Luthfi Arya Al-Farabi adalah seorang santri di salah satu pesantren terkenal yang kini, tengah menjalani masa pengabdiannya selama bertahun-tahun di sebuah pelosok desa. Selain pengabdiannya itu, dia juga memiliki satu niat kepada seorang wanita untuk mempersuntingnya setelah ia pulang ke kampung halamannya nanti. Semua berjalan lancar dan baik-baik saja. Hingga ketika di perjalanan pulang, tiba-tiba dia dihampiri seorang pria misterius sambil membawakan sepucuk kartu berwarna hitam. Kartu itu tanpa nama pengirim. Yang ada, dirinya hanya mendapati sebuah alamat tak dikenal disertai nama dirinya yang terpampang jelas. Akankah Luthfi mencari titik alamat itu berada? Atau dia lebih memilih pulang menemui keluarga dan cintanya?
Tak perlu dipaksakan terlalu dalam. Sekuat apa pun kau berjuang, kau akan tetap mundur jika dia yang kau kejar adalah dia yang bukan menjadi takdir pilihan-Nya.
...
Tak seperti biasanya, langit hari ini terlihat mendung berkabut. Banyak para manusia yang berharap hujan segera turun karena kekeringan telah melanda daerah itu selama dua bulan.
Banyak sawah yang gagal panen, bahkan air sungai pun turut mengering. Entah ke mana para ikan itu pergi padahal, anak-anak seringkali memancing di sana untuk kemudian dibakar dengan bumbu seadanya bersama kawan-kawan.
Dedaunan pun banyak yang kering kerontang. Rasa haus tak mampu disangkal lagi oleh mereka yang sedang bekerja di luar ruangan. Apalagi ketika keluar memakai baju pendek, kulit seperti terbakar karena panasnya yang begitu menyengat.
"Aduh. Ini gimana ya?" seorang pria bergerutu tatkala melihat air yang keluar dari keran seperti ekor tikus. Kecil dan kadang tersendat-sendat.
Berkali-kali dia menyalakan lalu mematikan kerannya berulang kali dengan harap airnya bisa tiba-tiba muncul dengan deras.
Meski dia sendiri tahu apa yang dia lakukan, tentunya tak akan berarti.
Justru mungkin kerannya yang akan rusak.
"Artha?" salah seorang pria keluar dari kamar dan menemui temannya yang kesal.
Pria itu memakai handuk dan mulutnya penuh busa odol.
Tak hanya itu.
Kepalanya pun masih dipenuhi busa sampo.
"Astagfirullah. Kenapa?" dia terkejut ketika melihat pintu kamar mandinya terbuka dan sudah mendapati temannya berada dalam keadaan seperti itu.
"Tolong bantu sebentar, boleh?" ucapnya agak tak jelas karena sikat giginya masih berada di mulutnya. "Masih tak ada air."
Pria berkoko putih bernama Luthfi ini, dia masuk ke kamar mandi untuk memeriksa kondisi keran yang ternyata airnya masih kecil.
"Waduh. Terus gimana ya? Mana kamu sudah siap. Takut ketinggalan solat Jumat," pekik Artha yang kini tengah kebingungan.
Waktu sebenarnya masih menunjukkan pukul sebelas. Meski cuaca di luar sudah terlihat mendung, tapi tetap saja belum ada tanda-tanda hujan akan turun.
"Sebentar. Aku bawakan airnya di sumur ya," Luthfi menurunkan mesin katrol agar embernya bisa turun ke bawah.
Kebetulan jarak sumur dan kamar mandi tak terlalu jauh. Jadi, Luthfi bisa dengan mudah mengambil air ketika berada dalam situasi genting seperti ini.
Beberapa ember telah terisi air. Dengan cekatan, Luthfi membantu temannya untuk menyimpan ember-ember itu ke dalam kamar mandi.
"Aku tak tunggu di depan ya."
"Iya. Terima kasih banyak, Fi," Artha menutup pintu.
Luthfi mengangguk dan beranjak pergi ke depan asrama sambil duduk menunggu di halaman rumah.
Dia memperhatikan awan yang masih mendung. Tak seperti biasanya hari ini terlihat begitu berbeda dari hari-hari yang lain.
Waktu masih menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit. Masih ada waktu bagi dirinya untuk menunggu dengan harap semoga hujannya tak turun sebelum dia sampai ke Masjid bersama Artha.
Jarak dari pondok ke Masjid memang tak terlalu jauh. Tapi tetap saja kalau hujan, baju dirinya pasti basah karena payung rata-rata berada di asrama wanita.
Sesekali juga, Artha memeriksa ponsel dan menghela napas tatkala mendapati sebuah lingkaran merah berada di kalender ponselnya.
Artinya, sudah dua puluh hari dia belum membalas suratnya jua.
Ada rasa khawatir yang berlebih karena takut, wanita yang ada di kampungnya itu sedang berada dalam situasi yang genting atau tak baik-baik saja.
Sebenarnya Luthfi memiliki ponsel. Namun dia tak bisa saling mengabari lewat online karena wanita itu tak memiliki benda yang sama.
Kampungnya agak pelosok. Jadi sinyal kurang masuk sehingga orang-orang memutuskan untuk tak memiliki ponsel daripada memilikinya.
Percuma.
Ketika pulang ke kampung, Luthfi harus menaiki pohon agar dirinya bisa saling bertukar kabar dengan para guru yang ada di pondoknya. Tak ada lagi tempat yang bisa ia kunjungi untuk mencari sinyal selain di atas pohon.
"Hei."
Pria itu terkejut tatkala Artha sudah berada di belakangnya.
"Ya Allah, Artha. Kebiasaan!"
Artha tertawa, "Maaf maaf. Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu. Kenapa?"
Luthfi membalikkan badannya. Alasan utama dia seperti itu, tiba-tiba membuatnya terdiam.
Wajah wanita yang benar-benar ia rindukan, sudah terus bergentayangan di kepalanya.
Andai jika dirinya bisa saling berkirim pesan lewat hati, mungkin kerinduannya tidak akan separah ini.
"Zira ya?" Artha sudah tahu pikiran yang ada di kepala Luthfi.
Luthfi tersenyum, "Sudah dua puluh hari dia belum balas surat yang aku kirim. Biasanya kalau aku kirim surat ke dia, tiga hari kemudian aku sudah dapat balasannya lagi."
"Iya juga ya. Kirim surat dari sini ke rumah dia kan tak terlalu lama? Apa mungkin belum diantar ke rumahnya?"
"Kalau itu aku ragu. Tapi kan, abang pos yang selalu datang ke sini sudah jadi langganan kita. Kamu juga kalau kirim surat ke keluarga sering dititipkan ke beliau."
"Ah iya. Benar juga. Berarti...," dia berpikir sejenak, "Permasalahannya ada di Zira?"
Luthfi mengendikan bahu, "Aku tak tahu."
Artha tersenyum lalu menepuk punggung Luthfi. "Yowes. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin dia ada kesibukan dan belum sempat memberi kabar. Kamu harus percaya kalau Zira pasti bakal balas surat. Dia wanita yang baik dan bisa menjaga janji. Insya Allah."
"Tapi aku sedikit khawatir. Bagaimana kalau aku kirim surat lagi ke dia?"
"Menurut aku jangan dulu, Fi." Artha memberi saran. "Lebih baik kita tunggu tiga sampai empat hari ke depan dulu, ya. Kalau misal dia masih belum kirim surat, ya terserah kamu mau kirim suratnya lagi ataupun bagaimana."
Luthfi menyetujui saran Artha. Dia juga enggan terburu-buru untuk semua itu. Tak selamanya keadaan harus berpihak baik kepadanya, karena Luthfi tak tahu bagaimana kondisi Zira di sana.
Jalanan kecil mereka susuri untuk menempuh masjid yang sudah menyetel tilawah sejak pukul sepuluh yang lalu. Ada beberapa teman yang tak sengaja bertemu juga di perjalanan. Mereka berjalan sama-sama, dibalut dengan kemeja putih dan wewangian sederhana yang cukup membuat mereka terlihat rapi dan bersih.
"Oke. Sekarang agak tenang?" tanya Artha kemudian.
Luthfi mengangguk.
"Ya sudah. Jangan terlalu khawatir lagi ya. Kita doakan saja yang terbaik untuk Zira."
"Insya Allah," Lutfhi tersenyum tipis sambil membenarkan sarungnya yang sedikit longgar. Meski masih ada sedikit perasaan tak enak, seberusaha mungkin dia menepis semua keadaan itu.
Ini hari Jumat. Hari terbaik umat muslim sekaligus menjadi hari paling menyenangkan bagi Luthfi. Dia enggan memikirkan suatu hal hanya untuk apa-apa yang tak pasti.
Seberusaha mungkin dia terus beristighfar sambil menunggu solat Jumat tiba. Sesekali, Artha melirik keadaan Luthfi yang tampak fokus berzikir.
Pria itu tersenyum.
Meski Luthfi tak banyak bercerita, tapi dia tahu hatinya tengah merasakan apa.
...
Buku lain oleh Siti Maisyaroh
Selebihnya