Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
43
Penayangan
14
Bab

Runi Ranjana adalah seorang aktris yang tengah naik daun. Paras yang cantik menjadikannya idola semua orang. Namun, diharus menerima takdir untuk melakukan sebuah pertunangan dengan Deva Praditya, seorang dokter muda yang terkenal dengan ekspresi dinginnya. Mereka berdua dipertemukan dalam keadaan yang tak terduga. Apakah Runi dan Deva harus menerima pertunangan itu? Bagaimana kisah dua manusia yang berbeda dunia ini berakhir?

Bab 1 PARAS

Di sebuah ruangan tengah duduk seorang perempuan. Rambut hitamnya tergerai dengan begitu indah. Percikan air membasahi rambut panjang itu. Tampak seorang perempuan dengan paras yang begitu cantik dan menawan sedang memejamkan matanya.

Di hadapan perempuan tersebut terdapat sebuah meja rias dengan cermin besar yang menampilkan bayangan cantiknya. Terdapat beberapa alat make up dan aksesoris yang bagus di atas meja tersebut. Mahkota berwarna emas dan putih tergeletak berdampingan seperti menunggu pemiliknya.

Sebuah ponsel yang berada di atas meja rias tersebut bergetar. Tampak sebuah nama muncul pada panggilan masuk di ponsel tersebut. Tangan perempuan yang sedang duduk di depan meja rias itu terjulur ke arah ponsel. Dia membalikkan ponsel tersebut tanpa melihat layarnya.

Penata rias kemudian mengambil salah satu mahkota yang telah dipersiapkan. Dia memasangkan benda indah itu ke atas kepala perempuan cantik di depannya. Perempuan yang tadinya terpejam kini membuka matanya. Dia mengibaskan sedikit rambut indahnya ke belakang.

Perempuan tersebut mengeluarkan senyuman manisnya. Dia tampak puas dengan hasil riasan yang dimilikinya. Perempuan tersebut juga terlihat menyukai mahkota yang kini berada di atas kepalanya.

"Sungguh cantik. Mahkota ini tampak begitu indah karena telah aku gunakan. Wajah ini memang sebuah mahakarya," ucap perempuan tersebut sambil tersenyum penuh rasa bangga.

***-----***

Di sebuah ruangan, seorang laki-laki telah selesai memakai masker dan pelindung kepala di depan cermin. Dia kemudian mencuci tangannya dengan air mengalir dan memakai sabun. Pakaiannya menandakan bahwa dia adalah seorang pegawai di rumah sakit.

Tiba-tiba seorang perawat berjalan dengan buru-buru menuju ruangan dokter tersebut. Dia terlihat memegang sebuah ponsel. Perawat tersebut tampak ingin menyampai sesuatu yang sangant penting. Perawat tersebut mengetuk pintu dan langsung masuk ke dalam ruangan.

"Dokter Deva, ada televon untuk anda," ucap perawat tersebut sambil menunjukkan layar ponsel kepada orang yang berdiri membelakanginya.

Dokter yang sedang membelakangi perawat itu kemudian membalikkan badannya. Kedua tangan miliknya terangkat ke atas. Dia melihat layar ponselnya sebentar. Kemudian dia melangkah pergi keluar dari ruangan itu.

Deva Praditya masuk ke dalam ruang operasi. Disana sudah menunggu para asisten yang akan membantunya mengoperasi seorang pasien. Semua orang sudah siap untuk melakukan tugasnya masing-masing. Deva segera memimpin operasi tersebut.

"Semua siap?," tanya Deva kepada para rekannya yang ada di ruangan tersebut.

"Sudah, Dokter," jawab tenaga medis lainnya dengan kompak.

"Penjepit dan gunting," ucap Deva dengan pendek.

Seorang tenaga medis langsung menyodorkan sebuah tempat yang berisi penjepit dan gunting kepada Deva. Deva kemudian mengambil benda tersebut secara bergantian. Dia menggunakan benda-benda tersebut dengan lihai. Seolah-olah benda tersebut sudah menjadi bagian tubuhnya sendiri.

Di ujung telvon seorang perempuan paruh baya menutup panggilan telvon yang dibuatnya. Di sekitar perempuan tersebut terdapat beberapa orang yang mengitari sebuah meja makan. Tampak mereka semua seperti sedang mengadakan sebuah pertemuan keluarga.

Seorang laki-laki yang masih muda juga baru saja menuntup panggilan lewat ponselnya. Nasibnya sama persis dengan perempuan paruh baya yang ada di dekatnya. Di antara orang-orang yang berkumpul itu tampak seperti saling sungkan. Di antara semua orang yang berada di tempat itu, terdapat dua kursi yang kosong.

"Meski mereka berdua tidak datang, tapi hari ini pasti merasakan hal yang sama dengan apa yang kita rasakan di tempat ini," ujar perempuan paruh baya sambil menuangkan minuman ke dalam gelasnya, disusul dengan tawa sopan untuk mencairkan suasana.

"Sekarang mereka yang masih muda selalu sibuk dengan karir masing-masing. Haruskah kita membuat janji lain?," lanjutnya.

"Tidak peduli betapa sibuknya mereka, apa yang terjadi di antara kedua belah pihak adalah hal yang baik. Mereka berdua datang atau tidak, saya disini saat ini. saya pikir hal yang kita sudah bicarakan akan disetujui oleh kedua keluarga", jawab laki-laki muda dengan nada yang sanagt tenang.

Perempuan paruh baya tersenyum lega. "Itu adalah ha yang bagus. Sangat bagus. Begitulah seharusnya kesepakatan ini berakhir. Sekarang, mari kita bersulang dan bersenang-senang."

Orang-orang yang berada di dalam pertemuan itu langsung mengangkat gelasnya masing-masing. Mereka bersulang karena telah berakhir dengan kesepakatan yang sudah diinginkan. Mereka semua tampak sangat bahagia dengan hasil akhir pembicaraan saat itu.

***-----***

"Semuanya sudah siap, Runi. Mereka menagturnya dengan cukup baik untukmu," ujar seorang perempuan berpakaian modis yang tengah berjalan menuju ke arah meja rias.

Perempuan cantik yang tengah duduk di depan meja rias kemudian bangkit dari tempatnya. Dia menuju ke luar ruangan. Tangannya memegang ujung rambut miliknya dan mengibaskan ke belakang. Dia terlihat seperti sedang mengeluarkan aura kehebatannya. Asistennya tidak lupa memasangkan sebuah cardigan berwarna putih sebelum perempuan itu melewati ambang pintu.

Suasana riuh langsung menyambut perempuan yang bernama Runi setelah dia keluar dari tempat make up. Beberapa orang sedang menyiapkan properti acara. Ada juga yang sedang menata kamera dan sebagainya. Mereka semua sedang sibuk dengan bagiannya sendiri-sendiri. Runi berjalan melewati suasana tersebut dengan hati-hati agar tidak mengganggu orang-orang tersebut.

Runi Ranjana adalah seorang aktris yang tengah naik daun. Dia sedang menikmati masa keemasan di dalam karirnya. Runi adalah trendsetter yang sudah menjadi role mode untuk generasi millennial saat ini.

"Kau harus berhati-hati, Runi. Tempat ini sangat ramai. Kau tidak boleh sampai terluka karena berjalan seperti itu," ucap perempuan berpakaian modis yang berjalan di belakang Runi.

"Aku mengerti, Luna. Di sampingku juga ada Jihan. Aku merasa sangat aman," jawab Runi sambil melihat Jihan yang berada di dekatnya

Luna adalah manager Runi. Dia adalah orang yang bertanggung jawab tentang kehidupan karir Runi. Sedangkan Jihan adalah asisten Runi. Jihan yang membantu Runi agar lebih mudah melakukan pekerjaannya. Mereka bertiga sudah seperti tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan.

Runi, Luna, dan Jihan masih berjalan menembus kerumunan orang-orang yang tengah sibuk. Mereka bertiga tenggelam dalam aktifitas di sepanjang jalan yang mereka lalui. Mereka beriga berjalan dengan cepat, namun tetap berhati-hati dalam melangkah.

Ketika malam menjelang, Deva tengah duduk di ruangannya. Tangannya memegang laporan pemeriksaan milik pasien. Dia tampak sangat berkonsentrasi dengan laporan tersebut. Seseorang mengetuk pintu perlahan saat Deva tenggelam dalam pekerjaannya.

"Masih saja sibuk dengan operasi yang akan dilakukan. Apa kau sedang bersiap untuk sebuah pertarungan?," tanya orang tersebut yang masuk ke dalam ruangan Deva dengan begitu santai.

"Makanlah terlebih dahulu," lanjutnya sambil meletakkan sebuah kotak berisi makanan di meja Deva. "Gita yang membuat ini dan memintaku untuk memberikan kepadamu."

"Gita? Wanita mana lagi yang telah kau tipu, Nu?," tanya Deva tanpa memindahkan matanya dari laporan yang ada di hadapannya.

Orang yang masuk ke dalam ruangan Deva itu adalah Sunu. Dia merupakan dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama sekaligus sahabat Deva.

"Kau dan segala ucapan menyakitkanmu, Dev. Gita adalah perawat yang biasanya memperhatikan dirimu. Kau tidak menyadarinya? Kasihan perempuan itu. jika dia mendengarmu, pasti hatinya merasa sangat sakit," ujar Sunu sambil merebahkan diri ke kursi di seberang meja Deva.

"Aku tidak lapar," tutur Deva singkat.

"Ya, ya, ya. Kau memang Profesor Deva? Orang sakti yang tak memerlukan halhal semacam itu," tukas Sunu menyindir Deva. Dia secara terang-terangan tidak menghiraukan jawaban Deva tadi.

"Makanlah jika kau lapar. Makanan akan membuatmu bertahan hidup," lanjutnya.

Deva menghela nafas panjang. Dia tidak terlalu menganggap ucapan Sunu barusan. Deva lebih memilih untuk diam daripada harus berdebat dengan Sunu untuk sesuatu yang tidak terlalu penting.

"Hei, Tuan Deva," ucap Sunu sambil beranjak dari tempat duduknya. Dia melangkah maju menuju cermin yang berdiri di ruangan Deva.

"Apakah kau pikir aku setampan dirimu? Tapi kenapa perawat kecil itu selalu memberikan kamu hal seperti itu melalui aku?," lanjutnya bertanya sambil merapikan letak rambutnya.

Deva hanya mendengarkan Sunu. Dia tidak berniat langsung menjawab pertanyaan yang muncul dari pikiran acak milik Sunu.

"Atau mungkin karena kau terlalu dingin, Dev? Mungkin saja hal itu yang mem-"

"Cuacanya saja yang lebih dingin."

Deva langsung memotong ucapan Sunu dengan jawaban langsung. Sunu seketika itu langsung terdiam. Sunu yang merasa terkena headshot di kepalanya berhenti berkaca dan berjalan menghampiri Deva.

Sunu memutar kursi Deva agar menghadap dirinya. Sedangkan dia bersandar setengah duduk di meja Deva. Deva hanya menatap Sunu dengan tatapan dingin khas miliknya.

"Aku sangat ingin tahu tentang ini. kau bilang gadis itu seperti bunga. Mereka berbaris menunjukkan keindahannya di depanmu. Kenapa kau sama sekali tidak peduli?," tanya Sunu dengan ekspresi wajah penasaran.

"Di mataku, semua manusia seperti kumpulan berbagai organ dalam. Terlepas dia laki-laki ataukah perempuan," jawab Deva sambil menutup berkas laporan yang dari tadi dia pelajari. Deva meletakkan berkas itu ke atas mejanya.

"Kalau begitu kamu akan dianggap sebagai harta karun," balas Sunu sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

Deva mengalihkan pandangannya kepada Sunu. Tatapan yang dikeluarkan olehnya sepeti mengisyaratkan wajah kesalnya.

"Jika hal itu berlangsung, tentu saja kau tidak akan bisa ditakdirkan untuk menikah," lanjut Sunu sambil berpindah tempat kembali ke hadapan Deva.

Alis sebelah kanan milik Deva terangkat. "Aku sudah bertunangan."

Sunu tiba-tiba berhenti bergerak. Dia seperti sedang mencerna kata-kata dari sahabatnya itu. "Apa katamu? Kau bertunangan?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku