Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Perjuangan Seorang Kakak

Perjuangan Seorang Kakak

Erlangga

5.0
Komentar
2
Penayangan
1
Bab

Andi adalah seorang anak laki - laki yang berjuang keras demi kedua adiknya Pendi dan Rani, agar mereka sampai menjadi sarjana, dan pada akhirnya Andi terkena lumpuh. !

Bab 1 Badai Menghantam

Suatu pagi yang cerah, Pak Ruslan bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja muncul di ufuk timur, memancarkan sinar keemasan yang menyinari laut yang tenang. Angin pagi bertiup sepoi-sepoi, membawa harum udara laut yang segar. Seperti biasa, ia menyiapkan perahunya, memeriksa jaring ikan yang sudah dipersiapkan sejak malam sebelumnya. Hari itu, ia berencana untuk melaut lebih jauh dari biasanya, berharap mendapatkan tangkapan yang lebih banyak.

Dengan perahu kecilnya yang sederhana, Pak Ruslan berangkat seorang diri. Istrinya, Ibu Siti, yang tengah menyiapkan sarapan untuk anak-anak mereka, melihat suaminya berangkat dengan senyum, berharap hasil tangkapan hari itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Anak-anaknya, Andi, Pendi, dan Rani, masih terlelap di tempat tidur mereka, tidak menyadari bahwa ayah mereka akan menghadapi ujian besar di lautan.

Pak Ruslan memulai perjalanan melaut, berlayar menjauh dari pantai. Laut tampak tenang, seolah memberi tanda bahwa hari itu akan menjadi hari yang penuh harapan. Sesekali, ia memandang langit yang biru, namun tidak ada tanda-tanda cuaca buruk. Ia terus maju, semakin jauh ke tengah laut, berharap mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Pikirannya melayang kepada anak-anaknya yang membutuhkan biaya sekolah dan istrinya yang bekerja keras sebagai tukang cuci di rumah orang. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk mereka.

Namun, beberapa jam setelah Pak Ruslan mulai melaut, cuaca mulai berubah tanpa peringatan. Langit yang semula cerah mulai tertutup awan hitam pekat. Angin yang tadinya lembut, tiba-tiba bertiup kencang, membawa suasana yang mencekam. Pak Ruslan, yang sudah berpengalaman melaut, mulai merasakan tanda-tanda buruk. Awan yang gelap menggulung di atasnya, dan angin semakin kencang. Laut yang tadinya tenang mulai bergelombang, menciptakan riak-riak kecil yang perlahan-lahan menjadi besar.

Pak Ruslan mencoba tetap tenang, berusaha mengarahkan perahunya kembali ke pantai, namun badai datang begitu cepat. Ombak pertama yang besar datang menghantam perahunya dengan keras. Perahu kecil itu bergetar hebat, hampir terbalik karena kuatnya gelombang. Pak Ruslan berpegangan erat pada dayung dan berusaha menjaga keseimbangan perahu. Ia tahu bahwa ia harus segera mencari perlindungan, namun badai semakin menjadi.

Angin yang semakin kencang memaksa perahu bergerak tak terkendali. Laut yang semula terlihat indah kini menjadi medan yang sangat berbahaya. Gelombang tinggi datang silih berganti, dan hujan deras mulai turun, membuat pandangan Pak Ruslan terbatas. Ia berjuang sekuat tenaga, mencoba mengendalikan perahunya yang mulai terhantam gelombang dengan semakin keras.

Pak Ruslan mulai merasa khawatir. Laut yang tenang tadi kini berubah menjadi lautan yang penuh bahaya. Ia mencoba berteriak meminta bantuan, namun suara angin dan deru ombak menyelimuti segalanya. Ia tahu bahwa ia harus segera kembali ke pantai, namun arah perahu semakin sulit dikendalikan. Gelombang besar yang datang tiba-tiba menghantam samping perahu, membuatnya hampir terbalik. Pak Ruslan berusaha mengatur perahu sebaik mungkin, namun gelombang terus menerjang, hampir membuat perahunya tenggelam.

Di tengah-tengah badai yang semakin hebat, Pak Ruslan terlempar dari perahu. Ia terjatuh ke laut, terhempas oleh gelombang besar yang datang begitu cepat. Tubuhnya terseret arus yang kuat, dan meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap mengapung, laut yang begitu luas dan gelap membuatnya hampir kehilangan harapan. Hujan deras mengguyur tubuhnya, dan udara terasa dingin menusuk tulang. Dalam kepanikan dan kelelahan, ia hanya bisa berusaha bertahan.

Di antara gemuruh badai, Pak Ruslan teringat pada keluarganya. Istrinya dan anak-anaknya yang menunggu di rumah kecil mereka, dan harapan-harapan yang belum sempat ia wujudkan. Ia berdoa dalam hati, memohon keselamatan dan berharap bisa kembali ke daratan dengan selamat.

Beberapa jam berlalu, dan badai akhirnya mulai mereda. Angin yang tadinya sangat kencang mulai berangsur-angsur tenang, meskipun masih ada riak-riak kecil di permukaan laut. Dengan kekuatan yang tersisa, Pak Ruslan mencoba berenang, meraih tepi pantai yang tampak jauh di kejauhan. Ia merasa sangat lelah, hampir tidak bisa bergerak, namun semangat untuk kembali kepada keluarganya memberi kekuatan.

Setelah berjuang melawan arus, Pak Ruslan akhirnya berhasil mencapai pulau. Tubuhnya lemas, penuh luka, dan lelah luar biasa. Namun, ia bersyukur bisa selamat. Meskipun perahunya hilang ditelan badai, ia merasa lega karena masih bisa bertahan hidup.

Setelah badai yang dahsyat itu, Pak Ruslan terdampar di sebuah pulau yang ia sendiri tidak kenal. Perahu pak ruslanpun telah hilang diterjang ombak besar. Gelombang yang datang begitu kuat memporak-porandakan perahu kecil itu, dan Pak Ruslan hanya bisa menyaksikan perahunya tenggelam sebelum ia sendiri terbawa arus dan terlempar ke sebuah tempat yang asing.

Pak Ruslan terbangun dengan tubuh yang basah kuyup dan kelelahan. Ia merasa pusing dan bingung, tubuhnya kesakitan akibat benturan saat terjatuh ke laut dan bertarung melawan badai. Hujan sudah reda, namun udara masih terasa dingin dan lembab. Ketika ia membuka matanya, yang tampak hanya pepohonan tinggi dan pasir putih yang membentang. Laut di sekitarnya tenang, dan di kejauhan, ia bisa melihat pulau yang lebih besar, namun tidak ada tanda-tanda perahu atau manusia lain.

Dengan susah payah, Pak Ruslan bangkit dari tempat ia terdampar, berusaha berdiri meski tubuhnya terasa sangat lemah. Ia melihat sekelilingnya, berusaha mencari tahu di mana ia berada. Pulau itu terlihat sepi, dan tidak ada jejak manusia yang tampak. Tidak ada rumah atau tempat perlindungan yang bisa ia temui. Yang ada hanya hutan lebat di belakangnya, dan pantai yang memanjang di sepanjang pulau itu.

Pak Ruslan mencoba mengingat kejadian-kejadian sebelumnya-bagaimana badai datang begitu cepat, bagaimana perahunya dihantam gelombang besar, dan akhirnya ia terjatuh ke laut. Ia tidak tahu pasti berapa lama ia telah terombang-ambing di lautan, namun ia merasa sudah cukup lama. Sesekali, ia menatap ke arah pantai yang lebih jauh, berharap bisa menemukan sesuatu yang dikenal, atau setidaknya sebuah tanda bahwa ia bisa pulang. Namun, tidak ada yang familiar.

Sambil menarik napas dalam-dalam, Pak Ruslan mencoba mencari cara untuk bertahan hidup. Ia tahu bahwa ia tidak bisa tinggal diam di pulau ini-ia harus mencari makanan dan air, serta tempat berlindung, atau ia akan semakin lemah. Dengan tenaga yang tersisa, ia berjalan ke arah hutan, berusaha mencari sesuatu yang bisa dimakan. Setiap langkah terasa berat, dan tubuhnya penuh rasa sakit, namun pikirannya terus fokus pada satu hal: bertahan hidup dan kembali pulang.

Di dalam hutan, Pak Ruslan melihat beberapa buah yang tampak seperti kelapa, meskipun ia tidak yakin apakah buah itu bisa dimakan atau tidak. Ia memilih satu dan mencoba memecahnya dengan batu yang ia temukan di dekatnya. Ternyata, kelapa itu bisa dimakan, dan meskipun rasanya sedikit asing, ia merasa sedikit lega bisa mengisi perutnya. Ia terus mencari-cari buah lain yang bisa dimakan, sambil terus berusaha menenangkan pikirannya.

Malam mulai turun, dan Pak Ruslan merasa takut. Ia tidak tahu bagaimana malam akan berlalu di tempat yang asing ini. Hutan yang gelap menambah kecemasan di hatinya, tetapi ia tahu ia harus bertahan. Ia menemukan sebuah tempat berlindung sederhana, sebuah gua kecil di bawah tebing yang bisa memberikan perlindungan sementara. Dengan tubuh yang semakin lelah, ia duduk di dalam gua, berusaha tidur meskipun rasa takut masih menyelimuti hatinya.

Dalam keheningan malam itu, Pak Ruslan memikirkan keluarganya. Istrinya, Ibu Siti, dan anak-anaknya yang pasti cemas menunggunya di rumah. Ia tahu mereka pasti khawatir dan tidak tahu apa yang terjadi padanya. Dengan perasaan yang berat, ia berdoa dalam hati, memohon agar bisa selamat dan kembali kepada keluarganya. Ia juga berharap agar ada seseorang yang menemukan jejaknya atau mengetahui di mana ia berada.

Beberapa hari berlalu, dan Pak Ruslan mulai beradaptasi dengan kehidupan di pulau kecil itu. Setiap hari ia mencari makan dari buah-buahan yang ada, dan sesekali ia pergi ke pantai untuk melihat apakah ada tanda-tanda perahu lewat. Namun, tidak ada yang datang. Laut yang luas dan sepi seolah menutup harapan-harapannya untuk kembali pulang.

Pak Ruslan mulai membuat alat sederhana untuk memancing dengan menggunakan batu tajam yang ia temukan di sepanjang pantai. Ia juga berusaha membuat api dengan cara tradisional, menggesekkan dua batu hingga menghasilkan percikan api. Meski susah dan membutuhkan banyak usaha, ia merasa sedikit lega karena setidaknya ia bisa memasak makanannya dan tetap bertahan hidup.

Hari-hari berlalu dengan sangat lambat. Setiap kali Pak Ruslan melihat ke arah laut, harapan untuk kembali pulang semakin menipis. Ia sadar bahwa ia harus terus berjuang untuk bertahan hidup. Pulau itu tidak ramah, dan ia semakin merasa terisolasi. Namun, meskipun keputusasaan menyelimuti dirinya, Pak Ruslan tahu bahwa ia harus terus berusaha. Keluarganya di rumah masih menunggunya, dan itu yang menjadi alasan utama untuk bertahan hidup.

Di setiap malam yang sunyi, ia selalu berdoa dan berharap semoga badai itu hanya sebuah cobaan, dan suatu hari nanti ia bisa kembali pulang ke rumah, ke keluarga yang sangat ia cintai.

Di kampung yang terletak di pesisir, kecemasan mulai merayapi keluarga Pak Ruslan. Tiga hari sudah berlalu sejak Pak Ruslan berangkat melaut, namun hingga saat ini, ia belum juga pulang. Istri Pak Ruslan, Ibu Siti, yang biasanya selalu menanti suaminya kembali setelah bekerja, merasa gelisah. Setiap kali mendengar suara gelombang atau angin yang keras, hatinya berdegup kencang, membayangkan kemungkinan terburuk. Anak-anak mereka, Andi, Pendi, dan Rani, juga mulai merasa cemas. Andi, anak pertama, yang biasanya lebih banyak diam, kini merasa ada sesuatu yang salah.

Hari demi hari berlalu, dan Pak Ruslan tidak juga muncul. Ibu Siti semakin khawatir, setiap hari ia duduk di depan rumah, menatap laut yang tenang, berharap melihat perahu suaminya muncul di kejauhan. Tapi yang ia lihat hanya samudra luas yang tak berujung. Pendi dan Rani mencoba menghibur ibunya, namun mereka sendiri juga bingung dan takut. Andi, yang selalu menjadi anak yang lebih dewasa, akhirnya tidak bisa tinggal diam.

Hari ketiga setelah Pak Ruslan berangkat, Andi memutuskan untuk bertindak. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan membiarkan keluarganya cemas begini lama tanpa kabar. Ia yakin sesuatu telah terjadi di laut yang membuat ayahnya tidak bisa kembali tepat waktu. Dengan tekad yang kuat, Andi memutuskan untuk pergi ke kantor kepala kampung untuk melaporkan kejadian tersebut. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat, meskipun ia merasa cemas dan takut.

Saat Andi tiba di rumah kepala kampung, Pak Hasan, ia langsung menghadap dengan rasa gelisah. Pak Hasan, seorang pria yang sudah cukup tua dan bijaksana, melihat wajah cemas Andi dan langsung merasa khawatir. "Ada apa, Andi? Kenapa wajahmu pucat seperti itu?" tanya Pak Hasan dengan lembut. Andi yang biasanya pendiam, kali ini berbicara dengan penuh urgensi.

"Pak Hasan, saya khawatir sekali. Sudah tiga hari ayah saya, Pak Ruslan, belum pulang. Ia berangkat melaut seperti biasa, namun tidak ada kabar sama sekali. Ibu sangat khawatir, Pak," kata Andi dengan suara yang bergetar. "Saya takut ada yang tidak beres di laut sana. Ayah tidak pernah terlambat pulang selama ini."

Pak Hasan mendengarkan dengan seksama, wajahnya langsung berubah serius. Ia tahu betul betapa kerasnya kehidupan nelayan, dan jika ada sesuatu yang terjadi di laut, itu bisa sangat berbahaya. "Baik, Andi. Terima kasih sudah datang melapor. Kita harus segera bertindak. Jangan khawatir, kita akan segera mencari tahu di mana Pak Ruslan berada."

Pak Hasan segera mengumpulkan beberapa warga kampung yang juga nelayan dan beberapa orang yang bisa membantu mencari jejak Pak Ruslan. Mereka menyusun rencana untuk mencari keberadaan Pak Ruslan di laut, dengan memperhatikan kondisi cuaca yang baru-baru ini buruk. Mereka juga berencana untuk melaporkan hal ini ke pihak berwenang jika pencarian tidak membuahkan hasil.

Andi, meskipun hanya seorang anak muda, merasa sedikit lega karena kepala kampung segera merespons laporan mereka. Namun, di dalam hati, ia masih merasakan kecemasan yang mendalam. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada ayahnya, dan bayangan buruk terus mengganggu pikirannya. Andi pulang ke rumah dengan membawa kabar bahwa pencarian akan segera dilakukan. Ia berharap semoga pencarian itu membuahkan hasil yang baik.

Sesampainya di rumah, Ibu Siti yang sudah menunggu dengan cemas bertanya, "Bagaimana, Andi? Apa yang Pak Hasan katakan?" Andi mencoba tersenyum, meski hatinya masih penuh dengan kecemasan. "Pak Hasan sudah mendengarkan dan langsung mengatur pencarian. Mereka akan mencari ayah di laut. Kita hanya bisa berdoa, Bu."

Ibu Siti meremas tangan Andi, matanya berkaca-kaca, tetapi ia berusaha tegar. "Semoga saja Pak Ruslan selamat dan segera pulang. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan tanpa dia," katanya pelan. Andi, yang berusaha menenangkan ibunya, berjanji untuk tetap bersama keluarga dan berusaha mencari jalan terbaik.

Sementara itu, di luar kampung, beberapa nelayan dan warga yang tergabung dalam pencarian sudah mulai bersiap. Mereka akan berlayar menggunakan perahu-perahu mereka, mengikuti jalur yang biasanya dilalui Pak Ruslan. Harapan mereka adalah menemukan tanda-tanda atau jejak yang bisa mengarah pada keberadaan Pak Ruslan, atau bahkan menemukan perahu yang mungkin terdampar.

Andi menunggu dengan cemas di rumah, setiap detik terasa berjalan lambat. Doa-doa terucap dalam hati, berharap agar ayahnya selamat dan segera kembali ke rumah. Sementara di pulau yang jauh, Pak Ruslan yang terdampar di tengah keterasingan berjuang dengan segala daya untuk bertahan hidup, tanpa tahu bahwa keluarganya sedang berusaha keras untuk mencarinya.

Hari-hari penuh ketegangan itu menjadi ujian bagi kedua belah pihak-keluarga yang menanti, dan Pak Ruslan yang berjuang untuk bertahan hidup di pulau yang asing. Namun, harapan tetap ada, dan usaha tak kenal lelah menjadi satu-satunya jalan untuk menemukan jalan pulang.

Lima hari telah berlalu sejak pencarian dimulai. Selama waktu itu, para nelayan dan warga kampung berusaha sekuat tenaga mencari Pak Ruslan di lautan yang luas, berlayar dari pagi hingga sore setiap hari, berharap menemukan jejaknya. Mereka menyusuri jalur yang biasanya dilalui Pak Ruslan dan menelusuri pantai-pantai terdekat, namun hingga saat itu, tak ada tanda-tanda keberadaan perahu atau Pak Ruslan.

Kecemasan semakin mendalam di rumah Pak Ruslan. Ibu Siti tidak tahu lagi harus bagaimana. Andi dan adik-adiknya merasa putus asa, meskipun mereka berusaha tetap kuat dan menunggu kabar baik. Setiap malam, mereka berdoa dengan penuh harap agar ayah mereka selamat dan segera kembali. Ibu Siti sering kali menghabiskan waktu duduk di depan rumah, menatap laut yang kosong, berharap melihat perahu suaminya muncul dari kejauhan.

Di tengah pencarian yang tak kunjung membuahkan hasil, para nelayan yang ikut mencari mulai merasa lelah dan putus asa. Mereka hampir berpikir untuk menghentikan pencarian itu, merasa bahwa mungkin Pak Ruslan sudah tidak bisa diselamatkan. Namun, harapan kecil masih ada di dalam hati mereka. Salah seorang nelayan, Pak Johan, yang juga ikut dalam pencarian, merasa ada yang aneh dengan arah angin dan gelombang hari itu. Ia memutuskan untuk mengubah rute pencariannya, menyusuri sebuah pulau kecil yang sebelumnya belum mereka telusuri.

Pak Johan berlayar dengan hati-hati, menggiring perahunya menjauh dari jalur utama pencarian. Laut yang sedikit lebih tenang membuatnya merasa lebih optimis. Ia menebak bahwa jika Pak Ruslan masih hidup, mungkin ia terdampar di salah satu pulau yang lebih terpencil, yang sulit dijangkau. Setelah berlayar sekitar beberapa jam, Pak Johan melihat sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari tempat yang ia telusuri. Dengan mata yang tajam, ia memperhatikan pantai tersebut, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberinya petunjuk.

Tiba-tiba, di kejauhan, ia melihat sosok seseorang yang sedang duduk lemas di bawah pohon besar, di tepi pantai. Pak Johan melambaikan tangan, mencoba memastikan apakah itu benar-benar manusia atau hanya bayangan. Ketika perahunya semakin dekat, matanya terbelalak melihat sosok itu dengan jelas. Itu adalah Pak Ruslan! Tubuhnya kurus, wajahnya penuh bekas luka dan kelelahan, tetapi itu adalah Pak Ruslan yang mereka cari-cari selama ini.

Pak Johan segera mendekatkan perahunya ke pantai. Ia terjun ke pasir dan berlari menghampiri Pak Ruslan. "Pak Ruslan! Alhamdulillah, akhirnya kami menemukannya!" seru Pak Johan dengan penuh kebahagiaan. Pak Ruslan yang sudah hampir tidak punya kekuatan untuk berbicara, hanya bisa tersenyum lemah. Wajahnya sangat pucat, tubuhnya terlihat sangat lelah dan kurus, namun matanya masih menyiratkan harapan.

"Pak Johan... saya... saya..." suara Pak Ruslan hampir tak terdengar, tetapi Pak Johan bisa menangkap kata-kata yang sangat lemah itu. "Saya... terdampar di sini... tidak bisa pulang."

Pak Johan mengangguk, berusaha menguatkan Pak Ruslan. "Jangan khawatir, Pak Ruslan. Kami sudah mencarimu selama lima hari. Kini kita akan bawa Anda pulang."

Dengan penuh hati-hati, Pak Johan membantu Pak Ruslan naik ke perahu. Walaupun sangat lemah, Pak Ruslan masih berusaha untuk bertahan. Saat Pak Ruslan duduk di perahu, ia merasa tak percaya akhirnya ia ditemukan. Keadaan tubuhnya yang sangat lemah membuatnya sulit bergerak, dan ia hampir tidak memiliki tenaga untuk berbicara. Namun, hatinya sangat bersyukur karena akhirnya ada yang menemukan dirinya.

Selama perjalanan pulang, Pak Johan terus berbicara dengan Pak Ruslan, berusaha menghiburnya dan memberinya semangat. Mereka berlayar dengan penuh hati-hati, karena Pak Ruslan masih sangat lemah. Pak Johan memberi waktu bagi Pak Ruslan untuk beristirahat di perahu, memberinya air kelapa untuk melepas dahaga, dan menenangkan pikirannya. Mereka berdua berharap perjalanan pulang bisa segera selesai agar Pak Ruslan bisa kembali bertemu dengan keluarganya.

Saat akhirnya mereka tiba di kampung, berita tentang ditemukannya Pak Ruslan langsung tersebar. Ibu Siti dan anak-anaknya, yang sejak pagi menunggu dengan penuh harap, segera berlari ke pantai begitu mereka mendengar suara perahu yang mendekat. Ketika mereka melihat perahu itu muncul, Ibu Siti berlari tanpa pikir panjang, matanya berkaca-kaca.

Pak Ruslan yang terlihat sangat lemah dan kurus, namun akhirnya bisa kembali ke rumah, disambut dengan pelukan hangat dari istrinya. "Sayang, alhamdulillah, kamu selamat!" Ibu Siti menangis bahagia, memeluk suaminya yang kini kembali ke pelukannya setelah berhari-hari terpisah.

Anak-anak mereka, Andi, Pendi, dan Rani, ikut mendekat dan memeluk ayah mereka dengan penuh kasih. Meskipun Pak Ruslan masih tampak sangat lemah, ia merasa lega bisa kembali ke rumah, ke keluarga yang sangat ia cintai. Ia merasa terharu melihat wajah-wajah yang sangat ia rindukan, dan hatinya penuh dengan syukur. Andi, yang selama ini cemas, kini merasa lega dan senang karena ayahnya selamat.

Pak Ruslan mencoba tersenyum meski tubuhnya sangat lelah. "Maafkan ayah," katanya dengan suara parau, "Ayah tidak bisa pulang lebih cepat."

Ibu Siti hanya menggelengkan kepala, sambil meneteskan air mata kebahagiaan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, sayang. Yang penting kamu sudah kembali. Kami semua sangat menantimu."

Mereka berjalan pulang bersama-sama, dengan langkah yang lebih ringan, meskipun perjalanan hidup masih penuh tantangan. Tetapi sekarang, yang terpenting adalah mereka bisa bersama lagi sebagai keluarga.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Perjuangan Seorang Kakak
1

Bab 1 Badai Menghantam

24/01/2025