Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
417
Penayangan
1
Bab

Aku menemukanmu, si mata teduh yang membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Pemilik jemari mungil pengisi ruang jariku yang kosong. Begitu pas, tidak ingin tergantikan. Bisakah kita berjanji untuk tidak menyerah suatu hati nanti? Bisakah bertahan sekali lagi jika terlanjur ingkar? Tetaplah bersamaku, kita temukan bersama apa itu bahagia. -Dave Gibran Dwika-

Bab 1 Akan bertemu

Matahari mulai meninggi, sedikit cahaya masuk melalui celah jendela. Sinarnya menerpa lembut, mengenai wajah ayu yang masih terbuai dalam dunia mimpi. Ia menggeliat malas lalu menenggelamkan diri ke dalam selimut karena rasa hangat bercampur silau, ditambah suara ketukan pintu yang mengusik tidur nyenyaknya saat ini.

"Zea, bangun sayang. Udah siang, kamu gak kuliah?" Ucap Luna, mengetuk pintu kamar anak sulungnya.

"Kakak belom bangun juga Mom? Sini biar Cala yang bangunin! Mommy sarapan aja sama Daddy." Ujar Calandra, anak bungsu di keluarga tersebut. Ia sudah terlihat rapi dengan seragam putih biru tersebut.

"Ya udah, tolong bangunin Kak Zea ya, nanti dia gak sempat sarapan karena buru-buru."

Cala mengangguk cepat sembari memamerkan senyum manisnya pada Sang Ibu, namun seketika senyum manis itu berubah menjadi senyum licik dan curang saat Ibunya kembali ke ruang makan. Cala bergegas berlari ke kamarnya untuk mengambil sesuatu.

Bocah itu mengeluarkan sebatang petasan kecil dan korek api. Ia lalu menyalakan petasan tersebut dan melemparnya ke dalam kamar Zea, lewat celah bawah pintu hingga petasan itu berhasil masuk ke dalam kamar Sang Kakak.

Cala langsung berlari ke sudut ruangan sambil menutup kedua telinga dengan senyum bahagia di wajah tampannya. Tidak lama suara ledakan terdengar nyaring bahkan sampai ke dapur, membuat Luna dan El kaget.

"CALLLLLLLLLLLAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!" Teriak Zea sambil membuka pintu kamarnya, asap tebal pun ikut keluar dari dalam kamar Zea.

Mendengar teriakan Zea, El dan Luna tau, jika suara ledakkan tadi adalah ulah si anak bungsu yang memang terkenal sangat jahil apalagi dengan Kakaknya.

Cala tertawa puas lalu bergegas pergi menuruni anak tangga sebelum Zea menangkapnya, namun langkahnya terhenti saat kedua orang tuanya sudah berdiri di sana.

"Balik ke atas! Jelasin sama Daddy dan Mommy kamu apakan lagi Kakak?" Ucap El tegas memasang wajah serius hingga membuat Cala terdiam dan menuruti perintah Ayahnya.

"Daddy! Mommy! Cala lempar petasan ke kamar Zea!" Wajah Zea nampak sangat marah saat mengadukan kenakalan Sang Adik pada kedua orang tuanya.

"Ya ampun Cala! Kamu kelewatan banget sih. Kamu kan tau itu bahaya! Kalo petasannya kena badan Kak Zea gimana?" Suara Luna meninggi, tidak habis pikir dengan kelakuan Cala.

"Tapi kan petasannya gak Cala lempar, Mom. Cuma Cala gelindingin lewat bawah pintu, gak mungkin kena badan Kakak, kecuali Kakak tidurnya geletakan di lantai.

"Tapi tetap aja bahaya, bego!" Sambar Zea yang sudah hilang kesabaran menghadapi semua kejahilan yang di lakukan Cala padanya.

"Zea! Mommy udah bilang, jangan pernah mengumpat sama adik kamu."

"Tapi Cala udah kelewatan, Mom."

El menarik nafas panjang sambil memijat dahinya, suasana ribut seperti sekarang ini, bukan hal yang baru di rumah tersebut. Setiap hari bahkan setiap menit, kedua buah hatinya itu bertengkar bagai kucing dan tikus.

"STOP! Daddy gak mau kita semua terlambat karena keributan pagi ini. Cala! Minta maaf sama Kakak, pulang sekolah kumpulin semua petasan dalam bentuk apa pun, yang kamu punya lalu taruh di meja kerja Daddy!"

"Iya, Daddy," sahutnya pelan, tidak berani melihat wajah Sang Ayah.

"Maaf," ucap Cala, namun enggan melihat ke arah Kakaknya. Bocah lelaki itu terlalu gengsi untuk melakukan permintaan maaf secara sungguh-sungguh.

"Sekali lagi lo ganggu gue, gue jual lo di toko online!" Ancam Zea yang masih merasa kesal.

"Udah! buruan mandi sana," suruh Luna, menyudahi sebelum kedua anaknya kembali beradu mulut.

"Bocah songong!" Ucap Zea menjitak kepala Cala lalu berlari cepat ke kamar sebelum dimarahi kedua orang tuanya. Luna dan El hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan kedua buah hati mereka.

"Ayo turun, kita sarapan. Kamu juga seneng banget sih nyari masalah sama Kakak," ucap El sambil mengacak-acak rambut anaknya.

***

"Dad, hari ini jangan sampai lupa nonton Bang Dave," Ucap Cala sambil mengunyah makanannya.

"Oh iya! Hari ini balapan terakhir Dave sebelum pulang ke Indonesia. Wah! Mesti kosongin 1 jam khusus nih buat nonton Dave," sahut El tersenyum bangga saat menyebut nama Dave.

"Mommy juga mau nonton sama Bunda Dara," sambung Luna tidak kalah sumringah.

Zea mendengar percakapan keluarganya, rasa rindu tiba-tiba muncul dalam hatinya akan sosok Dave, pria ketus yang dulu kerap kali berkelahi dengannya. Zea melangkah pelan sambil terus menyimak obrolan kedua orang tua serta Adiknya, ia tidak ingin ada satu orang pun yang tau tentang hal itu.

"Kakak ngapain berdiri di sana?" Tegur Cala yang berhasil memergoki Zea, saat sedang asik mendengar semua hal tentang Dave. Kedua orang tuanya pun langsung melihat ke arah Zea, membuat gadis itu merasa kikuk.

"A....apa?! Kenapa emang kalo gue mau berdiri di sini? Gak boleh?" Sahutnya salah tingkah, namun mencoba untuk tetap bersikap normal.

"Dih! Biasa aja kali jawabnya gak usah ngegas gitu," celetuk Cala, lalu melanjutkan sarapannya.

"Ngapain?" Tanya El, ikut penasaran.

"Mau benerin tali sepatu, Daddy," sahutnya beralasan, lalu membungkuk membetulkan tali sepatu yang bahkan tidak ada masalah sama sekali. Ia menarik nafas lega, dan seger bergabung ke meja makan.

"Hari ini hari terakhir Dave balapan, kamu gak mau nonton? Nonton lah sesekali, di jamin kamu pasti bakalan langsung suka sama Dave." Mendengar ucapan Sang Ayah, Zea langsung tersedak air putih yang sedang ia minum.

"Pelan-pelan, Kak."

"I...iya, Mom," sahut Zea terbata.

"Selamat pagi Dad, Mom, Cala, dan Zea," sapa Davin Gibrandara Pratama, anak sulung dari Daniel Gibran dan Dara Vilia yang merupakan sahabat terdekat EL dan juga Luna.

Davin merupakan saudara kembar Dave. Ikatan persahabatan yang melebihi hubungan keluarga antara El dan Daniel membuat anak-anak mereka sangat akrab dan dekat. Davin juga di anggap sebagai anak tertua dalam keluarga El.

"Vin, sini gabung," sahut El tersenyum.

"Selamat pagi, Bang!" Sahut Cala dan Zea secara bersamaan, keduanya lalu saling melempar tatapan sinis satu sama lain.

"Selamat pagi sayang, udah sarapan?" Sambut Luna hangat sambil memeluk anak angkatnya tersebut.

"Udah, Mommy," sahut Davin dengan sopan. Pria itu lalu duduk di sebelah Zea.

"Kamu berangkat sama Daddy atau sama Bang Davin?"

"Sama Bang Davin aja. Males satu mobil sama biang rusuh," sahut Zea menghabiskan makanannya dengan cepat.

"Syukur deh gak ngerepotin," sahut Cala, tidak mau kalah.

"Bisa gak sih kalian gak ribut, satu jam aja." Luna melanggengkan kepalanya sambil menghela nafas panjang.

"Ayo! Bang kita berangkat sekarang," ajak Zea setelah menghabiskan sarapannya dengan cepat.

"Dih! Baru juga Bang Davin duduk," celetuk Cala yang selalu mencari masalah dengan Kakaknya.

"Bodo amat!" Sahut Zea menarik Davin yang tertawa melihat kelakuan keduanya.

"Mom, Dad. Kita berangkat duluan ya," pamit Zea dan Davin sambil memeluk kedua orang tuanya, lalu mereka segera pergi.

***

"Hari ini, hari terakhir Dave ikut balapan," ucap Davin memulai obrolan saat mereka dalam perjalan.

"Kok bisa jadi yang terakhir? Karirnya kan lagi naik, sayang sih sebenernya kalo berhenti." Selama Dave tinggal di luar negeri, mereka sangat jarang berkomunikasi.

"Udah selesai main-mainnya. Ayah sama bunda gak ngelarang dia sih, tapi kuliahnya terbengkalai karena balapan. Itu juga maunya Dave sendiri kok, jadi hari ini bakal jadi balapan terakhir dia." Jelas Davin, Zea mengangguk pelan. Sebenarnya ia sangat merindukan sosok Dave yang selalu menjadi musuhnya saat mereka masih berusia kanak-kanak. Walau begitu, bukan berarti mereka berdua tidak memiliki kenangan manis.

"Oh gitu, terus dia lanjutin kuliahnya di mana?"

"Ya, di sini," jawab Davin singkat membuat Zea kaget.

"Di sini?"

"Iya! Di sini. Di kampus kita, Ayah udah urus semua file kepindahan Dave. Tinggal tunggu Dave pulang." Zea terdiam, hatinya tiba-tiba ditumbuhi ribuan bunga, ia menyunggingkan sedikit senyuman.

"Kenapa?" Tanya Davin melihat Zea yang diam.

"Gak! Gak apa-apa," sahut Zea tersenyum pada Davin.

***

"Jadi ini bakalan balapan terakhir yang di ikuti Dave? Sayang banget sih sebenernya," ucap El yang tengah asik mengobrol dengan sahabatnya, Daniel.

"Iya. Dave sendiri sih yang mau resign dari dunia balap dan fokus sama kuliahnya. Gua sama Dara gak pernah nuntut Devan dan Davin harus begini atau begitu, harus jadi ini atau jadi itu."

"Hmm, lu bener. Mereka punya cita-citanya sendiri, tugas kita sebagai orang tua cuma mengarahkan, mendukung dan mendampingi. Zea juga kayaknya tertarik sama dunia photography dan modeling. Mommy nya rada gak setuju sih tapi gue bilang, selama Zea gak lepas kontrol itu gak masalah."

"BTW, si bangke ngomong gak sama lu kalo dia juga bakal balik ke Indonesia," tanya Daniel pada El.

"Iya, tapi gak ngomong tepatnya kapan. Bangke emang! Gak pulang selama belasan tahun, sekali mau pulang gak ngabarin kapan waktunya."

"Terus aja sumpahin gue! BANGKE lo pada!" El dan Daniel langsung melihat ke arah pintu, Keenan sudah berdiri di sana, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Sh*t! Lo sia*an, kapan balik? kenapa gak ngabarin kita?" Kedua pria itu langsung memeluk Keenan, melepas rindu setelah tidak bertemu belasan tahun lamanya.

"Gue udah tiga hari di Indonesia. Sengaja gak ngabarin, pengen tau kalian inget gue apa gak," sahut Keenan santai, seketika tinjuan kecil melayang ke arah perutnya. Hadiah kecil dari El atas kepulangannya.

"Bang.....ke lo gak ilang-ilang sumpah!" Umpat Keenan memegangi perutnya.

"Bangke mana lu sama gue? Udah di sini gak ngabarin! Oke gue bangke, tapi lo gak ada akhlak!" Sahut El santai sambil berjalan kearah sofa.

"Lo sendirian?" Tanya Daniel sambil mengambil minuman soda di dalam kulkas.

"Gak lah! Anak istri gue dirumah. Niatnya entar malam mau ngajak kalian ngumpul bisa gak?" Tanya Keenan sambil membuka sekaleng minuman dingin.

"Malam lusa aja gimana? Anak gue balik dari Jepang besok siang."

"Dave? Woh idola anak gue tuh. Beneran dia bakalan balik?! Oke setuju! Anak gue pasti seneng banget bisa ketemu langsung sama idolanya. Gak tau aja dia kalo idolanya itu adalah haters garis depan, Bapaknya." Keenan tertawa, mengingat Dave sangat tidak menyukainya sejak dulu.

"Iya. Dia balik dan bakalan tinggal disini lanjutin kuliahnya." Jawab Daniel.

"Oke deal! Kita ngumpul pas Dave balik," sahut Keenan setuju.

*Bersambung.......

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku