang berkumis tebal itu.
"Kinarsih sedang meng---. Astagfirullah ya Allah ... astagfirullah ...."
Wak Yanto tersendat lalu terus berdzikir, mengelus dadanya. Sesekali ia memegangi perutnya. Pasti ia sangat merasa kepedihan yang mendalam. Aku hanya bisa terus menangis di sampingnya.
/0/14454/coverorgin.jpg?v=097c050da30592f60587e80b434c4dc1&imageMogr2/format/webp)
/0/14334/coverorgin.jpg?v=20250123115914&imageMogr2/format/webp)
/0/26387/coverorgin.jpg?v=c3a0137266f1770afa01ef85fdc7d4b7&imageMogr2/format/webp)