Tidak ada yang tahu seperti apa itu cinta hingga ketika tanpa disadari cintamu dihargai sebungkus rokok. Johnson Bel merasakan kematian Yume pantas diberikan tapi cara apa yang bisa membuat Yume bertekuk lutut di bawah tatapan dunianya. Note. Cover berasal dari pinterest atau canva atau kumpulan foto pribadi tergantung isi cerita.
Beberapa lama duduk membuatnya pegal di bagian pinggang, tumpukan dokumen semakin menggunung. Membosankan. Ini sudah dua minggu sejak kepulangan dirinya dari Singapura, Johnson hanya bisa mengomel dalam hati.
tok... tok... , Maxel mengetuk dengan malas. Pemandangan Johnson sibuk menambah daftar ketidakberdayaan.
"Tidak makan siang?"
"Tidak!"
"Adeline sedang menunggu kita di restoran seperti biasa. Kamu--- tidak ingin bertemu dengannya?"
"Tidak! pekerjaan menumpuk"
"Ayolah Johnson..."
Ajakan dari Maxel membuat kepala Johnson tidak bergeming dari dokumen di depannya. Ini salahnya terlalu memberikan harapan yang salah pada Adelin, seharusnya sejak awal ia tidak lakukan tindakan apapun. Maxel melihatnya dengan perasaan penat, siapa suruh menyukai orang yang tidak mencintainya.
"Lain kali saja, katakan permintaan maaf ku padanya"
"Johnson, kamu sudah menghindari selama dua minggu. Kamu tahu sifat Adelin"
"Kamu tahu jelas aku sibuk, kamu bisa katakan itu jika kamu kesusahan"
"Adelin tidak akan menyukai ini "
"Aku masih atasanmu, Maxel. Ini kantor"
Kalimat Johnson membuat Maxel menggaruk rambutnya dengan perasaan kesal, kalau begini Adelin bisa mengamuk padanya, cari masalah gerutu dalam hati.
"Pergi dulu"
Johnson tidak menanggapi perkataan Maxel. Badannya diputar ke arah belakang, jendela besar di belakangnya menampilkan pemandangan taman yang tertata indah.
Adelin dan Maxel merupakan teman masa SMA. Mereka bertiga sudah lama mengenal keluarga masing-masing sehingga terkadang ada perjodohan yang disengaja dari pihak-pihak tertentu. Johnson tidak suka itu.
Tiba-tiba, matanya melihat sosok yang seperti sedang meloncat kesana kemari. Menarik. Perempuan tersebut seperti menghindari genangan air dan berulangkali terlihat mulutnya komat kamit bak menyebutkan mantera, membuatnya geli. Johnson segera bangkit, mengambil jaket motor yang tergeletak di kursinya. Sekretaris menoleh ke arahnya ketika dilihat Johnson keluar dengan memakai jaket.
"Bos..."
"Keluar dulu, jadwal hari ini, undur satu jam"
Johnson bersyukur letak ruangannya berada di lantai satu. Ia tak terlalu suka di lantai atas. Tampak lalu lalang menyergap dirinya begitu keluar dari gedung kantor. Suara berisik terdengar akrab di telinga. Langkahnya tidak terlalu cepat, mata menjelajahi taman belakang gedung kantor miliknya. Dimana perempuan itu pikirnya. Bau udara bersih menguat, sungguh sejuk.
"Katakan, apa salahku! kamu bajingan tua!"
Johnson mengalihkan pandangannya ke arah suara yang terdengar kencang di sudut taman, sedikit tersembunyi dari pandangan orang. Tertegun. Perempuan itu terlihat sangat muda pikirnya.
"Apa kamu bilang? katakan sekali lagi"
Wajah Johnson mengerut begitu menyadari perempuan tersebut ternyata berbicara melalui ponselnya. Tidak mau terkesan menguping, Johnson cepat membeli makanan atau minuman tak jauh dari situ. Usai membayar, iapun secepatnya kembali ke arah tadi.
Perempuan itu diam di bangku taman, terlihat air matanya mengalir terputus-putus pada pipi. Wajahnya terlihat tirus, bibirnya mungil dengan sedikit polesan lipstik berwarna peach, badannya kurus ditutupi jaket berwarna hitam, rambutnya panjang terurai berantakan di belakang bahunya, matanya? Johnson ingin tahu tapi tertutup.
"Maaf, apakah ada orang duduk disini?"
Kepalanya menggeleng, Johnson duduk setelah meletakan makanan dan minuman yang dibelinya. Perempuan di sampingnya sedikit bergeser ke arah kanan, tampak jelas berikan jarak.
"Apa kamu--- baik-baik saja?"
"Aku-- "
Suaranya terdengar halus membuat Johnson terkejut, berbeda dari yang didengarnya tadi.
"Kata ibuku, sehabis menangis perut pasti kosong, makanlah"
Gerakan melihat ke arahnya, Johnson dibuat terkejut sekali lagi. Matanya berwarna coklat seperti anak kucing, cantik sekali.
"Benarkah ibumu berkata begitu?"
"Iya"
"Mengapa kamu tidak makan? apakah kamu tidak menyukainya?"
"Lima menit lagi aku ada rapat, makan juga tidak bisa habis secepat itu"
"Aku-- "
"Makanlah, aku tidak mau buang-buang makanan. Aku rasa, kamu lapar setelah sejak tadi menangis"
"Maaf, apakah aku menganggu?"
"Tidak, taman ini bebas. Kamu kerja dimana?"
"Dibelakang taman ini"
"Maksudmu?"
"Kantor J&B"
"Bagian apa?"
"Cleaning servis"
Johnson menelan kalimat berikutnya begitu tahu bagiannya. Perempuan disampingnya meraih makanan milik Johnson, "Ini sangat banyak" gumamnya menunduk penuh haru, akhirnya bisa makan yang layak.
"Siapa namamu?"
"Yume"
Yume mulai makan dengan lahap, air matanya jatuh lagi membuat Johnson serba salah. Ini tak terduga.
"Maaf, aku-- sudah lama tidak makan yang seperti ini"
Johnson tidak tahu harus bicara apa, diam merupakan pilihan yang tepat saat ini. Gelas minuman digeser oleh Johnson agar Yume dapat meraihnya dengan mudah.
"Terima kasih"
"Sama-sama. Namamu siapa? maaf, aku tidak sopan. Aku-- "
"Panggil aku John"
"Kamu kerja dimana? Apakah di daerah sini juga? aku tidak pernah melihatmu"
"Aku tamu di sini. Lapar membuatku duduk sementara waktu. Apakah kamu sudah selesai? aku harus kembali kerja"
"Sudah, terima kasih"
Johnson bangkit, melihat ke arah Yume yang juga berdiri, ditangannya sampah bekas makanan dan minumannya.
"Kata ibuku, masalah apapun selalu ada jalan keluarnya. Aku harap, kamu bisa bersemangat lagi"
Yume memandang Johnson dengan bingung, mereka orang asing tapi mengapa begitu baik padanya. Johnson memasukan kedua tangan ke balik saku jaketnya, "Jangan banyak berfikir, aku hanya orang asing" ujarnya pelan mulai tinggalkan Yume yang mematung.
Johnson tersenyum bebas, ini seperti mendapatkan pencerahan yang fenomenal di hari sibuk. Namun, perlahan-lahan memudar begitu menyadari siapa yang berjalan cepat ke arahnya.
"Johnson..."
Suaranya melengking, Adelin berlari-lari ke arahnya dengan perasaan senang di dampingi Maxel yang berteriak-teriak mengingatkan jika mengunakan sepatu high heels setinggi 7cm bisa terjatuh dan
bruk!
Sigap Johnson menangkap badan padat Adelin supaya tidak terjadi bencana, Maxel menarik nafas kelelahan.
"Adelin, jaga sikap. Kamu-- yang seperti ini bisa mencelakai orang tidak bersalah"
"Johnson, kamu sedang apa disini? aku dan Maxel baru saja selesai makan siang"
Sikap acuh tak acuh di tunjukan Adelin terhadap Maxel bikin menambah kekesalan hatinya. Sungguh berat. Johnson perlahan-lahan melepaskan Adelin hingga berdiri stabil.
"Makan siang. Apakah enak? mengapa jalan kaki? kalian makan dimana?"
"Uh, si bodoh ini tidak mendapatkan tempat parkir di gedung, Johnson sebaiknya kamu pikirkan pegawai baru mulai banyak, parkiran sempit"
"Oh"
"Adelin, kamu tidak bekerja disini, untuk apa kamu ribut masalah parkiran"
"Maxel, tiap hari aku makan siang bersama kalian. Aku tidak mau jalan kaki terus menerus, capek"
Suara manja Adelin menyebabkan Maxel menutup mulutnya, Johnson meliriknya berikan peringatan. Tepat di saat itu, ia melihat Yume berjalan cepat arah gedung.
"Adelin, kamu sebaiknya pulang. Aku banyak pekerjaan hari ini"
"Tidak mau, aku akan menemanimu. Aku bisa kok, tidak akan menganggu"
"Adelin..."
"Please, mau ya. Johnson, kita lama tidak bertemu, apakah kamu tidak merindukan? bagaimana sehabis pulang kerja kita pergi ke klub biasanya"
Adelin berputar arah menghadap Maxel dengan mata di kedip-kedip, Maxel menghela nafas. Betapa tidak mudahnya menjaga wanita kesayangannya yang tidak peka.
"Benar juga, usulan Adelin bagus"
"Ya... ya..., mau ya ..."
Johnson ingin sekali memotong Maxel jadi sepuluh, benar-benar teman macam apa ini, bisa-bisanya mengikuti permintaan Adelin.
"Aku ada rapat"
"Johnson, kamu harus menjagaku, Maxel juga"
"Adelin, kamu sudah besar. Untuk apa dijaga lagi? jangan buat masalah"
"Kata ibuku dan bibi"
"Bibi?"
"Ibumu Johnson dan Maxel"
Serempak mengumpat secara kaku dalam hati masing-masing, Johnson berjalan cepat tinggalkan Adelin. Maxel mencelos melihat Adelin secepat kilat mengejar, "Adelin, sampai kapan kamu melihatku" batinnya resah. Terpaksa mengikuti dari belakang, pekerjaan miliknya juga menumpuk.
Buku lain oleh Natalia Sinta
Selebihnya