Ini adalah cerita tentang Gay, kalau tidak suka jangan baca. Tidak untuk anak-anak, peringatan dari penulisnya.
Perjalanan hidup setiap manusia tidaklah sama, bahkan penuh lika dan liku dan kesalahan di sana dan sini. Manusia hanyalah sebagai penggerak atau aktor, yang menjadi produser adalah Tuhan, sang Pencipta Alam. Namun, apa jadinya jika hidup ini menyimpang dari kodrat.
Sudah seperti yang diketahui bersama, bahwa hubungan sejenis ataupun LGBT memang telah ada sejak zaman Nabi Luth AS. Hingga saat ini, kehidupan dunia Gay dan Lesby masih tersebar dipenjuru negeri. Bahkan sebagian negara telah melegalkan/meresmikan pernikahan sesama jenis.
Begitupun dengan novel ini, hadir dengan mengemas peristiwa sepasang lelaki gay. Dibalut konflik drama rumah tangga, akan hadir dan membuat pembaca akan terhanyut berderai air mata. Jangan dilihat dari judul jika mengandung LGBT, ambillah nilai positif dari isi novel ini.
Penulis telah merangkum dan sejak lama menceritakan dunia gay ini, akan tetapi masih sibuk dengan tulisan yang lain dan belum selesai. Maka, dikesempatan kali ini, novel tayang ekslusif untuk pembaca setia.
{ Medan 2020 }
Andrew POV
Malam dengan rintik hujan membasahi bumi, aku masih bersama sang kekasih di dalam rumah yang telah lama kami tempati. Untuk berbagi kisah, bahkan cerita. Setiap harinya, kami melakukan rutinitas dan aktivitas layaknya sepasang suami dan istri.
Namaku adalah Andrew. Lebih lengkapnya, Andrew Sebastian Megantara. Berusia dua puluh enam tahun, dan sekarang sedang bekerja di salah satu perusahaan yang dikelola oleh sang ayah. Aku adalah anak tunggal, tidak memiliki saudara baik adik atau kakak.
Dalam kehidupan sehari-hari, aku sangat gemar bermain badminton, renang, dan sepak bola. Tumbuh dan besar dengan lingkungan yang sangat normal, dan tidak memiliki sahabat terlalu banyak. Sehabis sepulang sekolah, aku biasanya memanjakan badan dengan berlibur.
Akan tetapi, sejak pertama kali berlibur ke sebuah perkotaan yang berbeda jauh dari provinsi, aku mendapati hal ganjil di sana. Bukan karena hantu, tetapi lebih kepada seorang pria tampan yang sedang memotret dan bergerak ke sana dan ke mari.
Secara saksama, aku memerhatikannya yang hanya fokus pada sebuah model cantik di hadapannya. Mereka sedang asyik hunting dan menikmati panorama di bawah semburat senja.
Hari-hari yang kujalani terasa sangat hampa, untuk teman berbicara saja sudah hampir tidak ada. Bergelut pada pekerjaan di usia muda, membuat aku selalu diterpa berbagai musibah bertubi-tubi perihal risiko menjadi seorang CEO muda.
"Maaf, Pak, pesan apa?" tanya seseorang yang tiba-tiba datang dari belakang badan.
Mendengar ucapan itu aku memutar badan, secara saksama netra hanya sejurus pada orang yang di samping bangku berwarna merah.
"Eh, saya pesan kapucino. Kalau bisa jangan terlalu panas dan tidak usah manis-manis," jawabku banyak permintaan.
"Baik, Pak, kalau mau yang tidak manis. Kan, Bapak sudah manis," jawab pelayan pria itu sembari membuang senyum simpul.
Karena respons si pelayan sangat membuat jijik, aku pun membuang tatapan aneh padanya. Lalu pelayan itu pergi begitu saja. Namun, dalam sekelebat penglihatan, orang yang menjadi pusat perhatian pun mendadak hilang.
Model yang dia potret juga sudah entah pergi ke mana. Karena memang kafe di pinggir pantai ini sangat indah, banyak orang berkunjung yang datang dari berbagai penjuru. Aku pun seolah tidak mau beringsut pergi, padahal sudah habis tiga gelas minuman kapucino dan makanan.
Karena mendadak ingin buang air, aku ingin pergi ke sebuah toilet yang berada di belakang kafe. Dengan melintasi ruangan, serta sejurus pada koridor gelap di sana. Tibalah aku di ambang pintu toilet, netra hanya sejurus pada penglihatan tidak lazim di pojok ruangan.
'Astaga!' batinku, lalu aku meletakkan kembali badan tepat berada di tembok toilet.
Tepat di ujung pandangan, dua orang pria tengah berciuman dengan mesrahnya. Aku tidak kuasa melihat itu, keringat pun keluar sejurus membasahi badan. Karena merasa sangat takut, aku tidak memasuki ruang tersebut.
Posisi badan hanya bergeming, menatap arloji di tangan kanan, sebelum akhirnya kembali menoleh ke pandangan awal. Kedua pria itu telah hilang, entah ke mana perginya. Karena sudah sangat sunyi, aku pun memasuki toilet dan mendengar kembali desahan seseorang dari dalam ruangan sebelah.
'Kok, seperti ada orang yang lagi main? Tetapi, kenapa suaranya laki-laki keduanya, ya?' tanyaku dalam hati.
Tepat berada di samping ruangan, kaki kedua pria tadi pun hadir dan bergerak maju mundur seperti sedang melakukan hubungan suami dan istri. Ruang toilet tidak menutup seluruh tembok, bagian bawah terbuka sekitar satu jengkal tangan.
'Pasti mereka sedang mesum di dalam sana. Aku enggak mau melihat itu semua, sangat membuat jijik saja,' gumamku dalam hati.
Karena merasa sangat jijik, aku keluar dari dalam kamar mandi dengan cepat. Setibanya di ambang pintu, seseorang telah hadir tanpa terlihat sebelumnya.
Brug!
Sebuah ponsel pun terlempar di lantai, berserak dan layar telah pecah. Ternyata aku menabrak seseorang di hadapan. Karena tidak sengaja berbuat itu, aku menjongkokkan badan seraya mengambil ponsel yang telah padam itu.
'Haduh ... mampus aku, kenapa bisa pecah begini, sih?' tanyaku dalam hati.
Setelah ponsel berada di tangan kanan, aku pun membangkitkan badan seraya menatap mantap seseorang di hadapan. Sosok pria berambut cepak, dengan netra cokelat. Berpakaian sangat rapi, sedang menggendong kamera di lengannya.
"Maaf, aku enggak sengaja menabrak kamu," kataku melas, kemudian tangan ini memberikan ponsel yang telah padam.
"Ah, eng-enggak apa-apa. Lagian ... aku juga salah udah buru-buru masuk ke dalam sini," jawabnya, lawan bicara pun menggaruk kepala dua kali seraya meringis.
"Sebagai tanda permintaan maaf aku, bagaimana kalau aku ajak kamu minum kopi di sana. Enggak enak juga soalnya," ajakku menawarkan.
"Boleh, Pak, silakan." Lawan bicara memutar badan seraya bergerak gontai.
Dari belakang badan orang itu, aku menarik napas berat dan membuangnya dari mulut. Hal seperti ini baru pertama kali aku lakukan, karena memang tadi sangat buru-buru melihat sepasang laki-laki yang sedang berhubungan badan.
Setibanya di teras kafe, kami mendudukkan badan seraya bergeming tanpa suara. Ponsel yang tadinya pecah, kuletakkan di samping gelas bekas minuman. Orang di hadapan tanpa henti memerhatikan kamera, dia tersenyum beberapa kali dan seperti bahagia meskipun tertimpah musibah.
Karena pelayan tak kunjung datang, aku mencoba untuk bertanya pada lawan bicara perihal siapa namanya. Namun, untuk bertanya, aku merasa sangat canggung dan tidak bisa berucap. Selama hidup ini, tidak pernah memiliki sahabat di luar dari pekerja kantor.
Akibat dari ketakutan ini, aku hanya tarik ulur untuk menyodorkan tangan. Tampak pria tersebut sangat mirip dengan saudaraku yang berada di Amsterdam, Belanda. Memiliki rambut sedikit pirang, serta badan yang sangat atletis dan tinggi.
Tidak berapa lama, seseorang pun datang dari arah berlawanan, dia adalah pelayan yang tadinya membawa pesanan. Kapucino hangat telah ada di nampannya, akan tetapi hanya ada satu saja. Lelaki berseragam serba merah itu memekik dengan menatap wajahku sangat aneh.
Dari gelagat bahasa tubuhnya, pelayan tersebut sangat lemah gemulai dan memiliki paras glowing seperti wanita. Sehingga aku sangat takut menatapnya, atau sekadar berkata.
Bersambung ...
Buku lain oleh MAJESTIC MAESTRO
Selebihnya